Di bawah langit biru yang membentang di atas Jawa Timur, atmosfer politik menjelang Pemilihan Gubernur mulai terasa semakin memanas.
Nama-nama besar seperti Khofifah Indar Parawansa, Tri Rismaharini, dan Luluk Nur Hamidah telah menjadi perbincangan di warung-warung kopi, di pesantren-pesantren, dan di pusat-pusat kota.
Tiga perempuan ini, masing-masing dengan kekuatan dan narasinya sendiri, kini berdiri di persimpangan jalan, berusaha merebut hati dan dukungan warga Jawa Timur yang terkenal dengan keragaman identitasnya, terutama di kalangan Nahdliyin.
Bagi Khofifah, yang pernah kalah dua kali sebelum akhirnya meraih kursi gubernur, pertempuran kali ini bukan hanya soal mempertahankan tahta, tetapi juga menghadapi bayang-bayang ketidakpuasan yang mulai terasa di beberapa lapisan masyarakat.
Bukan perkara mudah memang, tapi Khofifah punya modal besar sebagai petahana. Keberadaannya yang kuat di jaringan Muslimat NU dan pondok pesantren, di mana pengaruh para kiai masih sangat signifikan, memberi Khofifah keunggulan di banyak tempat, terutama di kawasan-kawasan seperti Tapal Kuda dan Mataraman.
Namun, ada retakan kecil dalam fondasi kekuatan Khofifah. Fragmentasi suara Nahdliyin masih menjadi tantangan nyata. Meski survei-survei menunjukkan elektabilitas yang cukup tinggi, mayoritas warga NU belum menentukan pilihan.
Itu menunjukkan ada ruang besar untuk “swing voters”. Di situlah Risma dan Luluk bisa masuk dan mencoba merebut pangsa pemilih yang belum berkomitmen. Risma, dengan latar belakang sebagai Wali Kota Surabaya yang banyak diapresiasi atas program-program pro-rakyatnya, dan Luluk, yang membawa semangat baru dari PKB, mencoba meraih ceruk pemilih yang mungkin menginginkan perubahan.
Fragmentasi Kekuatan dan Swing Voters Nahdliyin
Di pesantren-pesantren Jawa Timur, percakapan tentang Pilgub tak pernah lepas dari nama-nama para kiai yang masih dianggap sebagai panutan. Namun, dukungan para kiai ini pun tidak selalu mudah ditebak. Bisa saja seorang kiai mendukung Khofifah hari ini, tapi besok beralih ke Risma atau Luluk. Fenomena ini tidak lepas dari dinamika internal NU yang selalu cair dan dinamis.
Risma mungkin tidak lahir dari latar belakang yang sangat terkait dengan NU seperti Khofifah atau Luluk, tetapi karismanya sebagai pemimpin kota besar yang berhasil memodernisasi Surabaya menjadi modal politik yang berharga.
Seperti yang dikatakan salah satu pendukungnya di Surabaya, Risma selalu hadir dengan solusi konkret untuk rakyat kecil. Narasi kepemimpinan yang tangguh ini menjadi daya tarik Risma, terutama di kawasan-kawasan urban seperti Surabaya dan sekitarnya, serta di kantong-kantong PDIP di Mataraman.
Namun, perjuangan Risma tidak akan mudah. Berhadapan dengan Khofifah di kawasan yang lebih konservatif, atau dengan Luluk yang bisa mengandalkan basis tradisional PKB di kawasan seperti Pantura dan Madura, menjadi tantangan yang harus dihadapi dengan strategi matang. Risma harus bisa menyesuaikan pesan-pesan kampanyenya agar lebih dekat dengan kebutuhan dan harapan pemilih setempat, terutama yang berada di daerah pedesaan dan tradisional.
Luluk: Semangat Baru di Tengah Kekuatan Lama
Di sisi lain, Luluk Nur Hamidah, yang membawa semangat pembaruan dari partainya, juga mencoba memainkan peran penting dalam kontestasi ini. Luluk, dengan pendekatannya yang lebih progresif, mencoba merangkul pemilih muda dan basis tradisional PKB di beberapa daerah. Di Pantura dan Madura, Luluk tidak hanya memanfaatkan jaringan PKB tetapi juga mencoba menggalang kekuatan baru melalui gerakan yang lebih inklusif.
“Ini bukan hanya soal siapa yang punya koneksi paling banyak,” kata Luluk dalam satu wawancara, “tapi siapa yang bisa menghadirkan harapan nyata bagi masyarakat.” Kata-katanya menggambarkan keyakinannya bahwa Jawa Timur membutuhkan energi baru di tengah pertarungan antar kekuatan lama.
Menyusuri Tapal Kuda dan Dinamika Lokal
Jika kita menelusuri Tapal Kuda, dari Probolinggo hingga Banyuwangi, aroma persaingan semakin terasa. Khofifah, dengan jaringannya yang luas di kalangan Muslimat NU, berusaha mengamankan dukungan dari para kiai.
Namun, di daerah yang sama, Risma juga hadir dengan janji-janji program konkret yang bisa meningkatkan layanan publik dan infrastruktur. Bagi masyarakat di sana, pilihan antara Khofifah, Risma, dan Luluk adalah pilihan antara kesinambungan, perubahan dengan pengalaman, atau perubahan dengan semangat baru.
Di Madura, yang dikenal dengan patronase politik yang kuat, pertarungan mungkin akan lebih berfokus pada siapa yang bisa mendapatkan dukungan para tokoh lokal. Khofifah, yang kalah di Sampang pada 2008, tentu telah belajar banyak dan memperkuat posisinya di sana.
Namun, Luluk dengan basis PKB yang kuat di Madura bisa menjadi penantang serius. Risma, meski bukan berasal dari basis tradisional Madura, mencoba memanfaatkan jaringan kader PDIP untuk setidaknya mengganggu dominasi dua kandidat lainnya.
Pertarungan Dinamis dan Tak Terduga
Pada akhirnya, dinamika Pilgub Jatim ini adalah tentang perebutan dukungan di tengah keragaman sosial, budaya, dan politik di Jawa Timur. Setiap calon memiliki potensi dan tantangan yang harus dihadapi dengan strategi dan pendekatan yang berbeda.
Apa yang akan terjadi di setiap titik pertarungan ini, dari Mataraman hingga Madura, dari Pantura hingga Tapal Kuda, masih penuh dengan tanda tanya. Tetapi satu hal yang pasti, Pilgub Jatim kali ini akan menjadi salah satu yang paling menarik dan penuh kejutan.
KHAIRUL FAHMI
Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)