
BANYUMAS, CAKRAWARTA.com – Di tengah deru zaman digital yang sering kali mengaburkan akar tradisi, Festival Lengger Bicara 2025 hadir seperti oase yang menghidupkan kembali semangat warisan budaya. Lewat program unggulannya, Art Camp Internasional 2025, festival ini tidak hanya menghidupkan kesenian Lengger di hati generasi muda, tetapi juga menggemakannya hingga ke panggung dunia.
Dari Jumat (20/6/2025) hingga hari ini, Minggu (22/6/2025), kampung budaya Banyumas menjelma menjadi panggung perjumpaan lintas negara. Jepang, Thailand, Pakistan, Bangladesh, Sudan, dan Indonesia bersatu dalam semangat belajar, berbagi, dan mencintai seni. Inilah bukan sekadar festival, melainkan simpul budaya global.
Di tengah gempuran budaya pop dan hiburan instan, Lengger berdiri dengan anggun, namun menghadapi tantangan nyata: regenerasi. Banyak anak muda lebih mengenal K-pop ketimbang irama gamelan atau gerak ritmis Lengger. Pengetahuan para maestro pun terancam terputus karena belum sepenuhnya tersampaikan secara sistematis.
Namun Art Camp hadir menjawab kegelisahan itu, bukan sekadar sebagai pentas tari, tapi sebagai ruang edukasi budaya. Bukan hanya mengajarkan gerakan, tapi juga menyelami makna, musik, dan filosofi di balik setiap hentakan kaki dan kibasan selendang penari Lengger.

Salah satu kisah yang menggambarkan kekuatan acara ini datang dari Abul Kalam, mahasiswa pasca sarjana asal Bangladesh. Awalnya asing dengan budaya lokal, ia kini jatuh cinta pada Lengger.
“Saya belum banyak mengenal budaya Indonesia. Tapi karena tinggal di Banyumas, saya ingin tahu lebih banyak. Di sini, saya bukan hanya belajar tari, tapi juga merasakan keramahan yang luar biasa,” tuturnya haru.
Abul bukan satu-satunya. Banyak peserta asing merasakan hal yang sama, bahwa kesenian tradisional bukan sekadar pertunjukan, tapi jembatan antarhati, lintas budaya.

Direktur Art Camp 2025, Nisa Roiyasa, menyampaikan bahwa Art Camp adalah evolusi dari semangat “Lengger Bicara” yang sebelumnya hanya digelar satu hari. Kini, dengan konsep tiga hari yang penuh interaksi lintas budaya, kegiatan ini menjelma menjadi ruang belajar yang inklusif dan mendalam.
“Kami ingin semua peserta lokal maupun internasional mengenal Lengger bukan dari kulitnya saja, tapi dari jiwanya,” kata Nisa.
Festival ini bukan sekadar perayaan, tapi pernyataan: bahwa tradisi bisa hidup berdampingan dengan zaman. Bahwa kesenian lokal, jika diberi ruang dan cara yang tepat, bisa menembus batas geografis dan generasi.
Melalui Art Camp, Banyumas tidak hanya menjaga warisan leluhurnya, tapi juga mengirim pesan ke dunia yakni di setiap gerakan Lengger, ada sejarah, cinta, dan harapan yang terus menari.(*)
Kontributor: Bachtiar Dj
Editor: Abdel Rafi



