
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Jumat (6/6/2025) pagi, langit Surabaya tampak bersih, seolah memberi karpet cahaya bagi ribuan umat Islam yang berbondong-bondong menuju Masjid Nasional Al-Akbar. Dari segala arah, manusia datang membawa tekad untuk menyempurnakan ibadah kurban, tapi tidak sedikit yang juga membawa kegelisahan -tentang negeri, tentang diri sendiri, dan tentang arah hidup yang terasa makin samar.
Di atas mimbar, seorang lelaki sepuh bersorban putih berdiri dengan tenang. Wajahnya bersih, pandangannya tajam tapi menyejukkan. Dialah Prof. Dr. Ir. H. Mohammad Nuh, DEA, mantan Menteri Pendidikan sekaligus Ketua Majelis Wali Amanat ITS. Ia tidak datang membawa khutbah penuh retorika politik atau optimisme kosong. Justru yang keluar dari mulutnya adalah peringatan keras, sebuah alarm rohani tentang krisis yang jarang disadari, defisit kebaikan.
“Modal nikmat dari Allah sudah sangat banyak, tapi amal kebaikan kita sangat sedikit. Kita ini, sedang tekor secara spiritual,” ucap Prof. Nuh, mantap dan perlahan.
Kata-katanya menusuk. Ribuan jemaah yang memadati halaman dan pelataran dalam masjid terbesar di Jawa Timur itu mendadak hening. Tak sedikit yang menunduk, seolah menemukan pantulan dirinya dalam pernyataan itu.
Tiga Jalan Keluar dari Krisis Kebaikan
Prof. Nuh tak sekadar menggambarkan kegelapan. Ia juga membawa lentera. Menurutnya, ada tiga jalan terbaik untuk menambal kekurangan amal itu:

- Istighfar, memohon ampun atas kelalaian yang terus diulang,
- Meminta kasih sayang Allah, dan
- Memperbanyak amal sholeh, terutama ibadah sosial seperti berkurban.
“Dengan memperbanyak ibadah sosial, kita bisa menabung amal, menciptakan deposito kebaikan yang suatu saat bisa kita cairkan untuk menyelesaikan persoalan hidup,” tegasnya.
Konsep deposito kebaikan itu bukan metafora kosong. Ia mengutip kisah klasik tiga lelaki yang terjebak dalam gua dan hanya mampu keluar setelah masing-masing menyebut amal terbaik mereka sebagai wasilah. Batu besar yang menutup mulut gua akhirnya bergeser, bukan karena kekuatan otot, tetapi karena kekuatan amal.
Bersyukur: Ilmu yang Tak Semua Kuasai
Dalam khutbah bertema “Memperkuat Kepemimpinan dan Kepengikutan untuk Kemaslahatan Umat” itu, Prof. Nuh juga membedah hakikat syukur -sikap yang semakin langka di zaman banjir distraksi.
“Bersyukur bukan cuma saat kita mendapat nikmat. Tapi juga saat Allah mencegah musibah yang sebenarnya bisa saja menimpa kita,” ujarnya, mengutip QS As-Saba’ ayat 13 dan hikmah dari Ibnu Athoillah.
Ia membagi manusia ke dalam dua kategori. Pertama, mereka yang bersyukur dalam segala keadaan (Asy-Syakur). Kedua, dan mereka yang hanya bersyukur saat mendapat anugerah (Asy-Syakir).
“Jumlah yang pertama, sangat sedikit. Kita sering baru sadar arti sebuah nikmat ketika ia telah dicabut dari kita. Nikmat penglihatan, misalnya, baru terasa penting ketika mulai kabur,” tambahnya.
Dosa Sosial: Wajah Baru dari Kebohongan Spiritual
Lebih dalam lagi, Prof. Nuh mengingatkan bahaya dari dosa sosial -dosa karena abai terhadap nasib sesama. Ia menyinggung QS Al-Ma’un sebagai cermin untuk kita semua.
“Mengabaikan anak yatim, membiarkan fakir miskin, atau tidak ikut menyelesaikan masalah pangan dan pendidikan, itu dosa. Bahkan Allah menyebut pelakunya sebagai pendusta agama.” tegas pria yang juga jajaran Rais Syuriyah PBNU 2022-2027 itu.
Kata-katanya menghunjam. Ia menolak gaya beragama yang hanya sibuk memperindah tampilan spiritual, tetapi lupa membasuh luka sosial di sekitarnya.
Qurban dan Kepemimpinan Spiritual
Pagi ini, Masjid Al-Akbar tidak hanya menjadi tempat berteduh bagi perenungan spiritual, tetapi juga menjadi saksi kekompakan para pemimpin negeri.
Presiden Prabowo Subianto mengirimkan seekor sapi kurban berbobot 1.020 kilogram, jenis Peranakan Ongole (PO), yang berasal dari peternak H. Teguh di Solokuro, Lamongan. Sapi itu berdiri gagah di halaman masjid, seolah tahu dirinya akan menjadi bagian dari ibadah besar.

Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, Wakil Gubernur Emil Dardak, dan Sekdaprov Adhy Karyono juga turut menyumbang sapi dari desa yang sama. Totalnya, 88 ekor hewan kurban disembelih di kompleks MAS tahun ini, terdiri dari 65 kambing, 23 sapi perseorangan, dan 4 sapi patungan.
“Sejak Kamis malam, jamaah sudah datang, bukan hanya untuk ibadah tapi juga wisata spiritual. Ini adalah kurban yang menggembirakan dan mendidik,” ujar Helmy M Noor, Humas BPP MAS dalam keterangannya pada media ini sesuai pelaksanaan Sholat Idul Adha.
Penutup: Menjadi Asy-Syakur di Era Krisis Makna
Idul Adha tahun ini membawa pesan yang jauh lebih dalam dari sekadar potong hewan dan bagi-bagi daging. Melalui khutbahnya, Prof. Mohammad Nuh seolah mengajak umat Islam untuk membongkar rekening amalnya, menghitung ulang antara nikmat yang diterima dan amal yang telah ditanamkan.

Ia tak menggurui, tak menghakimi. Ia hanya menunjukkan cermin: apakah kita sudah menjadi Asy-Syakur atau baru Asy-Syakir?
Sebab jika defisit kebaikan ini terus dibiarkan, tak ada yang tahu krisis macam apa yang akan datang berikutnya -bukan pada tubuh kita, tetapi pada jiwa dan nurani kita sendiri.(*)
Editor: Abdel Rafi