Friday, May 10, 2024
HomeGagasanKapolri Harus Hentikan Kriminalisasi Terhadap Tiktoker Bima Yudho

Kapolri Harus Hentikan Kriminalisasi Terhadap Tiktoker Bima Yudho

Secara hukum memang tak ada alasan seseorang untuk dihalang-halangi melaporkan suatu perbuatan orang lain. Ketentuan hukum tersebut diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata, perbuatan melawan hukum adalah: Setiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.

Pasal 1365 tersebut lazim digunakan oleh siapapun yang merasa kehormatan atau kepentingannya yang bersifat personal diusik oleh perbuatan orang lain. Begitu pun apabila perbuatan seseorang dinilai merugikan banyak pihak, pelakunya bisa dijerat dengan menggunakan pasal 1365 ini.

Namun pertanyaannya kemudian, apakah perbuatan Tiktoker Bima Yudho Saputro dapat dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum? Di sini semua pihak mesti jeli melihatnya. Setidaknya ada 4 unsur perbuatan pidana yang bisa digunakan dalam menentukan apakah perbuatan Bima Yudho dapat dikualifikasi sebagai melawan hukum, yaitu ;
1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
2. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain
3. Bertentangan dengan kesusilaan
4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.

Begitu pun ditinjau dalam aspek hukum pidana, apakah perbuatan Bima Yudho telah memenuhi kualifikasi pidana. Pertama, delik formil, yaitu apabila sesuatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Tentunya maksud pelarangan yang disertai ancaman hukuman adalah konten rekaman berupa hinaan, hoaks dan menyerang martabat orang lain secara terbuka. Sedangkan kritik terhadap penguasa atau pejabat negara yang tak melakukan tupoksinya selaku kepala daerah dinilai bukan hinaan.

Kedua, delik Materiil, yaitu sesuatu perbuatan walaupun tidak dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Melainkan juga asas-asas umum yang terdapat di dalam ranah hukum .

Nah, dari kedua pendekatan syarat formil maupun materiil tersebut dikaitkan dengan perbuatan Bima Yudho maka kita akan mampu menilai apakah perekaman yang dilakukan itu punya unsur penghinaan dan atau upaya sengaja untuk mencemarkan nama baik Kepala Daerah. Dari videonya yang diunggah kepada publik tak ada sedikitpun narasi yang berisi hinaa atau menyerang kehormatan orang lain. Konten video yang dibuat dan diedarkan justru merupakan upaya korektif dari warga negara (civil society) dalam melakukan pengawasan pembangunan di daerahnya.

Perbuatan semacam itu adalah kritik terhadap kinerja pemerintah yang berkinerja buruk sementara instansi pengawasan baik legislator maupun institusi pengawas pembangunan tak bekerja secara optimal. Perbuatan Bima Yudho itu serupa dengan upaya-upaya netizen dalam mengontrol perilaku keseharian para pejabat negara yang ternyata justru membuka kotak pandora korupsi di kalangan pejabat Kementerian Keuangan. Kita semestinya memberikan apresiasi tinggi kepada para nitizen yang sadar warga negara yang aware terhadap lingkungan terutama turut mengawasi penggunaan keuangan negara.

Sedangkan dugaan Bima Yudho sebagaimana dituduhkan Gindha Ansori selaku advokat yang bertindak atas nama pribadi yang menganggap Awbimax telah memenuhi unsur perbuatan sebagaimana di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dengan sendirinya pasal tersebut tak bisa digunakan karena alasan hukum sebagaimana telah saya jelaskan sebelumnya di atas.

Oleh sebab itu, penyidik patut mempertanyakan keabsahan legal standing Gindha Ansori sebagai pihak yang sah secara hukum melakukan gugatan lantaran dia tak dirugikan atas ungguhan tiktok yang memuat konten rusaknya jalan sebagaimana dibuat dan diedarkan oleh Bima Yudho.

Justru beredarnya unggahan konten tersebut malah membantu warga untuk menuntut agar Pemda memperbaiki jalan yang rusak. Publik patut curiga jangan-jangan Gindha Ansori adalah orang suruhan dari Gubernur atau Kapolda guna memuluskan niat jahat untuk memidanakan Bima Yudho. Belajar dari kasus-kasus serupa sebelumnya Polri mesti rigid dalam menafsirkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dengan lebih mengaitkan pada dasar unsur-unsur hukum pidana sehingga penegakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mesti selaras dan sebangun dengan prosedural hukum pidana terutama jangan sampai terulang kembali Polri menggunakan UU ITE untuk menjerat warga negara yang kritis terhadap masa depan bangsa dan negara. Allahu’alam bisshowab.

 

ANDI W. SYAHPUTRA
Praktisi Hukum dan Ketua Umum
Bara Nasionalis Indonesia

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular