Tuesday, October 8, 2024
spot_img
HomeGagasanMembayangkan Wakanda, Eh Indonesia

Membayangkan Wakanda, Eh Indonesia

Mungkin seperti Anda juga, saya penggemar siniar atau podcast “Endgame” yang dibawakan oleh Gita Wirjawan. Iya, podcast yang selalu diawali penjabaran sejarah hidup narasumbernya itu. Salah satu episode paling favorit saya adalah “Biodiversity: Indonesia’s Infinity Stone”, Season 2 Episode 6, oleh Sharlini Eriza Putri.

Nah, kenapa saya suka banget? Satu, karena saya suka film para superhero Marvel Cinematic Universe (MCU), jadi nyambung sama judul episode-nya. Infinity Stone adalah sekumpulan batu ajaib nan sakti yang memiliki kekuatan untuk mengubah dunia. Thanos, salah satu antagonis kisah-kisah MCU, bahkan bisa memusnahkan setengah populasi dunia hanya dari satu jentikan jarinya. Kedua, Wakanda adalah salah satu nama negara fiktif MCU yang sering digunakan netizen untuk menggantikan Indonesia. Wakanda ini keren banget, sih. Negara yang sangat maju dengan teknologinya, tapi masih mempertahankan bahkan menjunjung tinggi ajaran leluhur dan budayanya. Ketiga, menjadikan Wakanda sebagai metafora Indonesia saya rasa cukup pas, sehingga imajinasi saya tidak perlu bekerja terlalu keras jika muncul perbandingan Wakanda dengan Indonesia. Beda kalau kita menggunakan Konoha, juga nama negara fiktif di komik “Naruto”, sebagai metafora Indonesia. Imajinasi saya masih harus agak bekerja keras menemukan inkarnasinya. Nah, jadi bayangkan saja kalau Indonesia ini punya Infinity Stones yang kuat banget, tapi kekuatan ini letaknya di biodiversitas. Harusnya, idealnya, Indonesia bisa mengubah dunia hanya dengan satu jentikan jari saja.

Bisakah Indonesia canggih seperti Wakanda? Kronik Wakanda menjadi negara yang super canggih sebenarnya tidak dijelaskan secara rigid di MCU. Hanya, mereka punya material logam bumi super kuat yang bernama Vibranium. Tidak hanya itu, Wakanda memiliki sumber daya alam yang sangat banyak, seperi batu bara, uranium, dan berlian. Tapi, Vibranium ini tidak diperjualbelikan di luar Wakanda. Masyarakat Wakanda lebih memilih untuk menyimpan dan menggunakan Vibranium untuk keperluan mereka sendiri. Tentu didukung sepenuhnya oleh pemerintah yang bijak dan tidak rakus. Beda lagi kalau Indonesia. Walau punya sumber daya alam yang sangat tinggi, bahkan nomor dua di dunia untuk biodiversitas, tapi Indonesia masih belum memiliki teknologi secanggih Wakanda, dan masih banyak orang miskin di Indonesia ini. Apakah Indonesia juga terkena kutukan sumber daya (paradox of plenty)? Atau apakah karena kebanyakan masyarakat Indonesia masih menganut apa yang disebut oleh Tan Malaka sebagai logika mistika? Sehingga kecanggihan teknologi masih kalah dengan kecanggihan restu dari kyai.

Bisakah Indonesia seteguh Wakanda dalam berbudaya? Berhubung Indonesia ini budayanya memang lebih banyak dan lebih kompleks ketimbang Wakanda, memang cukup sulit juga menyatukan sekaligus meneguhkan Indonesia dalam satu kesatuan peleburan budaya. Tapi, kalau bahasa dijadikan sebagai salah satu indikatornya, maka Indonesia, yang punya 715 bahasa daerah, sepertinya lebih hebat ketimbang Wakanda. Hanya saja, penulis sendiri adalah salah seorang yang menyayangkan lunturnya budaya nenek moyang kita. Saat ini penulis lagi getol belajar adab sosial orang Jawa di perdesaan, seperti ajaran tentang aruh, suguh, gupuh, lan lungguh. Penulis pikir ajaran seperti ini tidak ada di Wakanda. Tapi apakah norma sosial seperti ini masih dapat dihafalkan, dipikirkan, dipahami, dan dipraktikkan oleh generasi kini dan masa depan? Inilah kenapa Indonesia harus punya keteguhan berbudaya seperti Wakanda. Dalam menentukan pemimpin saja, Wakanda masih harus menyelanggarakan pertarungan yang dikemas dalam bentuk ritual adat. Apa iya kita mau menentukan pemimpin dengan mempertarungkan kandidat terbaik dengan kotak kosong? Sepertinya kita harus lebih teguh dalam berbudaya, dan berdemokrasi. Sebagaimana budaya orang-orang desa yang mementingkan musyawarah, kolektivitas, dan kegotong-royongan antar kalangan masyarakat sebagai manifestasi demokrasi tradisional di Indonesia. Penulis jadi ragu, jika ada orang yang bilang kalau kekayaan Indonesia adalah perbedaan. Jangan-jangan dia hanya rakyat kecil, yang bermimpi tentang Wakanda. Bukan orang elit berduit berkuasa, yang hidup di Indonesia.

Tapi memang seperti itulah narasi kebanyakan. Imajinasi selalu lebih baik ketimbang realitanya. Wakanda mungkin lebih baik ketimbang Indonesia karena Wakanda adalah produk imajinasi. Apakah tidak bisa Wakanda menjadi kenyataan? Tidak bisakah Wakanda menjelmakan dirinya menjadi Indonesia di dunia yang nyata? Mari kita ingat lagi logika mistika, sebuah logika umum masyarakat Indonesia menurut Tan Malaka menjebak masyarakat Indonesia pada kelembaman dan keterkungkungan pikiran. Maka, menjadikan Indonesia sebagai Wakanda di masa depan sebenarnya bukahlah perihal mustahil. Pertama, bukan mendasarkan semata pada imajinasi, akan tetapi kita harus lebih mendasarkan diri pada logika. Logika yang bisa memberikan dikotomi benar dan salah, mungkin dan tidak mungkin, rasional dan irasional. Kedua, masyarakat Indonesia harus “tersadar” dan bangun. Kita tidak boleh terus-terusan tidur dan bermimpi akan keajaiban. Kata Sjahrir, kemenangan itu diraih lewat pertaruhan kehidupan. Kesadaran untuk menjadi lebih baik dalam kesatuan Indonesia ini yang harus ditanamkan dan ditumbuhkembangkan ke masyarakat Indonesia. Dan kesemuanya tercermin dari Sharlini Eriza Putri yang menjadi narasumber pada episode Indonesia’s Infinity Stone. Sharlini menempuh pendidikan tinggi untuk menempa hidupnya dan membuat sebuah perusahaan start-up bidang bioteknologi genom sebagai wujud kesadarannya.

Jadi, mari kita tempa hidup kita dengan logika dan rangkai kontribusi kita melalui kesadaran kita masing-masing. Sehingga Wakanda, eh Indonesia, yang canggih nan berbudaya dapat kita wujudkan bersama.

 

PRAJA FIRDAUS NURYANANDA

Dosen dan Pendiri Yayasan Abyakta Acitya Bhumi

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Berita Terbaru

Most Popular