
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Hujan deras yang mengguyur Surabaya dalam beberapa hari terakhir kembali memicu banjir di sejumlah titik. Padahal, puncak musim hujan menurut BMKG Maritim Tanjung Perak Surabaya baru akan terjadi pada Januari–Februari 2026. Lantas, mengapa Surabaya sudah kebanjiran sejak awal musim hujan?
Dosen Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Airlangga, Dio Alif Hutama mengungkapkan bahwa fenomena banjir dini ini menjadi alarm penting bahwa infrastruktur pengendali banjir Surabaya belum sepenuhnya siap menghadapi cuaca ekstrem.
“Genangan yang muncul di berbagai wilayah Surabaya menunjukkan kapasitas drainase kita masih belum memadai. Banyak area yang permukaan tanahnya tertutup beton sehingga air hujan tidak bisa meresap optimal. Di sisi lain, sejumlah saluran mengalami sedimentasi dan keterbatasan kapasitas,” jelas Dio, JUmat (14/11/2025).
Banjir yang muncul sebelum puncak musim hujan bukan hanya disebabkan oleh intensitas hujan semata. Dio menjelaskan bahwa ada kombinasi faktor alam dan aktivitas manusia yang memperparah kondisi tersebut. Pertama, adanya curah hujan tinggi dalam waktu singkat sehingga membuat drainase kewalahan. Kedua, saluran air tersumbat sampah dan sedimentasi sehingga aliran air melambat. Ketiga, semakin banyak beton dan aspal membuat air tidak bisa meresap ke tanah dan terakhir, wilayah pesisir Surabaya rawan banjir rob akibat gelombang pasang di Selat Madura.
“Di kawasan yang tertutup beton, air langsung mengalir ke jalan atau permukiman. Saat gelombang pasang terjadi bersamaan dengan hujan deras, risiko banjir akan semakin besar,” tambahnya.
Oleh karena itu, Dio menilai pemerintah kota Surabaya perlu mengambil langkah preventif yang lebih agresif sebelum puncak musim hujan benar-benar tiba. Langkah-langkah yang perlu diperkuat, lanjut Dio, antara lain:
Normalisasi dan pembersihan saluran drainase.
Pemeriksaan rutin pompa air, pintu air, dan pintu laut menuju muara.
Percepatan proyek perbaikan drainase yang belum rampung.
Penegakan tata ruang agar ruang terbuka hijau dan lahan resapan tidak beralih fungsi.
Optimalisasi bozem/kolam retensi di titik-titik rawan banjir.
Selain itu, masyarakat juga harus berperan aktif menjaga saluran air agar tidak tersumbat oleh sampah. “Penanganan banjir Surabaya tidak bisa dilakukan satu pihak saja. Pemerintah harus memastikan infrastruktur siap, dan masyarakat turut menjaga lingkungan. Dengan kolaborasi yang baik, Surabaya bisa lebih tangguh menghadapi musim hujan,” pungkas Dio.(*)
Kontributor: PKIP
Editor: Abdel Rafi



