Ketika Pemilihan Presiden Amerika Serikat (Pilpres AS) biasanya jadi panggung politik serius, tahun ini sepertinya ada yang salah: kucing. Ya, di tengah hiruk-pikuk persaingan antara Donald Trump dan Kamala Harris, dua kandidat ini tiba-tiba saja terjebak dalam perdebatan paling absurd—soal kucing. Bahkan, debat panas mengenai isu ekonomi, imigrasi, dan politik luar negeri pun seolah kalah pamor dengan obrolan tentang bulu kucing.
Apa yang sebenarnya terjadi? Ini bukan lelucon. Di Amerika Serikat, negara yang katanya jadi simbol demokrasi dunia, topik kucing menjadi bumbu kampanye Pilpres 2024. Tak main-main, sampai Taylor Swift ikut turun tangan dengan kucing-kucing peliharaannya, sementara Donald Trump mengklaim dirinya sebagai “penyelamat kucing”. Hah? Kucing? Serius, guys?
Semua dimulai ketika Donald Trump, yang selama ini terkenal dengan gaya retorikanya yang bombastis, tiba-tiba meluncurkan pernyataan aneh dalam debat Pilpres. Dengan wajah serius, dia menyebut bahwa Amerika sedang terancam oleh imigran “pemakan kucing”. Wait, what? Kita nggak tahu apakah Trump cuma bercanda atau serius, tapi ini jelas memicu kebingungan di kalangan pemirsa, termasuk di Indonesia, yang lebih sering berdebat soal topik serius dalam politik.
Tapi, Trump nggak berhenti sampai di situ. Dia menyebut dirinya sebagai “penyelamat kucing” yang bertujuan melindungi populasi kucing Amerika dari ancaman imigran tersebut. Meme dan gambar editan Donald Trump yang memeluk kucing pun langsung viral di media sosial. Pemandangan Trump dengan kucing di pangkuannya tentu jadi salah satu highlight paling lucu di Pilpres ini.
Tapi tunggu, masih ada Taylor Swift yang nggak mau kalah lucu. Swift, penyanyi pop yang baru saja membawa pulang piala MTV Video Music Awards 2024, kini secara terbuka mendukung Kamala Harris. Dan apa alasan dukungannya? Kucing, tentu saja. Taylor Swift dikenal sebagai pecinta kucing garis keras, dengan tiga kucing kesayangannya: Meredith Grey, Olivia Benson, dan Benjamin Button. Dalam unggahan di media sosial, Taylor menyebut dirinya sebagai “wanita kucing” yang siap mendukung Kamala Harris dalam Pilpres.
Yang lebih mengejutkan, hanya dalam 24 jam setelah Taylor mengumumkan dukungannya, lebih dari 400 ribu orang langsung masuk ke website Pilpres AS. Pengaruh Taylor Swift ternyata nggak main-main, bahkan bisa jadi lebih besar dari orasi politik manapun. Para Swifties (sebutan fans Taylor Swift) pun langsung mengguncang dunia politik dengan gelombang suara mereka, yang mungkin lebih peduli dengan kucing Taylor daripada dengan kebijakan luar negeri.
Bagi kita di Indonesia, yang terbiasa dengan debat politik seputar ekonomi dan kebijakan publik, topik seperti ini terdengar seperti lelucon. Tapi di AS, ini realitas. Kita mungkin bertanya-tanya: Apakah publik AS benar-benar tertarik pada politik, atau hanya tertarik pada kucing dan selebriti?
Lucunya, meskipun ini terdengar konyol, ada pelajaran menarik yang bisa kita ambil di Indonesia. Di era digital ini, ternyata nggak perlu topik berat untuk menarik perhatian publik. Kita terbiasa melihat politisi berbicara tentang program pembangunan, tetapi bagaimana kalau kampanye kita lebih “ringan” dan viral, seperti debat kucing ini? Bukankah di Indonesia, meme dan konten viral kerap lebih efektif menyebarkan pesan daripada program panjang lebar yang disampaikan dalam pidato resmi?
Mungkin di Pilpres mendatang, kita akan melihat capres-capres Indonesia berbicara soal… kucing? Atau minimal, politisi kita bisa belajar dari Taylor Swift yang sukses menggerakkan massa hanya dengan beberapa tweet soal Kamala Harris dan kucingnya. Siapa tahu, gaya kampanye seperti ini bisa jadi strategi baru di era politik digital kita.
Nah, setelah segala kekonyolan ini, pertanyaan pentingnya adalah: siapa yang akan menang? Di satu sisi, Taylor Swift dan dukungan kucingnya jelas membawa momentum besar bagi Kamala Harris. Pengaruh Swift yang luar biasa di kalangan pemuda dan pecinta kucing membuat Kamala mendapatkan keuntungan besar di basis pemilih muda.
Namun, Trump, dengan segala “karisma”-nya sebagai penyelamat kucing, tampaknya tidak akan menyerah dengan mudah. Meskipun pernyataan soal “pemakan kucing” mungkin terdengar menggelikan, basis pendukung setia Trump sepertinya tidak terlalu peduli. Mereka tetap setia, terlepas dari apapun yang Trump katakan, bahkan jika itu soal kucing sekalipun.
Jadi, apakah Swiftie bisa memenangkan Pilpres AS untuk Kamala Harris? Atau Trump akan tetap bertahan sebagai “penyelamat kucing” Amerika? Apapun hasilnya, satu hal yang pasti: di Pilpres AS 2024 ini, kucing sudah resmi jadi bagian dari politik dunia. Siap-siap saja jika di Indonesia nanti, topik seperti ini juga muncul di panggung Pilpres kita!
Akhir Kata… Kucing mungkin tampak remeh, tapi di tangan selebriti seperti Taylor Swift dan politisi seperti Donald Trump, topik ini berubah jadi sesuatu yang besar. Apakah ini pertanda bahwa politik kita sekarang lebih fokus pada hal-hal kecil yang viral, daripada kebijakan besar yang serius? Mungkin jawabannya terletak pada seberapa banyak orang yang lebih memilih mengklik foto kucing ketimbang membaca proposal kebijakan ekonomi.
17 September 2024
AHMADIE THAHA
Wartawan Senior