
JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) mendesak Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memberikan klarifikasi terbuka terkait penelitian rokok elektrik atau vape yang menyimpulkan bahwa kandungan zat berbahaya pada vape jauh lebih rendah dibanding rokok konvensional. FKBI menilai riset tersebut sarat konflik kepentingan, cacat metodologis, dan berpotensi menyesatkan publik, terutama generasi muda.
Tulus Abadi, Ketua FKBI, menyebut penelitian yang dipromosikan sebagai kajian toksisitas vape pertama di Indonesia itu memiliki banyak masalah mendasar. “Penelitian ini tidak etis dan sangat bias kepentingan. BRIN harus menjelaskan kepada publik mengapa riset negara bisa melibatkan kelompok yang jelas-jelas memiliki kepentingan terhadap produk yang diuji,” ujar Tulus dalam keterangannya pada media ini, Kamis (4/12/2025) malam.
FKBI menyoroti fakta bahwa riset BRIN melibatkan Aliansi Vaper Indonesia sebagai pihak pendukung. Menurut Tulus, keberadaan pihak berkepentingan dalam penelitian kesehatan merupakan pelanggaran serius terhadap standar etik riset. “Keterlibatan industri atau kelompok yang diuntungkan oleh hasil penelitian membuat objektivitas BRIN diragukan. Riset seperti ini rentan menjadi ‘penelitian pesanan’,” katanya.
FKBI juga mengutip temuan Departemen Pulmonologi FKUI/RS Persahabatan yang menunjukkan kadar kotinin urin pengguna vape harian mencapai 276,1 ng/mL, lebih tinggi daripada perokok konvensional lima batang per hari (223,5 ng/mL). “Paparan nikotin pengguna vape justru lebih besar. Risiko adiksi dan penyakit kardiovaskular meningkat,” kata Tulus.
Bahkan, lanjutnya, survei RSUP Persahabatan tahun 2018 mencatat 76,5% pengguna vape laki-laki mengalami ketergantungan nikotin. Prof. Dr. dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K), Penasihat PP Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, kutipnya, menilai kajian BRIN tidak dapat dijadikan dasar kesimpulan keamanan vape. “Nikotin tidak dimasukkan dalam analisis BRIN, padahal itu komponen utama penyebab adiksi dan pemicu penyakit jantung dan stroke,” ujarnya.

Ruang Untuk Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI) menemukan setidaknya tiga kelemahan utama dalam riset BRIN. Pertama, jumlah sampel hanya 60, tidak mencerminkan ribuan produk vape di pasaran. Kedua, pengujian toksikan hanya mencakup sembilan zat berbahaya, padahal penelitian global menunjukkan vape dapat mengandung ratusan bahan kimia, termasuk logam berat dari coil pemanas. Ketiga, penelitian tidak menggambarkan kondisi penggunaan nyata seperti durasi hisapan dan pengaturan watt yang memengaruhi jumlah zat berbahaya yang dihasilkan.
“Peneliti sekelas BRIN mestinya memahami bahwa variabel penggunaan sangat menentukan hasil toksisitas. Namun riset ini tampak mengabaikan itu,” ujar Tulus.
FKBI menilai kesimpulan BRIN dapat memperparah misinformasi mengenai keamanan vape. Jumlah pengguna rokok elektrik meningkat signifikan dari 480 ribu orang pada 2011 menjadi 6,6 juta orang pada 2021, didominasi usia muda.
“Ketika BRIN menyatakan vape lebih aman, itu memberi ilusi yang berbahaya. Anak muda bisa makin terjebak, bahkan menjadi double smoker yaitu memakai vape dan rokok konvensional sekaligus,” kata Tulus. Ia menambahkan, promosi agresif melalui influencer, varian rasa, iklan terselubung, dan penjualan bebas di e-commerce semakin mendorong penggunaan vape pada remaja.
FKBI menegaskan BRIN memiliki mandat konstitusional untuk melindungi publik melalui riset yang independen, transparan, dan bebas dari intervensi industri. “BRIN harus kembali pada khittahnya sebagai lembaga ilmu pengetahuan. Jangan menjadi corong industri yang produknya bersifat adiktif,” kata Tulus.
Karena itu, FKBI meminta BRIN membuka konflik kepentingan dalam penelitian, memperbaiki metodologi, serta memberikan klarifikasi resmi kepada publik. “Kesehatan masyarakat tidak boleh dikorbankan oleh riset yang cacat. BRIN harus menjelaskan ini secara terang benderang,” tegasnya mengakhiri keterangannya.(*)
Editor: Tommy dan Abdel Rafi



