Politik luar negeri Prabowo Subianto terbaca sejak pidato perdananya sebagai Presiden RI, “..bangsa yang besar adalah bangsa yang berani menghadapi tantangan!” Dengan harapan besar menuju Indonesia Emas 2045, persoalan domestik mulai dari swasembada pangan dan energi, dan hilirisasi dapat disinkronkan dengan postur kebijakan luar negeri Indonesia. Terlebih, Prabowo menunjukkan keaktifan pada forum internasional dan kunjungan bilateral semenjak masih menjadi Menteri Pertahanan di kabinet kedua Presiden Joko Widodo.
Banyaknya perwakilan pemimpin negara yang hadir pada saat hari pelantikannya beberapa waktu yang lalu tercermin pula dalam pidatonya yang menegaskan bahwa Indonesia merupakan bangsa besar yang dihormati oleh berbagai negara. Hal ini juga perwujudan dengan prinsip politik bebas aktif dan bertetangga baik dengan semua negara yang ada di sekitar Indonesia. Menjadi sebuah tanda tanya besar terkait, apakah asa Prabowo dalam kebijakan luar negerinya yang juga termasuk dalam Asta Cita kepemimpinannya merupakan manifestasi masa depan Indonesia?
Antara Retorika dan Realitas
Narasi penting mengenai identitas Indonesia menarik untuk dikaji mengingat menjadi wajah bagi negara yang berdiri pada tahun 1945 ini di hadapan dunia internasional. Pertama, penting dicatat bahwa Prabowo senantiasa menyinggung Indonesia yang terbentuk atas sejarah kepahlawanan dan heroisme, lebih spesifik lagi dalam konteks perang kemerdekaan melawan kolonialisme Belanda. Anti-imperialisme dan anti-kolonialisme dapat dikatakan menjadi salah satu fondasi utama dari politik luar negeri Indonesia pada eranya. Sejarah kelam kolonialisme di Indonesia dicontohkan dengan plang kenamaan pada era Hindia Belanda yakni “verboden voor honden en inlander”, yang secara harfiah adalah “anjing dan pribumi dilarang masuk.”
Prabowo pun menyatakan secara tegas komitmennya bahwa Indonesia akan senantiasa mendukung kemerdekaan Palestina.
Kedua, dalam konteks kepentingan domestik komitmen Indonesia dalam mengejar swasembada pangan dan energi membuat Indonesia cenderung protektif pada diri sendiri dan berprinsip “self-help.” Narasi kemandirian bangsa agar tidak tergantung pada bangsa lain pada dua sektor ini patut diuji karena pada pidatonya Prabowo menyinggung skenario terburuk apabila dunia segera diliputi dengan perang, sebagaimana yang terjadi di kawasan Timur Tengah sampai detik ini.
Terakhir, kebijakan good neighbor policy yang pernah diimplementasikan pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan segera kembali. Prabowo secara eksplisit menjelaskan bahwa konsep ini menjadi ideal bagi politik bebas aktif Indonesia. Imbasnya kita dapat melihat kecenderungan Presiden Indonesia yang berasal dari kalangan militer mementingkan stabilitas kawasan sebagai akar kuat situasi kondusif di dalam negeri. Dengan mempertahankan kawasan minim gejolak, stabilitas domestik Indonesia juga seyogianya dapat menjadi kuat.
Lebih Asertif atau Ambigu?
Prabowo, yang sempat mengundang tokoh neorealisme ofensif dalam Hubungan Internasioanal, Profesor Universitas Chicago John Mearsheimer pada saat retreat menteri-menteri Kabinet Merah Putih di kediaman pribadinya di Hambalang, Bogor justru lebih banyak menyinggung tentang negara, permasalahan, ancaman, hingga patriotisme ketimbang politik tetangga baik atau bebas aktif di dalam pidatonya. Semuanya mencerminkan pandangan Prabowo tentang dunia internasional. Negara harus memiliki pendirian kuat untuk menopang dirinya sendiri.
Mearsheimer berpandangan bahwa setiap negara besar memiliki kemampuan ofensif dan setiap negara perlu mempertahankan keberadaannya di peta dunia, tidak terkecuali Indonesia. Retorika-retorika nasionalisme mengindikasikan identitas kuat Indonesia sebagai sebuah negara besar. Cara pandang dunia Prabowo yang juga menekankan Indonesia sebagai welfare state yang adil dan makmur telah muncul pada saat pencalonannya sebagai Presiden kembali pada tahun 2014 dan 2019. Inti dari kebijakan luar negeri Indonesia tentu adalah kepentingan nasional yang bersumber pada kebutuhan domestik dan merefleksikan pada politik yang sedang dijalankan Prabowo di dalam negeri.
Tersusunnya kabinet Prabowo yang dapat dikatakan menjadi kabinet tergemuk sejak era Orde Baru diwarnai dengan posisi Menteri Luar Negeri (Menlu) yang ditempati oleh Sugiono. Menlu Sugiono merupakan politisi “cum militer” Gerindra yang pernah bekerja sebagai sekretaris pribadi Prabowo Subianto sekaligus ‘anak ideologis’ Prabowo. Penempatan Sugiono tentu memberikan ruang terbuka bagi Prabowo untuk menunjukkan peran sentralnya dalam penentuan hingga eksekusi kebijakan luar negeri Indonesia. Sosoknya akan langsung “cawe-cawe” dalam segala pengambilan keputusan yang dilakukan di Pejambon (re: Kementerian Luar Negeri). Kepercayaan diri Prabowo yang tinggi untuk mengonstruksi identitas Indonesia sebagai “negara besar” tentu akan baik dalam menavigasi percaturan politik Indonesia di kancah regional dan global.
Trajektori Politik Luar Negeri Indonesia Ke Depan
Narasi “negara besar” Prabowo akan berdampak signifikan terhadap kebijakan luar negeri Indonesia nantinya. Salah satu upaya yang ditempuh belakangan ini adalah mulai mengambil posisi dalam KTT BRICS di Kazan, Rusia, sebagaimana yang diikuti oleh Menlu Sugiono pada akhir Oktober lalu. Diestimasikan, peran sentral Prabowo dalam perumusan dan pengambilan keputusan dalam kebijakan luar negeri mengindikasikan semakin aktifnya Indonesia dalam merespons perubahan global, termasuk menerapkan secara eksplisit politik luar negeri bebas aktif dengan mengetes konsistensi Amerika Serikat dalam melihat Indonesia sebagai mitra karena keputusan Jakarta untuk sikap “intent to join” ke dalam BRICS.
Di dalam kajian Hubungan Internasional, aspek neorealisme sangat kental dalam kebijakan luar negeri Indonesia dibawah Presiden Prabowo Subianto. Opsi untuk mengambil sikap principled realism yang menegaskan keberlanjutan kebijakan luar negeri bebas-aktif Indonesia dapat bersifat asertif jika dihadapkan dengan kepentingan nasional. Pandangan Prabowo terhadap negara bersifat “self-help” dapat mempengaruhi Indonesia memandang relevansi dari keanggotaannya di berbagai forum internasional dan menegaskan posisinya yang selama ini penuh dengan ambiguitas. Selain itu, perlu diperhatikan status middle power yang selama ini membawa Indonesia dalam zona nyaman. Perubahan tentu dapat menjadi sebuah pisau bermata dua, terutama bila secara kapabilitas belum mampu untuk melakukan transisi menjadi kekuatan besar. Ambisi besar tanpa secara realistis dengan kondisi terkini akan mengarahkan pada angan dan retorika kosong. Apakah pemerintah baru dapat menjawab pertanyaan ini?
MUHAMMAD FARHAN PRATOMO
Peneliti Center for National Defence and Security Studies (CNDSS)
PROBO DARONO YAKTI
Direktur Center for National Defence and Security Studies (CNDSS) dan Dosen Hubungan Internasional FISIP Unair