Saturday, June 14, 2025
spot_img
HomePendidikanDunia KampusDemokrasi di Ujung Pena: Ketika Mahasiswa Menggugat dari Layar Daring

Demokrasi di Ujung Pena: Ketika Mahasiswa Menggugat dari Layar Daring

Dwi Afiyah Hanum saat menjawab pertanyaan dewan juri dalam momen presentasi finalis SAMPINI 2025 secara daring, Jumat (30/5/2025). Ia akhirnya terpilih menjadi pemenang pertama dalam ajang ini. (foto: Cakrawarta)

SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Di tengah derasnya wacana pembangunan dan janji-janji politik yang terus bergema, sekelompok anak muda memilih tidak diam. Mereka tak turun ke jalan dengan poster atau orasi. Sebaliknya, mereka meretas ruang partisipasi dengan senjata yang lebih sunyi tapi tajam: tulisan opini.

Itulah semangat yang menyala dalam ajang Sayembara Opini (SAMPINI) 2025, yang digagas oleh Kementerian Kajian dan Aksi Strategis BEM Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (FKM Unair). Bertemakan provokatif, “Masa Depan Demokrasi: Apakah Pemerintah Saat Ini Membawa Kemajuan atau Kemunduran?”, kompetisi ini menjadi ruang berani bagi publik -khususnya generasi muda -untuk menimbang, menilai, dan mengkritisi arah bangsa.

Dibuka sejak Sabtu (17/5/2025), sayembara ini menantang para peserta yakni mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia untuk mengangkat isu-isu strategis seputar program Makan Bergizi Gratis (MBG), pemeriksaan kesehatan gratis, penurunan kasus TBC, pembangunan rumah sakit di daerah terpencil, hingga pemerataan BPJS. Tak hanya sebagai tema, isu-isu ini menjadi medan uji: apakah program-program itu benar-benar mewakili kemajuan demokrasi, atau sekadar retorika politik yang membungkus defisit kebijakan?

Membingkai Kritik dengan Logika

Selama lebih dari dua pekan, panitia menerima puluhan esai opini yang masuk. Dari semua itu, terpilih lima finalis terbaik yang diundang untuk mempresentasikan gagasannya dalam forum daring pada Jumat (30/5/2025). Proses penjurian pun tak main-main: melibatkan dua sosok yang dikenal tajam dan berintegritas -Bustomi Menggugat, jurnalis dari media Cakrawarta.com, dan Laura Navika Yamani, dosen FKM Unair yang juga kerap menulis opini di sejumlah media nasional seperti Kompas, Jawa Pos, dan Republika.

“Opini yang kuat bukan soal bahasa yang indah, tapi tentang keberanian menyuarakan kebenaran dan ketajaman logika dalam menimbang kebijakan,” ujar Laura Navika saat membuka sesi presentasi finalis.

Melalui layar Zoom, para finalis memaparkan pendapatnya dengan penuh semangat. Mereka tak hanya menyoroti kekurangan pemerintah, tapi juga menawarkan solusi konkret. Salah satunya adalah Dwi Afiyah Hanun, mahasiswa Unair yang akhirnya dinobatkan sebagai Juara I berkat opininya yang berjudul “Antara Janji Politik dan Realitas Demokrasi: Bagaimana Nasib Gizi Anak Bangsa dengan Program MBG?”

Hanun dengan tajam membongkar fakta-fakta menarik yang membuat miris dari pelaksanaan program MBG di daerah-daerah seperti kejadian keracunan massal hingga perlunya aksi kolaborasi yang inklusif. “Dengan pendekatan holistik, program MBG tidak hanya menjadi distribusi makanan tetapi juga menjadi bagian dari strategi jangka panjang yang menghapus kemiskinan dan peningkatan kualitas gizi di seluruh lapisan masyarakat,” tegasnya saat sesi presentasi di hadapan dewan juri.

Kritik Tak Harus Berteriak

Kritik tidak harus lantang. Dalam SAMPINI 2025, kritik disampaikan dengan nalar, data, dan analisis. Tak ada hujatan atau agitasi. Yang ada justru dialog dalam bentuk tulisan: tentang bagaimana kebijakan menyentuh rakyat, tentang bagaimana janji politik perlu terus diawasi publik.

Syarafina Khoirunnisa, Juara II, menulis opini berjudul “Makan Bergizi Gratis: Solusi Gizi atau Ancaman Nasional?” Di dalamnya, ia menyoal persoalan efisiensi anggaran dan permasalahan turunan akibat hal tesebut sehingga diperlukan evaluasi menyeluruh  dan kesiapan matang sebelum dilanjutkan sebagai program nasional.

Sementara Favian Saka Putra Kusnadi dari ITS, yang meraih Juara III, menggugat lewat tulisannya “Program Makan Bergizi Gratis: Antara Ambisi Sosial dan Realitas Implementasi”. Favian mempertanyakan kesiapan sistem distribusi logistik pangan dan pengawasan kualitas gizi secara nasional.

Menumbuhkan Demokrasi dari Ruang Kelas

Meski seluruh proses kompetisi berlangsung daring, nuansanya jauh dari kaku. Diskusi yang tercipta di forum presentasi justru menghidupkan esensi demokrasi: perbedaan pendapat yang dilandasi etika dan data.

Bagi panitia, SAMPINI 2025 bukan sekadar lomba. Ini adalah bentuk pendidikan politik yang kontekstual dan membumi.

“Tujuan utama kami adalah membangun kesadaran kritis mahasiswa terhadap dinamika kebijakan publik,” ujar perwakilan panitia. “Kami ingin mahasiswa tak hanya jadi penonton, tapi juga ikut menyusun ulang arah kebijakan lewat tulisan yang bermutu.”

Demokrasi Butuh Pena, Bukan Hanya Panggung

Pengumuman pemenang dilakukan pada hari ini, Sabtu (31/5/2025) melalui akun resmi @bemfkmunair. Tapi yang lebih penting dari kemenangan itu sendiri adalah semangat yang ditanam: bahwa demokrasi bukan hanya soal pemilu dan elit politik. Ia juga tumbuh dalam opini-opini yang berani, dalam debat yang jernih, dan dalam keinginan mahasiswa untuk menjaga nalar publik tetap waras.

Di tengah menguatnya polarisasi dan populisme, ajang seperti SAMPINI 2025 adalah oase -menunjukkan bahwa generasi muda masih peduli, masih berpikir, dan masih bersuara. Bukan lewat emosi, tapi lewat narasi yang tajam dan bertanggung jawab.

Dan siapa sangka, semua itu lahir dari ruang kecil BEM FKM Unair di Surabaya -membuktikan bahwa revolusi pemikiran bisa dimulai dari mana saja. Bahkan dari esai hampir 1.000 kata yang ditulis dengan idealisme.(*)

Editor: Abdel Rafi

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular