Ismail Haniyeh (62) dinyatakan meninggal dunia oleh otoritas Hamas pasca serangan
yang terjadi di Iran pada Rabu (31/7/2024) lalu. Kematiannya menyisakan suatu pertanyaan besar mengenai nasib perjuangan Palestina meraih kemerdekaan dari Israel ke depan tanpa sosok Perdana Menteri yang pernah menjabat pada tahun 2006 sampai dengan 2014 ini. Pengganti Haniyeh pun akan sulit dipersiapkan mengingat posisi yang didudukinya yakni Biro Politik Hamas, lembaga tertinggi di dalam kepemimpinan organisasi dengan kepanjangan Harakat al-Muqawamah al-Islamiyyah, mengalami kekosongan kepemimpinan karena sebelumnya Deputinya Saleh Al-Rouri telah terlebih dahulu mangkat karena terkena serangan rudal dari Israel.
Sentralitas Figur Haniyeh
Ismail Haniyeh merupakan politisi ulung yang lahir di Shati, Jalur Gaza dan pada saat dewasa menempuh pendidikannya di Universitas Islam Gaza. Pada saat Intifada Pertama, ia termasuk interniran yang pernah merasakan dipenjara dan dibuang ke Lebanon. Sepulangnya setelah pembuangan medio 1993, Haniyeh kembali ke Gaza untuk mengabdikan diri menjadi Dekan di universitas tempatnya studi dan menjadi cendekiawan terkemuka serta membuatnya melambung menjadi tokoh kenamaan. Puncaknya sebelum menjadi Perdana Menteri, ia menjadi Ketua Hamas di Jalur Gaza.
Haniyeh memiliki peran yang krusial dalam menentukan arah gerak politik Hamas mengingat latar belakangnya sebagai seorang intelektual. Haniyeh memberikan masukan kebijakan dan strategi militer maupun diplomasi Hamas dengan pihak luar untuk memperjuangkan Palestina. Legasi terbesarnya adalah mengubah buku pedoman strategi Hamas pada tahun 1988 pada tahun 2017, yang membuat kelompok ini lebih terbuka pada rivalnya yakni Fatah yang mencoba mencapai kemerdekaan Palestina melalui cara yang lebih lunak. Strategi akomodasi, dialog, dan rekonsiliasi dari Haniyeh pada faksi-faksi politik di Palestina terbukti efektif, meskipun secara garis besar ada berbagai aspek yang membuat Hamas dan Fatah masih belum dapat menjadi satu frekuensi yang sama.
Selain itu, figur kepahlawanan Haniyeh dianggap mampu meningkatkan dukungan masyarakat Hamas maupun Palestina pada umumnya untuk tidak pernah berhenti melancarkan gerakan perlawanan. Secara dinamika politik internal keberadaan Haniyeh memberikan kontribusi secara moral dan semangat kepada rakyat Palestina di Gaza maupun Tepi Barat sekaligus menjadi ciri khas yang agaknya mustahil untuk digantikan oleh tokoh-tokoh politik berikutnya yang dapat diorbitkan oleh Hamas. Berkat Haniyeh pula, Qatar dan Iran menunjukkan simpati yang besar terhadap perjuangan Palestina dan bersedia membantu secara moril dan materiil terbukti dari berbagai program pelatihan serta pasokan alutsista yang pernah diadakan oleh Teheran dan Qatar yang lebih banyak memberi sumbangsih pendanaan.
Perubahan Strategi Perjuangan
Kematian Haniyeh tentu menimbulkan potensi perubahan kepemimpinan di Hamas, dengan komposisi yang sudah mengalami kevakuman. Tokoh-tokoh yang berpengaruh di Hamas diprediksi mengisi pos yang telah ada. Berdasarkan informasi yang dirangkum oleh salah satu media besar tanah air pada Kamis (1/8/2024) lalu, Haniyeh akan berpotensi digantikan oleh tiga orang yang memiliki kans dan potensi besar. Pertama, Abu Marzuk yang memiliki kemiripan sikap dengan Haniyeh dengan menyarankan Hamas untuk menerima negara Palestina berdasarkan perbatasan tahun 1967 setelah Israel merebut wilayah Palestina di Tepi Barat termasuk Yerusalem timur dan Jalur Gaza. Kedua, Khalil al-Haya yang saat ini juga duduk di posisi penting dalam biro politik Gaza. Haya yang berpengalaman di parlemen Hamas pada tahun 2006 tersebut dekat dengan kepala sayap bersenjata, yakni Yahya Sinwar. Ketiga, Khaled Meshaal yang pernah menduduki posisi sebelum Haniyeh kemungkinan besar juga dapat kembali memimpin pergerakan.
Terlepas dari siapa pun yang menjabat, pengaruh terhadap stabilitas internal Hamas dan politik Palestina sangat dipertaruhkan. Sosok moderat di Hamas menjadi peran kunci bagi rekonsiliasi dan persatuan faksi-faksi di Palestina untuk melaju dalam satu pergerakan masif, sehingga proses perdamaian dapat tercapai dengan serempak. Jika tidak, maka terdapat konsekuensi yang akan timbul. Pertama, seteru Palestina, Israel tentu melihat persoalan internal antara kepemimpinan Tepi Barat dan Gaza yang tidak sinkron dan sinergi satu sama lain. Hal ini mengkreasi peluang bagi serangan-serangan kepada Palestina yang bisa saja dapat membuat konflik regional tidak kunjung tuntas dengan meninjau kembali hubungan dengan Suriah dan Hizbullah. Situasi yang tercipta dari tindakan ini dapat mempengaruhi dinamika persekutuan anti-Israel di wilayah tersebut.
Kedua, sikap dari pemimpin selanjutnya di Hamas akan memengaruhi Arab Saudi dan Negara Teluk Lainnya yang memiliki hubungan yang kompleks dengan Hamas. Pergantian kepemimpinan dan arah politik Hamas dapat memberi ruang bagi negosiasi baru atau bahkan konfrontasi yang lebih meluas. Ketiga, proses negosiasi perdamaian antara Israel dan Palestina akan banyak terpengaruh dengan siapa pun pengganti Haniyeh termasuk berkaitan dengan pola operasi militer dan pertahanan melalui aliansi dan strategi militer Hamas yang cenderung berubah dan dinamis akan mempengaruhi keamanan dan stabilitas regional.
Keempat, relasi dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa secara simultan akan memberikan respons yang diperlukan dalam menanggapi perubahan kepemimpinan di Hamas dengan pendekatan baru dalam kebijakan luar negerinya terhadap Palestina dan Timur Tengah secara umum. Belum lagi Rusia dan Tiongkok yang akan melakukan rekonfigurasi kebijakan luar negeri baik dalam mendukung atau menentang kelompokkelompok di Palestina.
Pada akhirnya, konsekuensi-konsekuensi di atas akan timbul dari siapa pun yang akan memimpin gerakan Hamas ke depannya. Untuk selanjutnya, suksesi kepemimpinan dapat menunggu dinamika politik internal dengan Hamas dengan mempertimbangkan faktor internal dari Palestina maupun dari eksternal yang bergantung pada situasi Timur Tengah dan dunia. Kemudian mengerucutlah pada dua pilihan penting dalam nasib Palestina ke depan: apakah dimanfaatkan untuk rekonsiliasi atau eskalasi, tentu hanya Hamas yang dapat menjawab semua tantangan ini. From the river to the sea, Palestine will be free!
PROBO DARONO YAKTI
Dosen Departemen Hubungan Internasional FISIP Unair dan Direktur Center for National Defense and Security Studies (CNDSS)