Ketika Prabowo Subianto berbicara tentang pentingnya pemerintahan yang bersih dan tegaknya keadilan di Indonesia, semangatnya tampak membara. Gema suaranya seolah beresonansi dengan berbagai tokoh besar dunia. Kaum cendekia dan aktivis, termasuk dari Pergerakan Indonesia Maju (PIM), mendiskusikannya.
Apalagi, dalam soal ini, Prabowo mengaku terinspirasi dari Daulat Utsmaniyyah, kekhalifahan super luas yang bertahan hingga tujuh abad (1299-1922)! Di acara Gerakan Solidaritas Nasional (GSN), ia menyampaikan visinya dengan lugas: “Tidak ada negara yang berhasil tanpa pemerintah yang bersih. Tidak ada kemakmuran tanpa keadilan.”
Namun, ucapan yang ideal itu seperti bercermin pada wajah yang retak. Mungkin saja Prabowo mengajak rakyat mengingat-ingat cita-cita Bung Karno dan Bung Hatta tentang pemerintah yang bersih, adil, dan beradab. Tapi, fakta yang mencuat dari kabinetnya bisa saja membuat para pendiri bangsa kita ini geleng-geleng kepala.
Alih-alih bersih, seperti banyak dikeluhkan, kabinetnya diwarnai wajah-wajah yang terindikasi berbagai skandal, dari korupsi, kolusi, sampai pelanggaran hak asasi manusia. Salah satunya yang populer adalah Kasus Km 50, yang diingat publik sebagai peristiwa suram terkait pelanggaran HAM berat.
Di dunia politik Indonesia, satir ini mungkin saja dijawab sinis oleh masyarakat: “Ah, bukankah paradoks adalah roti sehari-hari para pejabat?” Semua tahu, kepercayaan masyarakat pada pemerintah yang dikatakan tinggi hanyalah bagian dari usaha bisnis perusahaan survei, jauh panggang dari api.
Memang, Prabowo sendiri cukup paham dengan istilah paradoks. Ia bahkan menulis buku berjudul Paradoks Indonesia, mengupas berbagai keanehan negeri ini yang kaya raya tetapi rakyatnya masih bergumul dalam kesenjangan sosial.
Tetapi tampaknya, bukan hanya bangsa yang paradoksal, kabinet yang dipilihnya sendiri pun menjadi simbol paradoks itu. Merekalah yang telah berkuasa selama ini, namun gagal di berbagai bidang. Merekalah yang telah membuat demokrasi jatuh ke titik nadir.
Jika kita mau sedikit mundur ke sejarah, Imam al-Ghazali dalam bukunya Nashihat al-Muluk pernah berpesan bahwa pemimpin harus bagaikan cermin: bersih dan lurus, tanpa cela. Menurut al-Ghazali, kebersihan moral adalah syarat utama untuk mencegah godaan yang bisa merusak pemerintahan.
Sebuah pemerintahan yang bersih diibaratkan al-Ghazali sebagai rumah kaca: transparan, di mana semua bisa dilihat jelas, termasuk noda kecil. Bersih itu syarat agar bisa berlaku adil. Namun, sepertinya beberapa anggota kabinet Prabowo justru memiliki kaca buram dengan berbagai corak keruh. Bersih saja tidak, bagaimana bisa adil?
Ibnu Khaldun, dalam karyanya yang monumental al-Muqaddimah, menekankan bahwa ketidakadilan adalah akar kehancuran sebuah negara. Ia mengingatkan bahwa ketika pemimpin memihak, korup, dan tidak menjalankan keadilan, rakyat tidak akan pernah percaya lagi pada pemerintah.
Bahkan, dalam pandangannya, keadilan tidak hanya soal hukum, tetapi meliputi segala aspek kehidupan rakyat. Dan keadilan itu seperti sebuah jamur yang tumbuh subur di atas tanah yang subur pula —sulit muncul dari lahan tandus yang bernama fasad, yang artinya kerusakan alias corrupt, korupsi.
Dalam Paradoks Indonesia, Prabowo mengkritik kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Ia berbicara tentang kemiskinan, tentang ketimpangan, tentang buruknya tata kelola sumber daya alam. Wajah-wajah bopeng Indonesia ditampilkannya dengan data lengkap, dikontraskan dengan fakta, potensi, dan kekayaan sumber daya kita.
Tetapi, ketika ia memilih kabinet yang sebagian besarnya berasal dari latar belakang kontroversial, orang pun bingung. Bagaimana kabinet ini dapat membersihkan negara jika di antara mereka ada yang mempraktikkan kebijakan yang Prabowo sendiri kritik di bukunya? Bagaimana bisa adil, jika diri mereka kotor belepotan?
Dari sisi lain, ada kalimat Prabowo yang perlu diingat: “Yang tidak mau bareng saya, minggir.” Mungkin di sinilah letak humornya —sebuah pernyataan yang seharusnya menjadi pesan pembersihan internal tetapi menjadi ajang spektakuler bagi mereka yang ‘katanya’ bersih, yang ‘katanya’ adil. Baru sebatas ‘katanya.’
Prabowo yang militer barangkali ingin bersikap sangat tegas, bahkan dengan nada suara keras dan telunjuk diarahkan yang menunjukkan ancaman. Atau ia mungkin berharap dapat mengendalikan orang-orang yang diragukan kebersihannya. Tetapi paradoks ini seperti jembatan panjang yang tak pernah sampai ke ujung.
Kebersihan pemerintahan bukanlah sekadar slogan. Faktanya, ambil data sederhana, indeks persepsi korupsi Indonesia menunjukkan skor yang stagnan di angka 34 dari 100, jauh dari target negara maju. Indeks demokrasi Indonesia terjun bebas dari 79 ke 87. Lalu, bagaimana mungkin kabinet yang person-personnya diragukan integritasnya bisa membawa Indonesia ke pemerintahan yang “bersih”?
Kita semua ingin berharap, tentu saja, bahwa Presiden Prabowo dengan latar belakang militer dan ketegasannya bisa menjadi penjaga kebersihan dalam tubuh pemerintahannya. Namun, seperti yang diingatkan Ibnu Khaldun, keadilan tidak bisa ditegakkan jika di antara para pemimpin ada yang lebih mementingkan kelompok atau diri sendiri.
Paradoks ini akan selalu menjadi bahan diskusi seru. Rakyat pun dibuat bertanya-tanya apakah akhirnya Prabowo akan berhasil merangkul ide pemerintahan bersih dan keadilan yang ia agung-agungkan, ataukah gagasan itu hanya sekadar hiasan retorika.
Yang pasti, kita semua berharap semoga ini bukan sekadar “gula-gula” politik, agar rakyat tak terus-menerus dihibur dengan pidato semata. Capek, tahu!
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 4 November 2024
AHMADIE THAHA
Kolumnis