JAKARTA – Ketua YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), Tulus Abadi menyatakan bahwa antara hak konsumen dan hak buruh, tidak jauh berbeda. Berdasarkan data YLKI, hak – hak konsumen dan buruh seringkali dipinggirkan atau dimarginalisasi oleh produsen atau perusahaan, terutama pemilik modal besar. Ironisnya, menurut Tulus, Pemerintah lebih sering berpihak pada pemilik modal (besar) daripada melindungi hak-hak buruh dan konsumen.
Oleh karenanya, dalam konteks gerakan konsumen secara universal, mereka bisa bersinergi dengan buruh dengan cara tidak membeli atau memakai produk-produk (barang dan atau jasa), yang dibuat dengan cara melanggar hak-hak buruh.
“Konsumen bisa melakukan boikot terhadap perusahaan yang terbukti melanggar hak-hak buruh dengan cara tidak membeli produk yang diproduksi oleh perusahaan yang bersangkutan,” ujar Tulus dalam keterangan persnya, Sabtu (30/4/2016).
Tulus menambahkan, aksi boikot produk oleh konsumen bertujuan untuk menghukum produsen nakal yang salah satunya melanggar hak-hak buruh lazim dilakukan di negara-negara maju.
“Konsumen seharusnya dalam berkonsumsi bukan hanya menuntut haknya sebagai konsumen, tetapi juga bertanggungjawab bahwa barang/jasa yang dikonsumsinya adalah barang yang tidak melanggar hak buruh, tidak melanggar HAM, tidak mencemari lingkungan, bukan perusahaan pengemplang pajak, dan barang yang legal,” tegas Tulus.
Karenanya, jika konsumen mengonsumsi barang atau jasa yang bermasalah dari perusahaan “nakal” itu sama artinya konsumen mendukung pelanggaran-pelanggaran yanh dilakukan perusahaan tersebut.
“Konsumen yang cerdas, bukan semata konsumen yang getol menuntut haknya, tetapi juga menjadi konsumen yang bertanggungjawab. Saya kira itu penting. Selamat Hari Buruh dan jadilah konsumen cerdas” pungkas Tulus.
(bm/bti)