Thursday, April 24, 2025
spot_img
HomeGagasanPernyataan Pangdam V/Brawijaya Soal Menwa Tak Tunduk Ke KONAS dan IARMI Sudah...

Pernyataan Pangdam V/Brawijaya Soal Menwa Tak Tunduk Ke KONAS dan IARMI Sudah Tepat

Saya tertarik dengan salah satu artikel berita yang ditayangkan oleh jpnn.com pada Rabu (16/8/2023) lalu. Dalam berita berjudul “Merasa Dipecah Belah, Konas Menwa Desak Pangdam Brawijaya Minta Maaf” itu, disebutkan bahwa sebuah organisasi yang menyebut dirinya Komando Nasional Resimen Mahasiswa (Konas Menwa), mendesak Pangdam V/Brawijaya Mayjen Farid Makruf meminta maaf.

Pernyataan Farid terkait Menwa tidak tunduk kepada Konas dan Ikatan Alumni Resimen Mahasiswa Indonesia (IARMI) dinilai sebagai kekeliruan fatal. Desakan minta maaf pun disampaikan oleh Emanuel Manche Kota, yang disebut sebagai Asisten Operasional Konas Menwa Indonesia.

Terus terang saja, penilaian bahwa Pangdam V/Brawijaya telah membuat kekeliruan fatal memecah-belah Menwa hingga harus meminta maaf itu bagi saya justru mengherankan dan mengundang pertanyaan. Di mana letak kekeliruannya? Apa yang salah dari pernyataan itu? Menurut saya, tidak ada yang salah dari pernyataan itu. Bahkan saya merasa harus angkat topi. Setahu saya, bahkan tidak banyak pejabat di lingkungan Kementerian Pertahanan dan TNI yang berani menyampaikan pernyataan setegas itu.

Harus dipahami, sejak awal kelahirannya, Menwa ini sejatinya adalah kegiatan mahasiswa yang bersifat intra kampus sebagai wadah ekstra kurikuler plus. Dimana plusnya? Ini terkait posisinya sebagai wujud peran serta mahasiswa dalam upaya bela negara. Menwa yang juga dibekali kemampuan dasar kemiliteran adalah komponen pendukung pertahanan negara yang disiapkan untuk dapat sewaktu-waktu dimobilisasi sebagai komponen cadangan.

Pada 2022 lalu, saya sempat diminta mengajar dalam sebuah kegiatan Pendidikan Dasar Resimen Mahasiswa Mahasurya Jawa Timur. Pendidikan bagi anggota baru itu dilaksanakan selama tiga minggu di Depo Pendidikan Kejuruan (Dodikjur) Rindam V Brawijaya, Malang. Siswanya sekitar 300 orang. Sebelum pandemi, Mahasurya mencetak rerata 500 anggota baru setiap tahunnya, dari berbagai kampus se Jawa Timur.

Kebetulan saya juga pernah menjadi anggota Menwa. Namun berbeda dengan masa saya dulu yang tak keluar biaya sepeserpun, sekarang saya mendengar banyak di antara peserta pendidikan itu yang mengeluarkan biaya sendiri supaya bisa ikut pendidikan. Lumayan nominalnya. Jelas beda dengan Komcad yang serba gratis dan dibiayai negara. Tapi antusiasme itu membuat saya makin respek. Ternyata Menwa masih diminati oleh banyak mahasiswa.

Saya sepakat juga bahwa memang unit kegiatan intra kampus ini harus dikelola dan dibina dengan serius agar tak salah arah. Setahu saya, semenjak reformasi, belum ada produk regulasi baru yang bisa benar-benar menjadi payung hukum pembinaan Menwa. Padahal sejumlah Undang-Undang yang menjadi alas hukumnya, sudah mengalami perubahan.

Nah di tengah kekosongan regulasi itu, ternyata aktivitas Menwa tetap berjalan. Karena sebagai sebuah unit kegiatan mahasiswa, Menwa masih memiliki cantolan dalam kebijakan pembinaan kemahasiswaan di perguruan tinggi. Tapi anehnya, sebuah organisasi kemasyarakatan yang bernama Konas Menwa lantas mengklaim diri sebagai pengendali secara nasional. Setahu saya, pimpinan sejumlah perguruan tinggi di berbagai daerah menolak keberadaan ormas tersebut karena dianggap melenceng dan tidak memiliki alas hukum yang tepat.

Saya termasuk alumni yang lantang menentang. Saya sepakat bahwa pemerintah memang harus melakukan revitalisasi dan reaktualisasi Menwa. Namun menurut saya, jika kemudian dimaknai sebagai pemberian peran dan pelibatan ormas Konas Menwa, itu justru merupakan kekeliruan besar. Menwa ini jelas bukan ormas. Dia unit kegiatan mahasiswa intra kampus. Pembinaannya dilakukan oleh tiga kementerian, yaitu Kemendikbud, Kemenhan maupun Kemendagri.

