Saturday, April 27, 2024
HomeGagasanKadaluwarsa Dokumen Koalisi Pilpres

Kadaluwarsa Dokumen Koalisi Pilpres

Polemik baru muncul manakala sejumlah partai politik disambangi oleh Prabowo Subianto, Presiden Terpilih dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024. Saling sindir terjadi di antara partai-partai politik yang mengusung Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka, yakni Koalisi Indonesia Maju (KIM), dengan partai politik yang semula mendukung Ganjar Pranowo-Mohammad Mahfud Mahmodin dan Anies Rasyid Baswedan-Abdul Muhaimin Iskandar. Suatu pemandangan yang tak elok, tak etis, juga kurang menunjukkan etos yang paripurna dalam tubuh partai politik.

KIM terdiri dari Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat. Partai Nasdem, pengusung Anies – Muhaimin, paling kontroversial. Hubungan perkawanan antara Prabowo dengan Ketua Umum DPP Partai Nasdem Surya Paloh sejak masih berada dalam tubuh Partai Golkar, seakan menjadi belenggu pengikat kerjasama politik yang hendak ditempuh.

Salah satunya, Partai Nasdem menjadi bagian dari pemerintahan yang dibentuk oleh Prabowo. Lebih jelas lagi, kader-kader Partai Nasdem bakal menjadi menteri dalam Kabinet Indonesia Maju 2024-2029.

Masalahnya, tim hukum Anies-Muhaimin sudah mendaftarkan gugatan di Mahkamah Konstitusi. Dalam 14 hari ke depan, Mahkamah Konstitusi akan mengeluarkan putusan. Ketika Partai Nasdem menggelar ‘karpet merah’ dalam menyambut Prabowo dan rombongan di Nasdem Tower, terasa sekali Tim Hukum Anies – Sandi tak mendapatkan supervisi dari Partai Nasdem. Berbeda sekali dengan inisiatif-inisiatif awal pembentukan koalisi partai politik yang akan mengusung Anies. Sebagai partai politik yang paling awal deklarasi pencalonan Anies, politikus Partai Nasdem hampir tak terlihat lagi di barisan Anies – Muhaimin yang berjibaku di Mahkamah Konstitusi.

***

Muncul pertanyaan, kapankah masa yang paling pas menentukan kadaluwarsa bagi koalisi partai-partai politik yang mengusung pasangan Capres-Cawapres?

Setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengesahkan hasil rekapitulasi Pilpres?

Ketika putusan Mahkamah Konstitusi diketok?

Pada saat anggota-anggota legislatif terpilih dilantik?

Atau manakala Presiden dan Wapres Terpilih diambil sumpah jabatan dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)?

Indonesia sama sekali tak mengenal masa transisi atau demisioner dalam pemerintahan. Tenggang waktu periode pemerintahan sudah termaktub dalam konstitusi, yakni lima tahun. Siklus pemerintahan lima tahun inilah yang menjadi pegangan seluruh pihak. Mau tidak mau, suka tidak suka, masa bakti lima tahun ini terikat dalam kontitusi dan mengikat seluruh pihak. Masa lima tahun ini dikenal sebagai fixed term.

Tentu saja fixed term ini berbeda dengan sebagian besar negara yang menjalankan sistem pemerintahan parlementer, sekalipun tetap menempatkan Presiden atau Raja sebagai Kepala Negara. Monarki kontitusional, sekalipun. Tanggal pemilihan umum sangat tergantung kepada Perdana Menteri dan Parlemen dari Partai Politik Mayoritas yang sedang berkuasa, baik sendirian ataupun bersama partai politik lain yang membentuk pemerintahan.

Sistem Presidensial yang dianut Indonesia sama sekali tak bersandar kepada parlemen mayoritas atau minoritas. Pilpres 2004, Susilo Bambang Yudhoyono-Muhammad Jusuf Kalla, hanya diusung partai politik yang minoritas dalam pemilu legislatif. Begitu juga 2014, Joko Widodo-Muhammad Jusuf Kalla malah terkapar dalam perebutan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Konstitusi sudah mengatur sedemikian rupa hak dan kewajiban lembaga kepresidenan dan parlemen. Begitu juga apabila Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara(APBN), misalnya, ditolak dan tak disahkan oleh legislatif – dalam hal ini DPR –, konstitusi sudah menyediakan jalan keluar.

Aspek ‘traumatis’ perebutan pimpinan partai politik setelah Pilpres dihelat, tentu bukan bagian dari hukum positif yang diatur dalam konstitusi. Yang paling mendapat sorotan, sekaligus terdampak, adalah Partai Golkar. Akbar Tanjung yang mengantarkan Partai Golkar menjadi kampiun dalam Pemilu Legislatif 2004, dikalahkan Jusuf Kalla dalam perebutan Ketua Umum DPP Partai Golkar akhir tahun itu. Partai Golkar terbelah dalam kubu Bali dan Ancol, setelah Pilpres 2014. Tetapi, tunggu dulu, Partai Golkar justru muncul sebagai partai politik paling moderen di Indonesia, sekaligus tangguh dan terbiasa dalam menghadapi konflik internal, tanpa perlu membuat undang-undang baru yang berkhidmat pada konstitusi.

Sehingga, manakala pertanyaan kadaluwarsa diajukan, tentu saja jawaban paling tepat adalah ketika Presiden dan Wakil Presiden Terpilih dilantik dalam Sidang Umum MPR. Penetapan rekapitulasi nasional hasil Pilpres oleh KPU sama sekali bukan acuan kadaluwarsa. Rezim pemilihan umum pada prinsipnya hanya bertugas dalam bagian kecil dari perjalanan kenegaraan. Begitu juga pelantikan anggota legislatif terpilih yang lebih dahulu ketimbang pelantikan Presiden dan Wapres Terpilih. Hanya saja, kadaluwarsa ‘biduk lewat, kiambang bertaut’ itupun masih kurang tepat.

***

Jika demikian, apa makna dari risalah perjanjian kerjasama antara sejumlah partai politik yang mengusung pasangan Capres dan Cawapres ketika tahapan Pilpres dimulai?

Dokumen politik biasa atau bisa masuk dalam wilayah hukum perdata?

Kalau begitu luasnya dimensi kenegaraan yang dipengaruhi dokumen itu, minimal risalah itu menjadi bagian dari subjek hukum, bukan lagi politik ala ‘lidah ular’ yang bisa berubah ketika mendesis. Ular mendesis tentu bukan tanpa sebab, tak juga setiap waktu, sebagaimana ludah politisi menyembur. Seyogianya, dokumen kerjasama antar partai politik menjadi sumber dari ‘semburan’ ludah politisi. Dokumen itu bukan saja bisa dijadikan subjek hukum perdata, bahkan sekaligus pidana. Artinya, kalau ada pihak yang melanggar begitu saja dari isi dari dokumen kerjasama (baca: perjanjian) itu, misalnya secara sepihak menyatakan tak terikat lagi, tentu bisa dijatuhkan sanksi. Pihak yang menentukan sanksi tentu saja bukan mereka yang menjalin kerjasama dalam dokumen itu, tetapi lembaga di luar para pihak. Sebut saja lembaga arbitrase yang bersifat ad hoc. Tentu bukan Mahkamah Konstitusi yang berada dalam ranah yudikatif.

Sungguh sangat janggal, ketika tim pemenangan masing-masing Capres-Cawapres seolah sudah dibubarkan dalam acara berbuka bersama. Bagaimana mungkin tim kampanye resmi bubar, sementara tim hukum yang menjadi bagian dari organisasi pemenangan, masih ‘bertarung’ di dalam persidangan Mahkamah Konstitusi. Surat kuasa sebagai tim hukum tentu tidak bisa diberikan oleh Capres – Cawapres yang menjadi peserta Pilpres. Surat kuasa baru dinyatakan sah, ketika ditanda-tangani oleh tim kampanye resmi yang diserahkan kepada KPU. Begitu juga tim pembela (pengacara), saksi dan saksi ahli yang dihadirkan ke dalam arena persidangan Mahkamah Konstitusi, tentu berasal dari surat kuasa yang dikeluarkan Tim Hukum dari Tim Kampanye resmi.

Tindak-tanduk yang dilakukan baik oleh partai politik yang hendak bergabung dengan pemerintahan, ataupun ‘tawaran’ dari pihak pemenang, sungguh membuat narasi pendidikan politik bangsa Indonesia bergelemak-peak.

Bagaimana bisa warga negara memiliki wawasan kenegaraan yang cukup, apalagi bertambah, dalam dimensi politik, ketika tak ada acuan yang bisa dijadikan pegangan?

Para ahli yang mendapatkan ilmu pengetahuan di bangku akademik saja kebingungan, apalagi warga negara biasa yang berjibaku dengan kehidupan yang semakin sulit dan bikin sembelit.

Padahal, dalam perspektif yang lebih luas, kadaluwarsa kerjasama partai politik sesungguhnya berlaku selama lima tahun. Bukan saat pemilu saja, atau setelah anggota legislatif atau Presiden dan Wapres Terpilih dilantik. Sebab dalam dokumen resmi tim kampanye yang diserahkan kepada KPU, tertulis angka 2024-2029. Mau tidak mau, partai politik yang berada dalam dokumen pengusungan Capres-Cawapres, tak bisa seenak perut berpindah wadah, sebelum lima tahun. Kalaupun itu dilakukan, adendum atas dokumen kerjasama yang sudah diserahkan kepada KPU wajib dilakukan. Koperasi Ternak Jangkrik saja perlu memperbarui dokumen yang mengikat mereka, apalah lagi setingkat partai politik.

Jakarta, 27 Maret 2024

INDRA J PILIANG

Analis Utama Nalar Konstitusi Circle

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular