Pada 2019, saya bersama kawan-kawan Yayasan Akta Bumi -yang saat itu masih berbentuk komunitas- merintis sebuah inisiatif sederhana namun penuh makna di Desa Tegaren, Kabupaten Trenggalek: Program Besek Kurban. Gagasan dasarnya adalah mengganti kantong plastik pembungkus daging hewan kurban dengan besek bambu, hasil kerajinan tangan para perempuan paruh baya di desa tersebut.
Riset kami menunjukkan bahwa lebih dari 95% perempuan paruh baya di Tegaren menjadikan anyaman besek bambu sebagai pekerjaan sambilan selain bertani. Maka, kami melihat peluang ganda: mengurangi limbah plastik sekaligus meningkatkan pendapatan warga. Gagasan ini ternyata berumur panjang. Hingga 2025 ini, Besek Kurban masih bergulir, bahkan meluas hingga ke Surabaya dan Sidoarjo.
Meski tidak bisa diklaim sebagai program yang benar-benar baru, karena banyak daerah dan lembaga juga mengadopsi pendekatan serupa, tapi bagi kami, Besek Kurban telah membentuk lanskap sosial baru di Tegaren. Bukan sekadar gerakan substitusi kemasan, melainkan jembatan ekonomi, lingkungan, dan kemanusiaan.
Tahun ini, kami menanam energi lebih ke dalam program ini. Kami tidak hanya mendistribusikan besek, tetapi juga mendistribusikan kesadaran. Lewat diskusi panjang bersama warga, kami menemukan titik balik: untuk pertama kalinya, warga Desa Tegaren sendiri yang menginisiasi pembicaraan tentang keberlanjutan program ini. Itu terjadi pada 2023, setelah empat tahun kami menjadi pihak yang aktif menyapa.
Dialog terakhir kami pada Mei 2025 lalu memunculkan langkah strategis: mengintegrasikan program Besek Kurban ke dalam BUMDes Sugih Arto sebagai operator utama. Dari pengumpulan, penyortiran, hingga pengiriman, semuanya kini terkelola secara mandiri di desa. Ini bukan hanya soal distribusi besek, tetapi distribusi semangat berdaya.
Selain itu, melalui program baru kami, Taman Bumi -sebuah ruang belajar praksis- kami juga mengangkat tema kurban dalam konteks yang lebih luas melalui diskusi dan webinar. Kami sengaja tidak lagi mengulang narasi klasik Ibrahim dan Ismail. Bukan karena menafikan nilai spiritualnya, tetapi karena ingin membumikan semangat kurban dalam konteks kekinian: kelaparan, ketimpangan, dan keberlanjutan.
Kita perlu jujur, bahwa Idul Adha bukan hanya soal ritual, tapi juga momentum reflektif terhadap berbagai problem sosial. Pertama, kelaparan dan stunting masih menjadi persoalan akut, terutama di wilayah Indonesia bagian timur yang mencatat Indeks Ketahanan Pangan (IKP) rendah. Padahal kita hidup di negeri yang begitu kaya akan sumber pangan.
Kedua, soal ketimpangan sosial-ekonomi. Selama yang atas terus bisa berkurban dan yang bawah terus menjadi penerima pasif, kita harus bertanya: di mana letak pemberdayaannya? Semestinya, kurban tidak berhenti di titik “produksi”, tapi juga menyentuh sisi “distribusi” secara adil dan berkelanjutan.
Ketiga, kita perlu menghindari jebakan program sosial yang hanya berlangsung sekali: “one-hit wonder”, sekadar “tabrak lari” sosial. Program yang baik harus membangun keberlanjutan, membuka ruang partisipasi masyarakat, dan mendorong mereka menjadi subjek perubahan, bukan objek semata.
Dalam satu sesi webinar kami, tema “kurban ramah lingkungan” juga mendapat sorotan. Kita masih sering melihat praktik mencuci daging di sungai, penggunaan plastik secara berlebihan, bahkan kompetisi menjadi panitia kurban semata demi memperoleh bagian daging. Ini semua mencerminkan ketidakseimbangan antara kehendak sadar dan bawah sadar manusia, sebagaimana disebutkan Carl Gustav Jung: manusia sering terjebak dalam kontradiksi internal.
Kurban sejatinya adalah momentum pengekangan ego, namun dalam praktiknya, justru kadang yang terjadi sebaliknya. Bahkan kalangan menengah ke atas bisa jatuh pada ego yang lebih halus: menjadikan kurban ajang unjuk gengsi lewat ukuran hewan dan jumlah yang disumbangkan, tapi abai pada distribusinya yang berkeadilan.
Jika kita meyakini bahwa sebagian hak kaum miskin ada dalam harta orang kaya, maka semangat Idul Adha seharusnya melampaui seremoni tahunan. Ia harus menjadi etos yang menggerakkan kita untuk terus memberi, bahkan setelah gema takbir berhenti.
Akhir kata, perayaan Idul Adha tahun ini bagi kami adalah catatan perjuangan yang menggabungkan iman dan akal sehat, spiritualitas dan realitas, ritual dan keberdayaan. Tahun depan, kami akan hadir dengan semangat yang lebih segar, inovasi yang lebih dalam, dan komitmen yang tetap membumi. Sebab kurban bukan sekadar menyembelih hewan, tapi menyembelih ego demi kemaslahatan bersama.
PRAJA FIRDAUS NURYANANDA
Akademisi dan Ketua Pembina Yayasan Abyakta Acitya Bhumi