Friday, March 29, 2024
HomeGagasanMenempati Jeda

Menempati Jeda

IMG_20160303_224148

Ritual pagi dimulai dari mata yang terbuka ketika ruang telinga digetar suara dari spiker masjid berjarak dua gang dengan rumah. Sholawat tarhim memang sering diputar menjelang fajar. Puji-pujian pada Nabi Muhammad Yang Mulia memecah hening dan dingin udara. Kalau boleh disensus, barangkali hanya dua lusin dari populasi kampung yang beranjak ke Masjid untuk berjamaah subuh. Ratusan nyawa yang lain baru memulai perjalanan mimpinya, beberapa juga ada yang berjalan sambil memincingkan mata ke kamar mandi untuk sekedar buang air kecil, lalu kembali tidur sampai adzan-adzan berikutnya. Kalau Saya sendiri bagaimana? Ya kadang jadi golongan pertama, kedua, atau bisa jadi yang ketiga. Setiap kebiasaan memang tidak harus dilakukan terus-menerus seperti halnya jam dinding – ia tak punya kemerdekaan untuk menambah atau mengurangi periode detiknya. Hanya begitu saja. Dan memang harus begitu adanya.

Bicara tentang kebiasaan, masing-masing orang pasti punya remah aktivitas berbeda. Selama masih di takaran personal, segala kebiasaan memang terlepas dari baik—buruk. Misalnya kebiasaan duduk sambil menggetar-getarkan kaki di meja, kebiasaan menyanyi di kamar mandi, kebiasaan makan langsung dengan tangan. Hal-hal semacam itu bebas saja dilakukan sendiri, selama tidak ada yang merasa terganggu, dan tidak akan dihakimi. Lain halnya ketika kebiasaan tampil di antara aktivitas komunal. Apalagi di lingkungan yang sama-sekali alergi dengan kebiasaan semacam itu.

Demikian pun, kita toh terbiasa jadi tim juri untuk banyak hal. Terbuka atau tidak, pikiran kita secara otomatis punya perangkat untuk menilai segala sesuatu. Secara insting mungkin ini jadi upaya pengumpulan data kita sebagai manusia sehingga ke depan semakin adaptif secara sosial. Bagaimanapun, perilaku sehari-hari kita merupakan cerminan dari ‘isi’ dalam kepala dan dada. Maka dari itu ada banyak kategorisasi manusia berdasarkan identifikasi kebiasaan perilakunya. Belum lagi penggolongan itu disandingkan dengan variabel-variabel lain, usia dan gender misalnya; sehingga sudah bisa dibayangkan berapa gigabit informasi diolah setiap manusia untuk memulai perlakuannya pada manusia lain.

Pada sudut yang lebih besar, mengenal kebiasaan diri sendiri bisa jadi sesuatu yang perlu dibiasakan. Alangkah sering kita temui berita-berita menyedihkan, menyebalkan, menggemaskan, membuat kita tidak habis pikir bagaimana bisa keburukan-keburukan setiap hari ada. Minggu ini full pemberitaan tentang pembunuhan, minggu depan full pencabulan, minggu depannya lagi semua hilang – berganti pemberitaan tentang pecah kongsi partai politik yang… duh… sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan khidmat kita pada hidup masing-masing. Betapa sering kita terpaksa memikirkan permasalahan yang dipaketkan untuk mata dan telinga melalui sekotak televisi atau telepon genggam. Sehingga luput perhatian pada banyak hal, pada kota sendiri, pada kampung sendiri, pada keluarga sendiri, pada diri sendiri!

Kalau tiap hari media cetak dan elektronik menimang otak dan pesona persona identitas menjadi menu utama hati kita, lambat laun kebiasaan berpikir jadi dibesarkan oleh rimba informasi yang belum jelas petanya. Sementara saat ini lebih mudah akses ke pernak-pernik selebritas-entertainmen dan selebritas-politik daripada akses publik terhadap hasil kajian intelektual; atau bayangkan betapa susahnya mencari profil mendetil para ulama, tokoh pejuang, atau para pemantik cahaya dalam sejarah Negeri bernama Indonesia.

Sudah berapa generasi, dan mau berapa generasi lagi kira-kira kita harus wariskan kebiasaan ketidak-mandirian untuk menjadi diri sendiri. Terbiasa sudah kita sibuk mengamati kuman di seberang lautan, dan menolak gajah di pelupuk mata. Gagal punya konsep hasil pemikiran karena terbiasa diasuh kecurigaan dan kemalasan berpikir.

Jemari sudah biasa tergesa menari di atas piranti layar sentuh, tidak sabar kita sebar banyak hal tanpa peduli kebenarannya. Tanpa selidik hulu dan hilirnya. Kepala terbiasa tunduk pada pantul cahaya telepon dalam genggam tangan, menggantikan jabat erat, dan hangat kunjungan. Cukuplah screenshot sebagai saksi dan bukti, di mana-mana kita temui informasi termutilasi dan hasil potongan itu ramai dikonsumsi oleh mereka yang juga sudah terbiasa kenyang mengecap daging saudaranya.
***
Mengamati kebiasaan diri sendiri sebenarnya merupakan salah satu mekanisme bercermin, muhasabah, menekan tombol pause untuk istirahat melakukan penilaian ke luar, namun masuk kembali ke lubuk, memberi jeda, menggali keburukan diri dan mencari potensi kebaikan yang bisa dibagi ke lebih banyak orang.

Diistilahkan ‘pulang ke rumah’ oleh para spiritualis timur, mengenal diri sendiri memang seharusnya menjadi titik balik yang tidak hanya dilakukan sesekali namun menjadi kebiasaan setiap saat. Memahami batas-batas diri sehingga paham pada wilayah mana sebaiknya sebagai manusia kita difungsikan. Para pejalan tasawuf memahami konsep bahwa hati adalah cermin yang di-Cahayai oleh Allah, selama terbuka segala penghalang, hati bisa merasakan pantulan Cahaya itu mewujud dalam setiap peristiwa.

Peran sebagai sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi manusia lain. Dan kebermanfaatan itu ternyata tidak harus terlebih dahulu menempati posisi-posisi strategis seperti ketua RT, pejabat tinggi, menteri, presiden, penasehat presiden, dan semacamnya. Bisa jadi hanya sesederhana mengusahakan diri agar tidak menyusahkan orang lain. Tidak menjadi minyak di tengah kobaran api. Tidak menjadi penutup pintu pada ruangan yang penuh kabut. Tidak menimbun sampah di lingkungan yang kesehatannya sudah terganggu. Dan banyak lagi perilaku manusiawi yang seharusnya tidak perlu harus didikte-kan lagi.

Kepada Tuhan setiap hari kita mengaku sedang sesat agar ditunjukkan ke jalan yang lurus. Memohon padaNya agar dilimpah Kasih Sayang, bersaksi atas Kekuasaan, dan mengkonfirmasi bahwa hanya Dialah Maha dari segala maha. Kepada orang lain, patutkah kita punya telunjuk untuk memberikan arogansi penilaian dalam terbatasnya pengetahuan? Atau sudah mendarah-daging-kah kebiasaan menghakimi kelemahan dan kesalahan manusia lain dalam diri yang sebenarnya tidak berdaya atas apapun?

Kalau ada ungkapan “kurang piknik!” bagi mereka yang sering turut campur pada segala sesuatu, ada baiknya kita tidak pula meramaikan dengan riuh sorai umpatan. Betapa bising sudah di luar sana. Hingga terlalu sering kita dengar suara-suara dari dalam nurani. Pun tidak perlu terlampau jauh untuk menempati jeda, titik hening dalam diri, memulai perjalanan menemuiNya yang ternyata berada lebih dekat dari urat nadi.

DALIYANAYYA RATUVIHA

Pegiat Majlis Masyarakat Maiyah JawaTimur

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular