
JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Kerja sama antara Kejaksaan Agung dan TNI yang baru saja ditandatangani memicu reaksi keras di berbagai kalangan. Pada 5 Mei 2025, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mengeluarkan Surat Telegram No. TR/422/2025 yang menginstruksikan penugasan personel TNI untuk mengamankan Kejaksaan di seluruh Indonesia. Keputusan ini diperkuat dengan Surat Telegram No. ST/1192/2025 dari Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) yang menetapkan setiap Kejaksaan Tinggi akan diperkuat 30 personel TNI, sementara Kejaksaan Negeri dengan 10 personel.
Keputusan ini seolah menjadi respons langsung terhadap tantangan besar yang dihadapi oleh Kejaksaan Agung, terutama dalam menangani kasus-kasus besar seperti korupsi yang melibatkan aktor-aktor dengan pengaruh politik dan finansial besar. Namun, muncul pertanyaan besar: Apakah langkah ini benar-benar melindungi institusi negara atau justru membuka jalan bagi kembalinya dwifungsi militer, seperti yang pernah terjadi pada masa Orde Baru?
Omar Thalib, peneliti politik dari GREAT Institute, menanggapi langkah ini dengan kekhawatiran yang mendalam. “Keterlibatan TNI dalam pengamanan Kejaksaan memang dapat dimaklumi dalam situasi yang mendesak. Tetapi kita harus berhati-hati, karena tanpa batasan waktu yang jelas, ini bisa membuka celah bagi militerisasi dalam penegakan hukum,” ujar Omar dengan tegas dalam keterangannya, Selasa (13/5/2025).
Menurutnya, keraguan masyarakat muncul dari sejarah kelam masa Orde Baru, di mana militer tidak hanya terlibat dalam pertahanan, tetapi juga dalam ranah politik dan sipil. Banyak yang khawatir jika kerja sama ini berlangsung tanpa batasan waktu yang jelas, TNI bisa masuk lebih jauh ke dalam sistem hukum, dan ini berpotensi menggerus independensi Kejaksaan Agung.
“Jika kerja sama ini dibiarkan tanpa batasan, maka yang terjadi bukan hanya pengamanan, tapi bisa jadi intervensi militer terhadap proses hukum. Ini berisiko merusak kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum yang seharusnya mandiri,” tambah Omar dengan nada serius.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, dengan tegas menyatakan bahwa keterlibatan TNI dalam pengamanan Kejaksaan dilakukan secara profesional dan terukur, serta tidak mengganggu fungsi utama lembaga tersebut. Namun, meskipun pernyataan ini menunjukkan itikad baik, banyak yang mempertanyakan apakah ini akan bertahan lama atau justru berpotensi menimbulkan masalah yang lebih besar di masa depan.
Bagi sebagian kalangan, keputusan ini adalah langkah yang diperlukan untuk memastikan keselamatan lembaga yang tengah menghadapi tekanan besar. Tetapi bagi yang lain, ini adalah langkah mundur yang bisa membuka pintu bagi dwifungsi militer, yang telah lama dikhawatirkan dapat merusak keseimbangan kekuasaan di Indonesia.
Omar Thalib pun menegaskan bahwa keterlibatan TNI harus memiliki batasan waktu yang jelas. “TNI datang untuk melindungi, bukan untuk menguasai. Jika tanpa batas waktu, bisa-bisa kita kembali ke masa di mana militer mengendalikan banyak aspek kehidupan negara ini,” ujarnya dengan nada peringatan.
Kritikan keras ini muncul bukan hanya karena keterlibatan TNI, tetapi karena ketidakjelasan jangka waktu dan batasan peran mereka. Apakah ini sekadar langkah perlindungan, atau justru kita tengah melihat sebuah perubahan fundamental dalam cara negara mengelola penegakan hukum? GREAT Institute memperingatkan, jika tidak ada kejelasan, kita mungkin sedang melangkah mundur ke masa ketika militer berperan lebih jauh dalam urusan sipil. (*)
Kontributor: Ahmad Toha
Editor: Abdel Rafi
Foto: Ahmad Toha



