Sunday, December 8, 2024
spot_img
HomeGagasanPahami Kontrak Freeport Secara Objektif Bukan Emosional

Pahami Kontrak Freeport Secara Objektif Bukan Emosional

images

Banyak pihak yang bicara terkait kasus Freeport yang kini tengah mencuat ke publik dikarenakan laporan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI, karena didorong rasa sentimen nasionalisme yang merasa Freeport sudah berlaku jahat dan curang kepada bangsa Indonesia, yang memang ada benarnya demikian. Meski sikap curang dan jahat itu juga tidak lepas dari ulah pejabat negara kita yang lebih mencari untung buat diri sendiri daripada untuk negara.

Untuk itu, mari kita melihat fakta kecil yang sangat penting untuk diketahui supaya tidak salah memahami kasus ini. Ada beberapa fakta yang harus diketahui publik. Pertama, dasar hukum Kontrak Kerja (KK) Freeport adalah Undang-Undang Nomor 1 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA) Tahun 1967 bukan Undang-Undang Nomor 4 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) Tahun 2009, dengan demikian maka Freeport merasa tidak wajib tunduk pada UU Minerba. Maka perlu dalam hal ini dilakukan amandemen kontrak untuk menyesuaikan KK dengan UU Minerba 2009.

Kedua, pada pasal 2 ayat 31 KK Freeport mengijinkan Freeport mengajukan perpanjangan kontrak 2×10 tahun kapan saja, dan pemerintah tidak boleh mencari cari alasan untuk menolaknya. Menurutnya, hal tersebut bertentangan dengan UU Minerba dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 yang mensyaratkan perpanjangan kontrak hanya bisa dilakukan minimal 2 tahun sebelum kontrak berakhir. Tentu ini menjadi polemik dan kontrak Freeport adalah lex spesialis. Dengan fakta ini, apabila Freeport membawa masalah perpanjangan kontrak ke Arbitrase Internasional, maka yang berlaku disana adalah KK Freeport dan bukan UU Minerba atau PP 77.

Kedua hal tersebut diatas menjadikan polemik kontrak Freeport ini menjadi alot dan kontroversial. Freeport menjadikan dasar hukumnya adalah KK yang bersifat Lex Spesialis sementara pemerintah menggunakan UU Miberba dan PP 77 sebagai dasar hukum. Sehingga harus ada jalan tengah mengatasi kemelut ini.

Namun disisi lain, pemerintah dan Freeport sama-sama menerapkan standar ganda dalam hal ekspor konsentrat, pemerintah mengijinkan ekspor konsentrat yang jelas-jelas melanggar UU Minerba tapi tidak melakukan negosiasi terhadap kontrak Freeport dengan alasan tidak sesuai UU Minerba. Ini standar ganda memalukan dari sebuah negara untuk menegakkan aturan yang ada. Dan akhirnya hal inilah yang dapat disebut sebagai nasionalisme abal abal.

Dengan polemik seperti ini, maka negosiasi kontrak saat ini adalah sebuah keniscayaan yang harus dilakukan. Tujuan negosiasi adalah untuk melakukan amandemen terhadap kontrak Freeport supaya mengikuti kaidah-kaidah hukum dalam UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009. Apabila kontrak karya Freeport sudah mengikuti kaidah dalam UU Minerba ,maka langkah kedua dalam negosiasi adalah mewajibkan Freeport tunduk pada UU Minerba dan PP, 77 maka kewajiban membangun smelter akan terwujud, divestasi saham akan mulus, peningkatan royalti akan terwujud dan lain-lain poin yang akan kita mintakan dalam amandemen kontrak. Tentu dengan disetujuinya kondisi-kondisi tersebut oleh Freeport maka kita sebagai negara, wajar dan semestinya memberikan kepastian kelanjutan operasi Freeport di Papua. Lain hal jika Freeport tidak menerima syarat dan kondisi dalam UU Minerba dan PP 77 maka kita bersalaman dengan Freeport dan secara gagah mengucapkan SELAMAT JALAN.

Mengapa negosiasi menjadi sangat penting untuk dilakukan saat ini dan tidak menunggu 2019? Yang pertama, kita akan rugi membiarkan kontrak Freeport berjalan seperti sekarang tanpa ada perubahan dan Freeport tetap bebas mengeruk kekayaan Papua dan mengirimnya keluar Indonesia tanpa mereka harus bangun smelter. Artinya hingga 2021 tidak akan ada smelter yang dibangun dan ini merugikan kita dengan sangat besar. Kedua, tidak akan ada peningkatan royalti dalam waktu dekat karena tidak ada negosiasi. Yang ketiga, divestasi juga akan terhambat karena tentu Freeport akan bertahan dengan kondisi sekarang karena tidak ada negosiasi.

Itulah 3 poin yang akan hilang dari keberuntungan kita jika negosiasi tidak dilakukan dari sekarang. Maka itu menurut hemat penulis, lebih setuju negosiasi dilakukan sekarang sehingga pembangunan smelter bisa dimulai segera setidak-tidaknya pada tahun 2016, yang akhirnya peningkatan royalti bisa dinikmati mulai 2016 dan divestasi saham yang real selambat-lambatnya juga pada 2016.

Dengan melakukan langkah tersebut maka kita mendapat keuntungan yang lebih cepat daripada menunggu pembahasan tahun 2019 yang membuat kita bisa kehilangan keuntungan selama minimal 5 tahun ke depan. Smelter juga paling cepat dibangun pada tahun 2022 bila negosiasi mulai dilakukan pada tahun 2019, dan ini kerugian besar bagi kita karena nasionalisme abal-abal. Negosiasi sekarang juga sangat penting memberikan kepastian bagi Indonesia dan Freeport. Jika Freeport menolak poin-poin negosiasi kita maka kita berikan kepastiasn bagi Freeport bahwa operasinya berakhir pada tahun 2021. Dengan demikian kita punya waktu yang cukup menyiapkan diri mengelola Freeport, dan Freeport punya waktu yang cukup untuk mengakhiri kontraknya dan keluar dari Indonesia, sehingga waktu jeda tanpa operasi bisa kita minimalkan andaikan kontrak benar-benar berakhir pada tahun 2021.

Tulisan ini untuk membawa kita pada objektifitas berpikir dan menyikapi kontrak Freeport dan tidak perlu sok pahlawan atau sok garang padahal sesungguhnya pengecut. Jika memang pemerintah berani kepada Freeport, hentikan segera ijin ekspor konsentrat sesuai UU Minerba, itu baru NASIONALISME SEJATI.

FERDINAND HUTAHAEAN

Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular