JAKARTA – Pertemuan Tim 7 Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) dengan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang dipimpin oleh Ustadz Bachtiar Nasir selaku Ketua GNPF MUI dan diterima Presiden langsung di Istana Merdeka, pada saat hari Minggu (25/6/2017). Tak pelak, pertemuan tersebut bernilai strategis sekaligus menimbulkan berbagai tafsir.
Untuk menepis berbagai analisis dari pihak eksternal, hari Senin (26/6/2017) ini, pihak GNPF MUI memberikan keterangan pers guna menjelaskan konteks pertemuan tersebut.
Menurut Ketua GNPF MUI, Ustadz Bachtiar Nasir pertemuan tersebut sebenarnya dijadwalkan pada Minggu (25/6/2017) pukul 11.30 WIB, namun tertunda beberapa jam, karena pada saat yang sama Presiden bersilaturahmi ke kediaman Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri.
Bachtiar Nasir menambahkan bahwa dalam pertemuan tertutup itu, Presiden Jokowi didampingi Menteri Kordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno dan Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin. Menurutnya, pertemuan tersebut merupakan kelanjutan pertemuan sebelumnya antara GNPF MUI dengan Pemerintah yang diwakili Menkopolhukam Wiranto dan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla dalam sepekan ini.
Dijelaskan dari GNPF MUI yang hadir adalah Wakil Ketua GNPF KH Zaitun Rasmin, Kapitra Ampera dan Deni selaku Tim Advokasi GNPF, Yusuf Marta sebagai anggota Dewan Pembina, Plt Sekretaris Muhammad Lutfi Hakim dan Imam FPI Jakarta Habib Muchsin.
Bachtiar Nasir menegaskan bahwa pertemuan Tim 7 GNPF MUI dengan Presiden RI Joko Widodo menyikapi berbagai persoalan terutama ketidakjelasan soal hukum yang menimpa ulama dan aktivis Islam, serta penyelesaiannya dengan jalan dialog langsung kepada Presiden.
Berangkat dari dua persoalan dan beberapa masalah kebangsaan itu, GNPF terus berupaya dan mencari solusi strategis. Di antaranya, penyelesaian kasus yang masih berjalan di tempat seperti kasus Sekjen Forum Umat Islam (FUI) Ust Muhammad Alkhattath, hanya sebatas janji tanpa realisasi dan status hukumnya tidak jelas. Begitu juga kasus yang menimpa Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Syihab yang juga Ketua Dewan Pembina GNPF, tidak ada kejelasan.
“Kami menginginkan Habib Rizieq kembali ke Indonesia, dengan damai tanpa pemaksaan yang akan semakin menambah kegaduhan di tengah umat dan ini akan menghabiskan energi yang tidak produktif. Lalu kami bertemu Menko Polhukkam, yang siap menjadi saluran aspirasi GNPF karena selama ini GNPF tidak punya saluran aspirasi yang jelas, semua menggantung,” kata KH Bachtiar Nasir.
Untuk diketahui, melalui momentum Idhul Fitri, Menag yang memang ditugaskan oleh Presiden sebagai penggerak halal bihalal membuka saluran komunikasi dengan Presiden untuk mempertemukan kedua belah pihak.
GNPF memanfaatkan momentum tersebut dan ingin langsung berkomunikasi dengan Presiden Jokowi.
“Setelah Menag berbicara dengan Presiden di (sela-sela shalat Idhul Fitri) di Istiqlal dan berkordinasi dengan Menko Polhukam Wiranto, maka terjadilah pertemuan itu. Jadi hakikatnya pertemuan tersebut menyangkut kepentingan kedua belah pihak, bukan semata-mata kepentingan sepihak GNPF yang meminta bertemu, karena ini masalah hukum dan kebangsaan serta ini juga menyangkut negara,” papar alumni Pondok Pesantren Gontor Ponorogo tersebut.
Bachtiar Nasir melanjutkan, “Tentu Presiden adalah simbol negara yang harus dihormati, karena itu kami berterima kasih bahwa Presiden telah menerima kami pada kesempatan berharga itu untuk berkomunikasi langsung dan menerima aspirasi kami,” imbuhnya.
Wakil Sekretaris Dewan Pertimbangan MUI tersebut menyampaikan, dari sisi hukum ada kesan bahwa hukum yang diterapkan selama ini terasa tajam kepada umat Islam. Ada beberapa hal yang umat Islam merasa bahwa penegakan hukum yang berjalan saat ini menunjukkan ketidakjelasan.
“Kami juga sampaikan bahwa ada pemahaman di kalangan umat Islam bahwa terjadi ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan hukum, sampai keberpihakan kepada pemodal. Ini kami sampaikan. Kemudian juga soal kebuntuan komunikasi yang selama ini ternyata ada pihak yang seakan-akan membatasi komunikasi kami dengan kepala negara. Ini sudah kami sampaikan. Beliau bilang, seandainya pasca Aksi 411 ada komunikasi langsung, mungkin situasinya tidak seperti ini dan setelah ini Presiden menunjuk Menko Polhukkam untuk memediasi dan berkomunikasi sampai penyelesaian beberapa kasus dan implementasinya,” ujar Bahctiar Nasir secara blak-blakan.
Sampai akhir pertemuan, dikatakan bahwa Presiden juga berbicara mengenai program keseimbangan dalam sistem perekonomian yang dikuasai konglomerat dan Presiden melakukan perimbangan untuk menguatkan ekonomi umat, lewat 12 juta hektare tanah untuk rakyat.
Selama ini, kata Bachtiar Nasir, Presiden mengakui bahwa keberpihakan ke barat sudah kuat, maka dia melakukan penyeimbangan dengan China, Arab Saudi, Kuwait, dan lain-lain. Bahkan hubungan RI dengam Turki berlangsung dengan baik.
“Ini semua proses yang butuh waku untuk dilihat hasilnya,” tegasnya.
Inti pertemuan dengan Presiden Jokowi, kata Bachtiar Nasir, semuanya masih bersifat general. Secara detil nanti akan ditangani oleh Menko Polhukam.
“Presiden buka komunikasi dan memberi saran ke Menko dan Pak Wiranto yang mengimplementasikannya,” kata pimpinan sejumlah pondok pesantren di bawah naungan AQL Islamic Center ini.
Sementara itu, Plt Sekretaris GNPF MUI M Luthfie Hakim menambahkan bahwa Ustadz Bachtiar Nasir dalam pertemuan tersebut, menyampaikan terlebih dahulu situasi kekinian dalam hubungan antara Pemerintah dengan Ulama, khususnya pada masa Pilgub DKI Jakarta dan pasca Pilgub dirasakan ada kesenjangan komunikasi (yang cukup kuat), masing-masing dengan persepsinya sendiri-sendiri. Padahal yang dilakukan oleh ulama yang tergabung dalam GNPF hanya bermaksud menyampaikan pendapat secara damai, tidak anarkis apalagi mengarah ke makar, dalam koridor demokrasi.
Pada kesempatan itu, pimpinan GNPF MUI yang lain juga menyampaikan adanya suasana paradoksal. Dimana pada satu sisi Pemerintah berpendapat tidak melakukan kebijakan yang bersifat menyudutkan umat Islam, tapi di pihak lain GNPF menangkap perasaan umat Islam yang merasa dibenturkan dengan Pancasila, dengan NKRI, dan dengan Kebhinekaan.
“Tentulah hal ini tidak menguntungkan bagi Pemerintah dalam menjalankan programnya dan bagi ulama dan umat dalam menjalankan dakwahnya,” kata Luthfie Hakim.
GNPF mengharapkan dari pertemuan ini dapat dibangun saling pengertian yang lebih baik di masa depan.
Dalam kesempatan tersebut, dijelaskan bahwa Presiden menyampaikan rasa senang dapat bertemu pimpinan GNPF MUI, serta menegaskan tidak ada maksud untuk tidak mau menerima ulama yang tergabung dalam GNPF MUI, semua itu hanyalah miskomunikasi semata. Jokowi menyatakan, dalam beberapa kali pertemuan dengam ulama, tidak pernah memerintahkan untuk mencoret ulama yang tergabung dalam GNPF MUI.
“Untuk menyikapi hasil pertemuan tersebut, kami akan menggelar Konferensi Pers yang akan digelar Selasa besok. Tepatnya pukul 13.00 WIB, di AQL Islamic Center, Tebet, Jakarta. Taqobbalallahu Minnaa Waminkum,” pungkas Hakim.
(bm/bti)