Saat ini, pengelolaan sumber daya nasional untuk pertahanan negara sudah memiliki payung hukum baru, yaitu UU 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN). Dalam UU itu, Menwa dikelompokkan sebagai Komponen Pendukung Pertahanan. Dalam kondisi menghadapi ancaman militer dan hibrida, harus siap dimobilisasi dengan status Komponen Cadangan.

Namun Konas Menwa bukanlah lembaga yang dibentuk dan mendapat mandat sebagai pengelola sumber daya Resimen Mahasiswa berdasarkan UU PSDN. Bagi saya, apapun motifnya Konas Menwa hanyalah sebuah ormas yang tampaknya ingin memanfaatkan kekosongan hukum dalam pembinaan Menwa untuk menjangkau keberadaan dan pengelolaan unit kegiatan mahasiswa intra kampus ini. Maklum saja, jumlah anggota dan alumninya jika diakumulasi secara nasional juga akan cukup besar. Sebuah potensi yang luar biasa jika dapat dikonsolidasi dengan baik.

Kaitan itulah yang menjawab mengapa Menwa harus dikelola oleh pemerintah. Konstitusi kita mengatur bahwa segala urusan yang menyangkut pertahanan harus dikelola oleh pemerintah pusat. Pemerintah Daerah saja tidak punya hak mengatur, apalagi ormas. Keterlibatan Gubernur dan aparaturnya di daerah adalah karena ia adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah.

Pun demikian dengan keterlibatan unsur TNI seperti Kodam, itu lebih karena perannya sebagai pelaksana sistem pertahanan negara di wilayah teritorialnya. Sementara, jelas pula bahwa Rektor adalah ujung tombak pembinaan, karena Menwa berbasis di kampus. Untuk mengaturnya, maka dilibatkanlah Kemendikbud yang merupakan penjuru pembinaan pendidikan tinggi secara nasional.

Lalu apa jadinya jika Konas Menwa diperankan sebagai induk organisasi? Mereka secara formal tidak dimungkinkan untuk berada di dalam kampus. Bagaimana mungkin memiliki hak dan kewenangan untuk menjadi komando pengendali Menwa? Jadi sudah tepat jika Mayjen Farid Makruf menegaskan bahwa Menwa tidak tunduk pada Konas Menwa. Apalagi pada IARMI yang notabene adalah sebuah ormas yang menaungi alumni Menwa. Akan janggal dan berbahaya bagi pengembangan dan revitalisasi Menwa sebagai kegiatan intra kampus sekaligus wadah pembinaan komponen pendukung pertahanan negara.

Saya kira kementerian-kementerian yang terkait pembinaan Menwa harus segera mereview peran Konas ini dan memikirkan skema kelembagaan yang lebih tepat dan relevan untuk mengelola Menwa. Bisa saja dengan struktur seperti pada Gerakan Pramuka, atau bisa juga cukup hanya dibebankan pada fungsi teknis dalam kementerian yang terkait, untuk memudahkan koordinasi dan merumuskan pola pembinaan yang berlaku sama seluruh Indonesia. Sedangkan Komando teknis hanya di dalam perguruan tinggi hingga di tingkat provinsi.

Yang jelas, jangan sampai keberadaan Resimen Mahasiswa yang dihajatkan untuk wadah partisipasi mahasiswa dalam bela negara, melenceng dari jalur dan menjadi alat kepentingan politik praktis ataupun disalahgunakan untuk sekedar menjadi alat kekuasaan. Urusan pertahanan negara bukan urusan yang sepele. Pengalaman masa lalu dan riwayat rezim Orde Baru telah mengajarkan banyak hal. Salah urus hanya akan membuat upaya dan gagasan besar pengelolaan sumber daya nasional untuk pertahanan negara menjadi jauh panggang dari api.

Terakhir, saya juga ingin mengingatkan bahwa orang yang memahami tujuan biasanya tak lupa sejarah. Resimen Mahasiswa Mahasurya lahir pada 1 Juni 1964, dari kultur juang dan pemikiran mahasiswa Jawa Timur dan dipelopori oleh Dewan Mahasiswa Universitas Airlangga. Komandan pertamanya adalah alm. Drs. Ec. Ben L. Ticoalu adalah Ketua Dema Unair saat itu.

Mahasurya itu bermula dari kancah gerakan mahasiswa di dalam kampus. Bela negara yang dipahami dalam tradisi Mahasurya adalah bagaimana mencurahkan tenaga dan pikiran untuk berpihak pada penderitaan rakyat. Tampaknya, Pangdam V/Brawijaya Mayjen TNI Farid Makruf telah memahami hal itu sehingga berani mengeluarkan pernyataan yang tepat.

Surabaya, 18 Agustus 2023

KHAIRUL FAHMI

Pemerhati masalah pertahanan Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), pernah menjabat Komandan Satuan Menwa Universitas Airlangga 1997-1999

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular