Saturday, June 14, 2025
spot_img
HomeGagasanJenderal Macbeth

Jenderal Macbeth

“Life’s but a walking shadow, a poor player that struts and frets his hour upon the stage, and then is heard no more…”
—William Shakespeare, Macbeth

Di atas panggung teater klasik, hadir sosok Macbeth, seorang jenderal tangguh yang takut kehilangan kuasa. Dalam tragedi karya Shakespeare itu, ambisi yang membara membuatnya menikam dari belakang, mencurigai setiap sekutu, dan perlahan memutus rantai regenerasi. Dalam ketakutan dan kegilaannya, Macbeth—didorong oleh Lady Macbeth, istrinya yang haus kekuasaan—terus menyingkirkan siapa pun yang berpotensi menjadi bayangan di balik tahtanya. Semua menjadi kabur. Kekuasaan bukan lagi amanah, melainkan bayang-bayang paranoia.

Saya teringat Macbeth saat membaca pesan pendek ini: “Konon, di sebuah negeri ada seorang panglima angkatan bersenjata yang keranjingan mutasi.” Ia gemar menggeser para jenderal dari satu “benteng” ke benteng lain, berulang-ulang, dengan nama-nama yang nyaris sama. Proses itu seringkali melompati generasi, seolah ingin menjaga lingkar kekuasaan tetap akrab, aman, dan terkendali. Sementara ia sendiri, tampak enggan meletakkan tongkat komando—seperti raja yang tak ingin turun tahta.

Padahal dalam tradisi militer, mutasi sejatinya adalah denyut kehidupan. Ia menjamin proses kaderisasi, membuka jalan regenerasi, dan menyuburkan meritokrasi. Namun, bila mutasi disalahgunakan untuk melanggengkan kekuasaan, maka ia berubah menjadi sebaliknya: alat untuk mengunci potensi, menyempitkan ruang tumbuh, dan menciptakan lingkaran steril dari kritik dan inovasi.

Niccolò Machiavelli dalam The Prince menasihati para penguasa untuk berhati-hati dalam memilih orang-orang di sekelilingnya. Seorang pangeran, katanya, harus cukup bijak untuk membedakan antara kesetiaan yang membangun dan loyalitas yang justru mematikan akal sehat. Tapi apa jadinya bila sang pemimpin justru takut pada kecakapan? Bila ia merasa terancam oleh mereka yang lebih muda, lebih segar, dan lebih cemerlang?

Dalam sejarah monarki Eropa, banyak raja memilih dikelilingi bangsawan tua yang setia namun kelelahan. Mereka takut pada pemuda dan perwira progresif yang membawa semangat baru. Mereka hanya percaya pada yang akrab—yang dikenal secara emosional. Dan tampaknya, fenomena serupa sedang kita saksikan: seolah-olah tak ada lagi nama baru yang pantas tampil, tak ada ruang bagi yang unggul kecuali yang akrab.

Padahal sejarah besar tak pernah lahir dari ketakutan. Ia selalu tumbuh dari keberanian memberi ruang bagi yang baru. Dari tangan-tangan yang rela melepas, bukan menggenggam terus-menerus.

Lihatlah kisah Raja Midas. Dalam mitos Yunani, ia mengubah segalanya menjadi emas, bahkan putrinya sendiri. Tapi di balik kilau kekuasaan itu, ada ironi: tak ada yang bisa disentuh tanpa musnah. Dalam kerakusannya, ia kehilangan kehangatan. Ia tetap berkuasa—tapi sunyi, sendirian.

Begitu pula pemimpin yang menahan arus regenerasi. Ia mungkin bisa memperpanjang masa jabatannya, memutar-mutarkan orang yang sama di berbagai jabatan. Tapi lambat laun, ia kehilangan sesuatu yang jauh lebih berharga: kepercayaan. Setiap yang tersingkir menyimpan luka, dan setiap luka yang dibiarkan menganga adalah retakan pada bangunan kepercayaan institusi.

Apa artinya menjadi pemimpin bila tak siap digantikan? Tak rela ditinggalkan? Dalam dunia para ksatria, pemimpin adalah yang pertama maju ke medan tempur dan terakhir kembali. Tapi ia juga yang pertama menyadari kapan waktunya turun panggung. Memberi tempat bagi yang lebih muda, dan bangga menyaksikan para penerus melampaui dirinya.

Kita bisa berkata: “Panglima sejati tak mewariskan kursi. Ia mewariskan keberanian.”

Sayangnya, hari-hari ini keberanian itu terasa langka. Kita menyaksikan terlalu banyak manuver, terlalu banyak kalkulasi. Terlalu banyak elit yang hanya berputar-putar di antara kursi kekuasaan, sementara ratusan ksatria muda menunggu giliran. Mereka bukan sekadar menunggu jabatan, tapi kesempatan. Kesempatan untuk membuktikan kualitas, membangun pengabdian.

Tapi bagaimana mungkin kesempatan itu datang, bila yang lama enggan mengakhiri lakonnya?

Maka kita kembali pada panggung kosong, tempat Macbeth menyendiri dan bergumam:

“Life’s but a walking shadow, a poor player
That struts and frets his hour upon the stage
And then is heard no more…”

Betapa tragisnya menjadi pemimpin yang hanya memainkan peran kecil dalam sejarah besar bangsanya—bukan karena waktu yang singkat, melainkan karena tak pernah memberi ruang bagi yang cakap dan muda untuk melanjutkan cerita.

Sebab regenerasi bukan semata soal mengganti, melainkan memastikan kisah terus berlanjut. Dan setiap pemimpin, cepat atau lambat, harus tahu kapan waktunya berhenti jadi aktor utama, dan bersiap menjadi pandita—orang bijak yang dimintai nasihat, bukan yang memaksakan peran.***

 

JAFAR G BUA

Jurnalis

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular