Sunday, November 2, 2025
spot_img
HomeGagasanKolomPlanet di Ujung Napas

Planet di Ujung Napas

Bumi kini seperti manusia tua yang masih berusaha tersenyum meski paru-parunya penuh debu, darahnya dipenuhi plastik mikro, dan jantungnya yang dulu berdenyut biru kini berdetak pelan di bawah lapisan aspal.

Kita menamai bumi sebagai “planet”. Tapi, sesungguhnya dia lebih mirip “pasien” dan yang membuatnya sakit adalah tangan kita juga, yang dulu bersumpah akan merawatnya.

Selama seminggu kita berbincang tentang sepuluh teknologi pilihan World Economic Forum dan Frontiers mulai dari piring yang menumbuhkan protein tanpa peternakan, hingga satelit yang mengawasi pernapasan hutan.

Setiap teknologi tampak seperti babak dari satu kisah besar yakni upaya manusia menebus kesalahannya sendiri. Namun setelah semua layar mati dan data pending, ada pertanyaan yang lebih pelik yaitu apakah kita benar-benar ingin sembuh, atau hanya ingin merasa tampak peduli?

Lihatlah cara dunia memuja teknologi: seperti jimat baru yang bisa menyelamatkan semuanya tanpa mengubah apa-apa. Kita terpesona pada kecerdasan buatan tapi kehilangan kecerdasan hati. Kita membuat pupuk pintar, tapi lupa menumbuhkan kesabaran.

Kita membuat kota hijau, tapi pikiran kita tetap abu-abu. Tak cuma itu, kita begitu rakus pada apa yang namanya teknologi. Padahal dari awal, semua teknologi hanyalah cermin: seberapa tulus kita ingin memperbaiki hidup, atau sekadar mempercantik kehancuran.

Ekonomi hijau, energi bersih, protein regeneratif, semuanya hebat di presentasi PowerPoint. Tapi di lapangan, dunia masih menunda. Negara maju bicara dekarbonisasi, tapi terus mengirim limbahnya ke negara-negara yang katanya berkembang.

Negara-negara berkembang sendiri berbicara soal kemandirian, tapi terus menggantungkan pupuk dan chip dari luar negeri. Kita semua sedang menukar waktu dengan kenyamanan, seperti pasien yang tahu dirinya sakit tapi menolak diet.

Namun mari kita lihat sisi lain: setiap penundaan juga memberi ruang bagi kesadaran tumbuh. Di banyak desa, sejumlah petani yang tersadarkan karena bacaan sehat mulai menanam tanpa racun, memanfaatkan data tanah dari sensor murah buatan lokal.

Di kota, anak muda membangun panel surya komunitas, menyalakan listrik bagi tetangga tanpa menunggu kebijakan. Di laboratorium kecil, para ilmuwan membuat bioplastik dari limbah dapur. Itulah evolusi harapan: tidak datang dari konferensi besar, tapi dari manusia yang menolak berhenti berharap.

Sebab sejatinya, etika tidak lahir dari rapat, tapi dari rasa malu. Malu pada bumi yang kita rusak, malu pada anak cucu yang akan menagih janji. Dan dari rasa malu itulah muncul kekuatan moral baru: keinginan untuk memperbaiki. Ishlah, katanya.

Filsafat lingkungan modern menyebutnya keren restorative ethics yaitu etika yang bukan sekadar “tidak merusak”, tapi “memulihkan”. Ia bukan sekadar teori, tapi tindakan kecil yang konsisten: menanam, menghemat, berbagi, dan mendidik sesama.

Jika setiap teknologi dari laporan WEF-Frontiers itu kita baca dengan hati, bukan hanya pikiran, maka akan tampak satu pola: semua diarahkan untuk memulihkan relasi manusia dengan bumi.

Protein regeneratif memulihkan pangan, energi bersih memulihkan udara, arsitektur hijau memulihkan kota, satelit memulihkan kesadaran, air dan tanah memulihkan kehidupan. Semuanya berujung pada satu kata yaitu regenerasi. Bumi ingin hidup kembali, tapi ia hanya bisa melakukannya jika kita ikut berubah.

Maka jangan salah: teknologi bukanlah nabi, ia hanya tongkat Musa. Yang membuat laut terbelah bukan tongkatnya, tapi keyakinan bahwa ada jalan keluar. Begitu juga dengan dunia hari ini. Kita bisa menciptakan seribu alat pintar, tapi tanpa niat untuk hidup lebih sederhana, hasilnya tetap sama: planet di ujung napas.

Barangkali saatnya kita berhenti menanyakan apa yang bisa dilakukan teknologi, dan mulai bertanya: apa yang bisa kita lakukan dengan hati. Karena teknologi hanyalah alat. Harapanlah energi sejatinya.

Dan mungkin, ketika manusia akhirnya sadar bahwa bumi bukan lagi sekadar tempat tinggal tapi rekan seperjalanan, di situlah babak baru dimulai. Sebuah dunia di mana inovasi tidak lagi diukur dari kecepatan chip, tapi dari ketulusan menanam benih.

Karena pada akhirnya, sains bisa menghitung jarak bintang, tapi hanya hati manusia yang bisa mengukur jarak antara penyesalan dan pengharapan.

AHMADIE THAHA (Cak AT)

Wartawan Senior 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular