Friday, April 19, 2024
HomeGagasanPaham Rocky Gerung Akan Pancasila dan Persoalannya

Paham Rocky Gerung Akan Pancasila dan Persoalannya

 

Saya menyaksikan baru-baru ini Rocky Gerung menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak memahami Pancasila. Saya sendiri tidak tertarik menanggapi soal itu. Tetapi yang membuat saya tertarik justru pandangannya bahwa Pancasila tidak bisa dijadikan sebagai ideologi negara karena: Pertama, dalam Pancasila Sila 1 dan 2 itu bertentangan. Kedua, Negara demokrasi tidak memberi hak kepada negara untuk memiliki ideologi. Saya mau menjawab hal-hal tersebut.

Ada beberapa persoalan atas tafsir Rocky Gerung terkait Pancasila tersebut. Secara sederhana dapat dijelaskan seperti ini, Pertama, kontradiksi dan tidak adanya pertemuan antara Ketuhanan dan Kemanusiaan itu hanyalah satu penafsiran saja dari kaum atheis maupun non-theis yang memaknai manusia sebagai Promotheus, memang bagi mereka Ketuhanan dianggap sesuatu yang tidak ada. Ketuhanan dipandang sebagai eksternalisasi kualitas-kualitas kemanusiaan yang membuat manusia terasing atas dirimya.

Tapi sekali lagi itu hanya satu tafsir. Pandangan religiusitas lain dari kalangan filsuf dan teolog radikal yang mengakui kehadiran Tuhan melihat bahwa karena manusia adalah citra Ilahiah maka kemanusiaan dalam bumi manusia dimuliakan dengan harkat dan kebebasan yang dimilikinya.

Humanisme dalam tafsir Rocky Gerung adalah humanismenya Feurbach, dan humanisme yang tampil dalam kontigensi historis spesifik dalam sejarah pencerahan melawan tatanan teokratik feodalisme yang simbol paling nyatanya adalah Revolusi Prancis.

Namun bagaimana dengan humanismenya Gandhi yang menggugat supremasi ras kulit putih dengan mengabarkan “nasionalismeku adalah kemanusiaan yang terpancar dari nilai-nilai religiusitas Hindu”, bagaimana dengan humanismenya Iqbal yang mengabarkan “betapa mulianya manusia dan martabatnya yang bersumber dari spiritualitas Islam”, lalu bagaimana misalnya dengan kemuliaan manusia dalam humanismenya Erich Fromm yang bersumber pada Tradisi Yahudi Taurat dan Talmud, bagaimana dengan humanismenya Ali Shariati yang bersumber pada nilai-nilai spiritualitas air mata darah Karbala? Bagaimana dengan humanismenya Gustavo Guiterres yang menyatakan kemuliaan manusia dan kehormatannya yang bersumber pada nilai tradisi teologi pembebasan?

Kedua, sumber dari Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan dalam Kebudayaan. Ketuhanan yang memuliakan kehidupan kebudayaan justru disitu Sila Kedua adalah penguat dari Sila Pertama. Sila yang memuliakan kemanusiaan dalam dimensi keadilan dan keberadabannya. Agar Ketuhanan tidak mengarah pada teokrasi dan tetap menghormati kemerdekaan dari manusia maka Sila kedua adalah penjelas dari Sila Pertama.

Kalau tafsir saya dalam negara yang berpijak pada Ketuhanan, sila kemanusiaan memberikan ruang untuk hidup sebagai warga yang setara bahkan pada kalangan non-theistik. Sementara disisi lain bahkan kaum theis yang menolak kesetaraan dalam kemanusiaan tidak memiliki ruang dalam negara berbasis Pancasila.

Ketiga, tafsir Rocky Gerung bahwa negara demokratik harus selalu tidak berpijak pada ideologi landasannya adalah filsafat negara liberal dalam paradigma John Rawls. Bahwa negara tidak memiliki hak untuk mempromosikan nilai-nilai kebajikan tertentu.

Tesis ini pernah dibantah oleh Michael Sandel dalam karyanya Justice. Dalam perspektif demokrasi komunitarian atau republikanisme-Aristotelian maka negara memiliki tugas untuk mendorong virtue atau nilai kebajikan dan itu semua tercatat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Menjadi imperatif negara untuk mendorong nilai-nilai keadilan yang dalam konteks Indonesia tertuang dalam filsafat bernegara yang dibuat ketika negara ini akan berdiri.

Michael Sandel memberi contoh yang bagus soal ini. Bencana badai di Arizona tahun 2004. Setelah bencana tersebut para pedagang kebutuhan pokok menaikkan harga dagangannya berkali-kali lipat, sementara warga terpaksa harus membayarnya dalam kondisi keterpaksaan. Dalam konteks negara yang tidak boleh mempromosikan kebajikan sosial, maka negara tidak boleh menerapkan hukum anti-pendongkrakan harga dalam kondisi tersebut, karena negara tidak memiliki wewenang untuk mempromosikan konsep keadilan dan kebijakan tertentu. Argumen ini valid dalam dua hal, prosperity dan freedom (khususnya free market atau pasar bebas) tapi tidak memenuhi ketika kriteria politik memasukkan konsepsi virtue di dalamnya. Untuk bisa memasukkan konsepsi itu maka negara harus hadir dengan mempromosikan satu konsep keadilan sosial yang ruang itu sangat mungkin diterapkan ketika negara berpijak pada filsafat bernegara seperti Pancasila.

Dus, bisa saja Rocky Gerung memahami Pancasila tapi pemahamannya adalah dalam semesta pikirannya sendiri, yang bukan berarti tidak problematis.

 

AIRLANGGA PRIBADI KUSMAN

Dosen FISIP Universitas Airlangga

RELATED ARTICLES

Most Popular