
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Wacana Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) soal “satu orang satu akun media sosial” ramai diperdebatkan publik. Aturan ini disebut bisa menekan hoaks dan akun anonim, tapi di sisi lain juga menuai kritik keras.
Salah satu suara kritis datang dari akademisi sekaligus pemerhati kebijakan media dan komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (FISIP UNAIR), Titik Puji Rahayu. Ia menilai, kebijakan tersebut berpotensi salah sasaran.
“Kalau berpikir bahwa mengurangi akun akan otomatis mengurangi hoaks, itu logika yang keliru. Satu akun bisa menyebarkan ratusan bahkan ribuan hoaks. Jadi yang seharusnya jadi unit analisis bukan jumlah akun, melainkan jumlah hoaksnya,” ujarnya.
Hoaks Disebar Bot, Bukan Manusia
Menurut Titik, fakta di lapangan justru memperlihatkan mayoritas hoaks disebarkan oleh bot atau akun otomatis, bukan akun asli milik manusia. Karena itu, ia menilai kebijakan satu orang satu akun sama saja menghukum pihak yang tidak bersalah.
“Yang banyak menyebarkan hoaks biasanya adalah bot. Tapi kenapa yang dihukum justru manusia, pengguna biasa yang bukan automated system?” tegasnya.

Ia juga menekankan bahwa punya banyak akun di era digital itu wajar. Ada akun yang dipakai untuk kerja dan tampil profesional, ada juga akun yang lebih personal untuk pertemanan.
Daripada membatasi jumlah akun, Titik menilai solusi fundamental dalam melawan hoaks adalah edukasi masyarakat dan penguatan literasi digital.
“Masyarakat yang sejahtera dan teredukasi akan lebih kebal terhadap misinformasi. Edukasi penting agar orang tidak sembarangan menyebarkan informasi yang mereka sendiri belum pahami,” jelasnya.
Ia pun mendorong pemerintah untuk mengalihkan fokus dari kontrol ke pembangunan ekosistem digital.
“Lebih baik pemerintah membangkitkan industri media digital nasional. Manfaatnya bukan hanya untuk demokrasi, tapi juga ekonomi dan sosial-budaya,” pungkasnya. (*)
Editor: Abdel Rafi