Ingin tahu amburadulnya pengelolaan negara? Tengok saja penyelenggaraan PON XXI 2024 yang berlangsung di Aceh dan Sumatera Utara. Hampir tak ada yang layak dianggap berhasil, mulai dari pembangunan venue yang tak kunjung rampung hingga menu makanan ala katering hemat yang bikin atlet jadi lebih fokus bertahan hidup ketimbang bertanding.
Tapi jika pun maksa, bolehlah penyelenggara PON kali ini diberi penghargaan. Bukan karena prestasi atlet-atlet kita, tetapi karena berhasil menampilkan sebuah drama kolosal olahraga berbalut kekacauan penyelenggaraan, yang kalau dijadikan sinetron, mungkin bisa bertahan hingga 100 episode.
Sejak awal, PON XXI seolah dirancang untuk menguji kesabaran. Belum sempat kita bangga dengan persiapan matang seperti yang dijanjikan, atlet voli yang seharusnya fokus menjaga stamina malah harus meniti balok ala “Benteng Takeshi” menuju venue yang penuh lumpur.
Coba bayangkan: kamu adalah atlet yang sudah menyiapkan mental dan fisik selama bertahun-tahun, tapi justru terjebak dalam medan berlumpur. Mungkin ini mau dicoba jadi cara baru untuk meningkatkan ketahanan fisik?
Lalu ada drama di meja makan. Pemerintah pusat menetapkan anggaran sebesar Rp 51 ribu per porsi untuk konsumsi atlet. Angka yang masuk akal, bukan? Ketika makanan itu sampai di piring atlet, tiba-tiba nilainya berubah jadi Rp 9.500 per porsi. Kok bisa? Misteri ini mungkin lebih rumit daripada teori konspirasi global.
Saking minimalisnya makanan para petarung yang datang dari seantero negeri, kita bisa bayangkan atlet angkat besi yang seharusnya mengonsumsi ribuan kalori per hari hanya dapat sepiring nasi yang lebih cocok buat sarapan anak kos. Mungkin pemerintah sedang menguji konsep baru: “Atlet tangguh lahir dari makanan seadanya.”
PON kali ini juga berhasil memecahkan rekor —rekor buruk, tepatnya. Ada atap venue cabang menembak yang roboh terkena hujan deras. Untungnya, tak ada korban, kecuali martabat penyelenggara. Kata siapa olahraga di Indonesia minim drama?
Tidak cukup di situ, mari kita lihat pertandingan sepak bola antara Sulawesi Tengah dan Aceh, yang lebih mirip pertandingan tarkam (antar kampung) daripada ajang prestisius nasional. Wasit yang seharusnya menjadi penegak keadilan, malah lebih mirip pelayan khusus tuan rumah.
Tiga kartu merah dalam satu pertandingan diberikan hanya untuk satu tim sepakbola utusan Sulawesi Tengah, tentu menjadi catatan “prestasi” tersendiri. Bahkan, ketika wasit akhirnya “tersungkur” dihajar pemain yang frustrasi, penonton mungkin berpikir mereka sedang menonton episode final dari sinetron laga.
Anggaran PON XXI kali ini sebesar Rp 3,94 triliun, yang seharusnya bisa membuat event ini megah dan berkesan. Provinsi Sumatera Utara saja mendapat alokasi Rp 2,09 triliun, sementara Aceh kebagian Rp 1,8 triliun.
Tapi, apa yang para atlet dapatkan? Akses jalan yang lebih cocok untuk off-road ketimbang event olahraga nasional, atap venue yang roboh seperti tadi disebutkan, dan transportasi atlet yang tak lebih dari angkot dengan rute berliku.
Sebagai perbandingan, anggaran triliunan ini sebenarnya cukup untuk memperbaiki puluhan fasilitas olahraga di seluruh Indonesia, atau malah membangun dua stadion sekelas Gelora Bung Karno. Tapi, tampaknya dana itu lebih senang bermalam di kantong-kantong tertentu ketimbang membuat para atlet nyaman dan siap bertanding.
Perhelatan pekan olahraga kali ini disebut media sebagai cermin buruk dari perhatian pemerintah terhadap olahraga nasional. Alih-alih menjadi ajang pencarian bakat atlet muda berbakat yang bisa bersaing di ajang internasional, PON sekarang lebih mirip _reality show_ yang penuh drama dan kejutan tak terduga.
Kegagalan seperti ini sebetulnya sudah seringkali berulang. Berdasarkan survei dari Lembaga Penelitian Olahraga Nasional, 65% dari penyelenggaraan event olahraga di Indonesia selama 10 tahun terakhir, di era Pemerintahan Jokowi, selalu diselimuti kekurangan yang serupa: infrastruktur tak memadai, koordinasi amburadul, dan dana yang tak sampai ke sasaran. Statistik ini seharusnya cukup untuk membunyikan alarm.
Sudah saatnya evaluasi menyeluruh dilakukan terhadap penyelenggaraan PON dan pembinaan olahraga secara keseluruhan di Indonesia. Sayangnya, kata “evaluasi” ini sudah terlalu sering dilontarkan, hingga kita lebih familiar dengannya daripada dengan kemenangan atlet Indonesia di ajang internasional.
Menteri Pemuda dan Olahraga, Dito Ariotedjo, tidak bisa sekadar lepas tangan atas buruknya penyelenggaraan PON XXI. Jika dibiarkan, kita tidak akan pernah melihat prestasi di ajang internasional, karena bahkan di tingkat nasional, kita masih berjuang melawan kekacauan logistik, penyalahgunaan anggaran, dan kurangnya sportivitas.
Amma bakdu, PON XXI ini mengajarkan kita satu hal penting: kalau mau tahu bagaimana pemerintah mengelola negara, lihat saja bagaimana mereka mengelola PON. Dan seperti yang kita saksikan kali ini, jawabannya adalah: buruk, korup, dan tidak becus.
Sebagai penutup, kita mungkin tidak akan mendapatkan banyak medali emas dari PON kali ini. Tapi setidaknya, kita bisa bangga bahwa kita masih menjadi juara —dalam hal kekacauan organisasi. Sungguh buruk nasib kita sebagai bangsa.
20 September 2024
AHMADIE THAHA (CAK AT)
Bekas wartawan Tempo, Pendiri Republika Online