Saturday, June 14, 2025
spot_img
HomeHiburan“Ipar Adalah Maut” dan Obsesi Sinema Indonesia pada Kisah Viral: Industri yang...

“Ipar Adalah Maut” dan Obsesi Sinema Indonesia pada Kisah Viral: Industri yang Malas atau Pasar yang Haus Validasi?

Ilustrasi ini diadaptasi dari teaser foto resmi film terkait dan dibuat untuk kepentingan pendukung pemberitaan semata. (Gambar: Tim Cakrawarta)

SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Ketika Ipar adalah Maut memecah rekor penonton bioskop, satu pertanyaan mencuat: apakah industri film Indonesia benar-benar kekurangan imajinasi, atau justru publik kita yang begitu candu dengan tragedi orang lain?

Film yang diangkat dari kisah viral media sosial ini bukan yang pertama -dan jelas bukan yang terakhir. Fenomena ini menjadi bukti nyata bahwa algoritma media sosial kini lebih berkuasa daripada kurasi estetika atau orisinalitas. Menurut Angga Prawadika Aji, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga (Unair), industri film saat ini lebih memilih jalan pintas: memfilmkan apa yang sudah viral, ketimbang berjudi dengan cerita orisinal.

“Para pembuat film mencari jalan yang paling aman. Mereka memilih cerita yang sudah viral karena sudah ada jaminan pasar. Ketimbang bikin film yang berisiko dari sisi materi, mending bikin yang udah pasti dilirik,” ujar Angga blak-blakan.

Kisah Nyata + Tragedi = Cuan?

Kebiasaan ini sebetulnya bukan barang baru. Film horor Indonesia sejak dulu gemar mengangkat kisah-kisah “katanya nyata” dari jagat urban legend. Tapi belakangan, intensitasnya naik level: dari cerita hantu lokal jadi kisah nyata berdarah dan menyayat hati -kisah Vina, misalnya.

Menurut Angga, masyarakat kita punya kebiasaan khas: menikmati tragedi sebagai konsumsi publik. “Kita ini punya budaya membicarakan penderitaan orang lain, dan menjadikannya semacam tontonan kolektif. Ketika tragedi itu naik ke layar lebar, ada semacam kenikmatan tersendiri: seolah-olah kita ‘sudah tahu duluan’,” jelasnya.

Inilah mengapa film-film seperti Ipar adalah Maut terasa begitu laku: bukan karena mutunya, tapi karena publik butuh validasi. Mereka ingin melihat pengalaman digital mereka -scrolling dan membicarakan tragedi di TikTok atau X (dulu Twitter) -menjelma jadi tontonan bioskop. Semacam pengesahan emosional.

Sampai Kapan Kita Nonton Derita Orang Lain?

Angga memperingatkan, tren ini bisa jadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memberi keuntungan instan bagi produser. Di sisi lain, ia mengancam keberagaman cerita dan keberanian sineas muda untuk keluar dari pola aman.

“Kalau penonton terus dicekoki cerita yang itu-itu saja, bagaimana film Indonesia bisa berkembang? Literasi sinema kita harus naik. Nonton horor itu nggak cuma yang ini-ini doang. Nonton drama juga harusnya bisa lebih dari sekadar kisah pelakor atau istri yang diselingkuhi iparnya,” tegas Angga.

Harapan Angga sederhana namun mendesak: agar publik film Indonesia mulai membuka diri pada film-film yang tidak viral duluan, tapi punya nilai artistik, empati, dan keberanian naratif.

Karena kalau tidak, bisa jadi bioskop kita akan terus dihantui oleh satu pertanyaan muram: apakah kita benar-benar suka film, atau hanya suka melihat luka orang lain ditampilkan dengan sinematografi apik?

(*)

Editor: Abdel Rafi

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular