Buku bertema demokrasi sangat sedikit saat mahasiswa 1998 bergerak. Kamuflase zaman membelenggu. Falsafah negara Pancasila ikut disepuh kata demokrasi. Pendidikan Moral Pancasila, Kewiraan, hingga Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila berisi monolog kepatuhan warga negara dan pengagungan penguasa. Mikul duwur mendem jero.
Gerakan mahasiswa 1998 berjibaku tanpa ideologi gerakan. Mahasiswa 1990an yang bergejolak pada 1998 ini menuai pelajaran penting dan mahal. Visi perjuangan mahasiswa dibajak dengan satu mantra: reformasi. Tanpa uraian yang terang dan jernih, reformasi bergeser menjadi reposisi dari (dan atas nama) elit-elit lama. Reformasi hanya penyusunan kembali (re) kedudukan dan barisan (formasi) elit-elit itu.
Nafas dan semangat gerakan mahasiswa berumur singkat. Mahasiswa tak sempat berucap devide et impera dalam zaman baru. Kekuatan-kekuatan pro perubahan gagal menyatukan diri. Sebagian tokoh gerakan hanyut, lengket dan lebur ke dalam barisan-barisan lama itu. Tak heran, cengkeraman Angkatan 1966 masih kokoh sebagai pemegang otoritas di dalam tubuh partai-partai politik dan kelembagaan negara. Justru para penggerak awal demokrasi (baca: oposisi) yang malahan tercoreng kasus-kasus hukum dan akademik. Korupsi dan plagiat karya ilmiah menjadi dua modus untuk “mencokok” mereka.
Seiring perjalanan waktu, tentu sulit membalikkan keadaan. Elit lama itu adalah buah dari demokrasi, terutama lewat pemilihan langsung. Masalahnya, mereka berasal dari pohon demokrasi yang mana? Apakah pohon demokrasi itu sudah sehat, subur dan rindang? Apakah pohon demokrasi itu sudah memiliki akar, batang, dahan, ranting, bunga, pucuk hingga daun yang rindang? Tersediakah bibit-bibit dan tunas-tunas demokrasi yang baru, guna menggantikan elit lama itu?
Ataukah cadangan pohon demokrasi itu tumbuh dalam wajan-wajan kecil dengan nama bonsai? Pohon kerdil yang tergantung tanpa akar atau teronggok tanpa cahaya. Jangan-jangan pohon demokrasi itupun sudah diserang hama, dihinggapi ulat dan ditumpangi benalu? Lebih celaka lagi kalau pohon demokrasi itu hanya imitasi tanpa jiwa. Pohon-pohonan. Demokrasi-demokrasian.
***
Indeks Kebebasan keluaran Freedom House tahun 2016 menyingkap jawaban yang belum final. Dari sepuluh negara ASEAN, terdapat nilai untuk Laos (12), Vietnam (20), Myanmar (28), Brunei Darussalam (29), Thailand (32), Kamboja (32), Malaysia (45), Singapura (51), Indonesia (65), dan Philipina (65). Hanya empat negara berada dalam kategori setengah bebas (partly free), yakni Malaysia, Singapura, Indonesia dan Philipina. Enam sisanya menjadi negara-negara tanpa kebebasan (not free).
Apabila Indeks Demokrasi tahun 2015 yang disusun oleh The Economist Inteligence Unit (EIU) dari grup majalah The Economist dideretkan sebagai variabel, maka Indonesia, Philipina, Malaysia dan Singapura masuk kategori flawed democracy (demokrasi yang tercela atau demokrasi yang cacat atau demokrasi yang timpang). Thailand, Kamboja dan Myanmar masuk kategori hybrid regime (rezim hibrida atau bercampur dengan otoritanianisme). Vietnam dan Laos masuk kategori otoritarian.
Brunei Darussalam tidak masuk kategori hasil kerja kaum terpelajar independen yang berbasis di London ini. Sudah pasti, tidak ada negara ASEAN penyandang kategori demokrasi penuh (full democracy).
Bukti teranyar dari model setengah bebas (model Freedom House) atau demokrasi yang cacat (model EIU) itu adalah kegagapan partai-partai politik memutuskan nama untuk menghadapi Basuki Tjahaja Purnama (Ahok Zhong) yang unggul dalam beragam survei. Kalaupun ada Ridwan Kamil atau Tri Rismaharini, keduanya tengah memimpin dua dari tiga kota metropolitan: Surabaya dan Bandung (satu lagi Medan). Mereka adalah orang kuat pertama dan orang kuat kedua untuk tingkat pemerintahan kota.
Bahkan untuk megapolitan DKI Jakarta, Gubernur dibantu 6 walikota dan 1 bupati. Belum lagi adanya jabatan lain, semacam Deputi Gubernur.
Ahok, Risma dan Ridwan bukanlah produk otentik partai-partai politik. Ahok pernah bergabung dengan Partai Indonesia Baru, Partai Golkar dan Partai Gerindra, tetapi ia tak berada dalam kawah candradimuka ketiga partai itu. Risma dan Ridwan adalah profesional (arsitek dan birokrat), ketimbang ideolog, organisatoris, hingga manajer ataupun simpatisan partai sejak berusia mahasiswa. Mereka sudah “jadi orang” ketika diusung partai.
Partai-partai politik mengalami cacat dalam fungsi rekrutmen politik. Rekrutmen yang dimakan usia dari sosok-sosok apolitis atau non partai untuk digembleng menjadi simpatisan, fungsionaris, kader, organisatoris hingga ideolog lewat pendidikan (internal) kepartaian.
Malah sosok-sosok “setengah jadi” atau “sudah jadi” masuk daftar calon (kepala atau wakil kepala pemerintahan daerah, juga legislatif). Aspek yang dinilaipun semata elektabilitas. Loyalitas, rekam jejak, program dan ideologi kepartaian dibangku-cadangkan. Yang tak kalah ganjil, terjadi beberapa kesepakatan mayoritas atau seluruh parpol untuk hanya menyalonkan satu orang dalam pilkada serentak 2015 lalu.
***
Kenapa masa mahasiswa jadi fase utama penilaian kaderisasi partai politik? Di usia mahasiswa founding fathers and mothers menulis pikiran terbaik yang hampir abadi sepanjang zaman. Idealita kehidupan mahasiswa berhasil menancapkan deretan tokoh politisi (sipil) yang visioner. Daftar politisi yang cepat hilang adalah mereka yang remang-remang jadwal aktivitas dan jejak pemikiran era mahasiswanya. Kondisi yang bukan khas Bumi Nusantara ini, namun juga berlangsung di negara (maju) demokrasi lain.
Masalah terbesar justru berlangsung dalam fase ini ini. Akibat keterbatasan aliran buku dan ilmu pengetahuan seputar demokrasi dalam era aktivisme mahasiswa 1990an, memicu kedangkalan pimikiran kala menyusun peta jalan demokrasi yang hendak ditempuh. Percepatan pengadaan institusi demokrasi, seperti partai politik, pemilihan umum, dan jumlah pemilih (partisipasi) tak sebanding dengan ketersediaan pasokan sumberdaya politik. Kolam banyak, bibit ikan sedikit. Tatkala institusi tersedia, pendalaman (deepening) demokrasi terlewati. Ada fase lompat katak dalam tahapan (transisi menuju konsolidasi) demokrasi kita.
Konsolidasi tak menjadi pilihan partai sebagai kanal atau ceretnya. Organisasi (negara dan pemerintahan) dengan tergesa menumbuhkan cabang-cabang checks and balances baru. Sejumlah undang-undang yang disahkan parlemen membawa serta organisasi baru atas nama independensi, netralitas ataupun pengawasan publik. Dalam satu dekade Indonesia kehilangan lapisan aktivis masyarakat sipil (civil society) dan kaum terpelajar kredibel. Mereka “dipenjarakan” ke dalam komisi-komisi “independen” di banyak bidang.
Ketika antri lewati gerbang masuk, ketika bernegosiasi tentang fasilitas setelah terpilih, atau bahkan setelah keluar dari wadah netral itu, dua institusi disentuh, yakni pemerintah dan parlemen yang jadi rumah kedua politisi.
Contoh lain berupa pilihan kerelawanan yang berubah menjadi bagian dari kisah (tim) sukses. Diilakukan malu-malu, tanpa mau membuka baju, disiarkan dengan diksi yang ikut cacat, sunsang atau timpang sejak dalam pikiran: kaum profesional independen. Mereka lalu berbondong masuk pemerintahan atau perusahaan negara.
Tipisnya lapisan masyarakat sipil membuat pola ini tak lagi terawasi. Garis demarkasi pudar, batas menara api redup, pengkritik yang telah dimatikan kaum seniman tak tampak menjadi zombie atau hantu. Campur baur tak tentu, centang perenang tanpa guru.
Indonesia di ambang tuna demokrasi.
Demokrasi terlihat, tapi buta. Demokrasi terdengar, tapi tuli. Demokrasi terucap, tapi bisu. Demokrasi yang dipertontonkan di pelaminan, tanpa penganten.
INDRA J PILIANG
Direktur Eksekutif Sang Gerilya Institute dan seorang penulis aktif baik buku maupun artikel ilmiah populer di media nasional