
JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Kemiskinan struktural dan ketimpangan layanan publik dinilai menjadi pemicu utama tumbuhnya radikalisme di Indonesia. Hal itu diungkapkan Ayik Heriansyah, pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jawa Barat sekaligus pemerhati isu terorisme, dalam keterangannya, Jumat (13/6/2025) pagi.
Ayik yang juga mahasiswa doktoral Sosiologi Pedesaan IPB University menyebutkan bahwa benih radikalisme lahir dari kekecewaan masyarakat terhadap negara yang dianggap menyimpang dari tujuan konstitusional. Ia merujuk pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang memuat empat tujuan nasional, tiga di antaranya dinilai belum terpenuhi: melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Fasilitas keamanan, pendidikan, dan kesejahteraan memang ada, tapi berbayar. Layanan pemerintah bersifat transaksional, mengikuti logika pasar. Ini bertentangan dengan semangat dasar bernegara kita,” kata Ayik.
Ia menilai bahwa pola layanan publik yang bersifat kapitalistik ini telah melahirkan kemiskinan struktural dalam skala luas. Kondisi tersebut menjadi celah yang mudah dimanfaatkan oleh kelompok radikal melalui narasi perlawanan terhadap negara.
Menurut Ayik, terdapat dua pendekatan dalam melihat hubungan antara kemiskinan dan radikalisme. Pendekatan pertama melihat kemiskinan sebagai faktor utama penyebab radikalisme. Contohnya terlihat di negara-negara Asia dan Afrika yang secara ekonomi tertinggal dan menjadi ladang subur bagi gerakan-gerakan ekstrem.
Sementara pendekatan kedua menempatkan ideologi sebagai faktor dominan. Dalam hal ini, keterlibatan warga kelas menengah dan intelektual dalam kelompok radikal menunjukkan bahwa radikalisme tidak selalu berakar pada kemiskinan.
“Kemiskinan dan ideologi memang berbeda, tapi keduanya lahir dari perasaan yang sama: kecewa, marah, dan tidak percaya pada pemerintah,” ujarnya.
Ayik juga menyoroti tata kelola sumber daya alam sebagai salah satu penyebab kekecewaan masyarakat terhadap negara. Ia mengutip konsep resource curse atau “kutukan sumber daya” dari Richard Auty (1993) yang menyebut bahwa negara kaya sumber daya justru kerap gagal mensejahterakan rakyatnya.
“Alih-alih membawa manfaat, pengelolaan tambang justru memicu kemiskinan ekologis. Mining is poverty,” kata Ayik mengutip riset terbaru Kolopaking (2024).
Ia pun mengingatkan bahwa gabungan antara kemiskinan, ideologi, dan rasa frustasi publik merupakan bahan bakar (fuel) yang mudah tersulut oleh propaganda kelompok radikal.
“Propaganda hanya korek api. Yang menentukan apakah ia menyala atau tidak, tergantung pada situasi sosial dan politik bangsa,” pungkasnya.
(Tommy/Rafel)