Sunday, September 15, 2024
spot_img
HomeGagasanMempertaruhkan Kredibilitas Pemilu 2024

Mempertaruhkan Kredibilitas Pemilu 2024

Pemilihan umum (Pemilu) merupakan salah satu instrumen terpenting dalam sistem politik-demokratik modern. Pemilu bahkan telah menjadi salah satu parameter utama yang secara mondial diakui masyarakat internasional untuk melihat demokratis tidaknya suatu negara. Tak heran jika kemudian Chehabi dan Linz (1998) menyebutkan bahwa ketika perang dingin berlangsung, hampir semua negara ingin berusaha mengidentifikasi diri sebagai negara demokratis dengan cara melaksanakan Pemilu secara reguler. Meskipun pada saat yang lain, Pemilu seringkali dilakukan hanya untuk melegitimasi tindakan nyata rejim yang otokratik.

Pemilu merupakan proses sirkulasi elit yang bersifat inklusif, dimana semua warga secara terbuka memiliki kesempatan dan hak yang sama untuk memilih dan dipilih. Melalui prosesi Pemilu, rakyat memiliki kesempatan untuk menentukan beragam harapan, keinginan dan berbagai kepentingannya melalui pilihan-pilihan politiknya yang disalurkan dalam pemilu. Karena itulah dalam konteks pemilu, rakyat sebagai pemilih memiliki urgensi tersendiri.

Kredibilitas Pemilu 2024 Terancam

Semua pihak, terutama para stakeholder yang terkait dengan terlaksananya Pemilu 2024 memiki kewajiban dan tanggung jawab moral, politik, dan sejarah untuk mewujudkan Pemilu 2024 ini kredibel. Bagaimana menjaga dan memastikan bahwa Pemilu 2024 dapat berjalan secara demokratis, sesuai azaz Pemilu Luber dan Jurdil. Memastikan sirkulasi elit melalui mekanisme elektoral berjalan dengan elegan dan beradab. Prinsip-prinsip demokrasi harus ditegakkan dan nampak dalam setiap tahapan proses pelaksanaan Pemilu. Karena itu, menjaga kredibilitas Pemilu 2024 sangat penting dan urgen. Hal ini mengingat, ada indikasi telanjang; Pertama, munculnya sikap dan tindakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang secara telanjang “cawe-cawe” dalam Pemilu 2024. Sikap dan tindakan politik Presiden Jokowi tak hanya sebatas verbal, tapi secara aktual terlihat dalam tindakan real politiknya. Salah satunya, cukup aktif meng-endorse Capres tertentu, pada saat yang sama, secara halus menegasikan capres yang lain.

Kedua, politik cawe-cawe Presiden Jokowi, semakin telanjang menyusul ditetapkannya Gibran Rakabuming Raka (baca: anaknya) menjadi cawapres mendampingi Prabowo Subianto. Salah satu yang paling disorot publik adalah praktek politik instan dan karbitan yang mewarnai proses Gibran menjadi cawapres. Publik menilai, prosesnya Gibran menjadi cawapres mendampingi Prabowo jauh dari etika dan prinsip-prinsip demokrasi yang yang sehat dan beradab. Dari kader PDIP, loncat jadi kader Golkar, dan bim salabim menjadi cawapres Golkar dan pilihan Koalisi Indonesia Maju. Tak bisa dipungkiri, Gibran juga terbantu dengan jalannya atau bekerjanya tangan-tangan kekuasaan yang masuk dalam proses hukum di Mahkamah Konstitusi atau dalam pandangannya Herlambang (2023) sebagai Judicialization of Oligarchy Politics.

Melihat praktek dan proses politik instan dan karbitan seperti itu, tidak heran jika kemudian laporan majalah Tempo memberi stempel politik kepada Gibran sebagai “anak haram konstitusi, anak haram demokrasi”. Dia dilahirkan dari rahim politik yang penuh praktek yang haram. Putusan Mahkamah Kehormatan MK setidaknya bisa dijadikan salah satu indikator kuatnya.

Ketiga, dengan ditetapkannya Gibran (anak presiden) menjadi cawapres berdampingan dengan Prabowo Subianto, secara potensial dapat melahirkan praktek kekuasaan baik yang bersifat laten maupun manifest yang mengarah pada lahirnya pelanggaran dan kecurangan Pemilu yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif. Apalagi, Presiden Jokowi baru saja menerbitkan aturan; bagi para menteri dan kepala daerah yang maju Pemilihan Presiden tidak perlu mundur. Aturan ini tentu saja menjadi “angin segar” dan keberuntungan politik tersendiri bagi paslon, terutama Prabowo-Gibran. Dengan demikian, bagi paslon Prabowo-Gibran bisa secara leluasa dan bebas memanfaatkan fasilitas sumber daya negara untuk kepentingan politik Pilpres 2024. Contoh yang paling sederhana, bagi Paslon Prabowo-Gibran, karena masih berstatus “pejabat negara”, masih melekat hak atas fasilitas negara. Dalam prakteknya, akan sulit membedakan sebagai pejabat dan sebagai capres dan cawapres.

Keempat, adanya penggunaan dan pemanfaatkan politik atas elemen-elemen sosial-politik yang dilarang oleh undang-undang. Salah satunya, pemanfaatan kepala dan perangkat desa untuk kepentingan politik pemenangan. Praktek-praktek politik semacam ini, selain melanggar etika politik demokrasi, tetapi juga berpotensi melanggar hukum. Wajah demokrasi kita akan semakin buram dan tidak sehat, karena banyak penyakit akut yang melingkupinya.

Pengawasan Semesta Rakyat

Praktek politik yang menyertai proses Pemilu 2024 di atas, termasuk sikap dan tindakan politik cawe-cawe Presiden Jokowi ini tentu saja akan berbahaya dan membahayakan proses jalannya Pemilu 2024 dan membahayakan demokrasi ke depan. Saat ini, kita sudah mengalami kemunduran demokrasi akibat praktek-praktek politik elit yang merusak; nir etika dan nir moral. Jika ini dibiarkan, legitimasi moral dan politik Pemilu 2024 akan jatuh dan efek politik domino, potensial akan menimbulkan ketidakpuasan dan kekacauan politik secara massal dari masyarakat. Peristiwa politik serupa di negara-negara lain yang berakibat pada gerakan sosial-politik masyarakat yang menggagalkan terbentuknya pemerintahan baru, setidaknya dapat dijadikan pelajaran berharga. .

Menjaga marwah dan kredibilitas Pemilu 2024 adalah bagaimana upaya kita semua untuk memastikan Pemilu 2024 berjalan dengan demokratis; Luber dan Jurdil, menghasilkan wakil rakyat dan pemimpin yang berkualitas sebagai modal sosial-politik untuk membangun bangsa dan negara ke depan yang lebih mandiri, sejahtera, dan berkemajuan? Dalam konteks ini, peran Presiden Jokowi sangat penting dan strategis. Kita tahu, Pemerintahan Jokowi akan berakhir, dan akan digantikan dengan presiden dan pemerintahan baru. Presiden Jokowi adalah orang yang pertama yang harus memberi keteladan politik, bagaimana agar marwah Pemilu 2024 tetap terjaga.
Menjadi sebuah pilihan politik bagi Presiden Jokowi; apakah mau jadi negawan atau politisi? Sebagai politisi, Jokowi sudah paripurna; mulai menjadi walikota, gubernur, dan presiden (dua periode). Seorang negarawan adalah seorang yang berfikir dan bertindak untuk kepentingan bangsa, negara dan masyarakat, bersikap dan bertindak imparsial dalam poltik elektoral, menjadi “wasit’ yang adil bagi semua, dan peran strategis presiden adalah memastikan dan menghantarkan Pemilu 2024 berjalan Luber dan Jurdil dan menghantar pergantian tampuk kekuasaan berjalan dengan damai, aman dan terkendali.

Pelaksanaan Pemilu 2024 yang berjalan Luber dan Jurdil dan mengantarkan pemimpin baru pilihan rakyat, akan dapat dijadikan legacy bagi Jokowi yang dapat dikenang dalam sejarah demokrasi Indonesia.

Terakhir, untuk mereduksi pelanggaran dan penggunaan kekusaan secara eksesif untuk pemenangan Pemilu 2024, selain harus ada political will dari elit politik, perlu ada gerakan semesta dari masyarakat untuk mengawasi proses dan setiap tahapan Pemilu 2024. Literasi politik kritis masyarakat harus ditingkatkan, agar marwah dan kredibilitas Pemilu 2024 tetap terjaga, dan diharapkan akan melahirkan para pemimpin negara yang berkualitas dan wajah demokrasi semakin maju dan beradab.

UMAR SHOLAHUDIN

Dosen Sosiologi Politik FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Berita Terbaru

Most Popular