
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Di Ruang Adi Sukadana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (FISIP Unair), Kamis (14/8/2025), layar Zoom bersisian dengan deretan kursi yang cepat terisi. Sekitar 50 peserta hadir langsung, sementara lebih dari 80 orang lainnya mengikuti secara daring.
Mereka datang untuk menyimak peluncuran dan bedah buku “Identitas, Inovasi, dan Intergenerasi”, karya kolaborasi Program Magister Media dan Komunikasi FISIP Unair bersama Delegasi Tetap RI untuk UNESCO. Buku ini merangkum esai-esai populer tentang strategi pelestarian budaya yang memadukan tradisi dengan inovasi, sekaligus menempatkan generasi muda sebagai penggerak utama.
“Pelestarian budaya takbenda tidak bisa ditinggalkan pada nostalgia,” ujar Yuyun W.I. Surya, Ph.D., Kaprodi Magister Media & Komunikasi FISIP Unair. “Ia perlu masa depan, dan masa depan itu hari ini berada di tangan anak muda yang hidup di ruang digital.”
Indonesia menjadi salah satu negara dengan Warisan Budaya Takbenda (WBTb) terbanyak yang diinskripsi UNESCO yakni sekitar 16 elemen hingga 2025. Dari Wayang (2008), Keris (2008), Batik (2009), Angklung (2010), Tari Saman (2011), Noken Papua (2012), Tiga Genre Tari Bali (2015), Perahu Pinisi (2017), Pencak Silat (2019), hingga Kebaya dan Reog Ponorogo (2024).
Pengakuan internasional ini adalah hasil kerja sama panjang antara pemerintah, komunitas, akademisi, dan pelaku budaya. Namun, tantangan ke depan menuntut warisan tersebut terus relevan dan dekat dengan generasi baru.
Dari Getar Bambu ke Robot Angklung
Saevasilvia, mahasiswa Magister Media dan Komunikasi sekaligus salah satu penulis, mengusulkan “robot angklung” sebagai bentuk adaptasi tradisi di era teknologi.
“Ini salah satu cara membunyikan memori,” katanya. “Biar anak-anak yang tumbuh dengan gawai juga bisa jatuh cinta pada getar bambu.”
Bagi Saevasilvia, inovasi seperti ini adalah jembatan yang menghubungkan rindu pada akar budaya dengan rasa ingin tahu terhadap teknologi.
Sementara itu, Hartanti Maya Krisna, dari Direktorat Kerja Sama, Promosi, dan Diplomasi Kebudayaan Kemendikbud, menekankan pentingnya strategi nasional yang menyambungkan akar lokal dengan panggung global.
“Diplomasi budaya hari ini adalah diplomasi data, jejaring, dan cerita. Kita perlu memastikan cerita-cerita itu lahir dari komunitas, lalu bergerak menyeberangi batas,” ujarnya.
Menurutnya, WBTb hanya akan hidup jika tetap relevan, terus diciptakan kembali, dan diwariskan lintas generasi, bukan dibekukan sebagai artefak yang tak tersentuh.
Pendiri BN SETALOKA sekaligus pegiat budaya, Andreanto Surya Putra, berbicara tentang Reog Ponorogo yang kini diakui UNESCO.
“Kebijakan budaya harus setegas hentakan kaki penari Reog: memberi ruang kreasi, memastikan perlindungan, dan menyediakan pendanaan berkesinambungan,” ujarnya.
Andreanto menyoroti pentingnya bahan ramah lingkungan untuk Dadak Merak, agar estetika dan kesakralan tetap terjaga di tengah meningkatnya kesadaran lingkungan.
Pesan dari Paris
Melalui sambungan daring dari Paris, IGAK Satrya Wibawa, Duta Besar/Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO, menegaskan bahwa budaya adalah bahasa universal yang mampu menembus batas politik dan ekonomi.

“Kita punya segalanya, tapi tantangannya adalah membuat dunia tidak hanya melihat, tapi juga memahami,” katanya.
Bagi Satrya, diplomasi budaya di era literasi digital menuntut pengelolaan citra, narasi, dan makna di balik setiap karya.
Dina Septiani, salah satu penulis, menutup diskusi dengan pesan singkat namun kuat: tradisi membutuhkan penjaga dan penutur.
“Penjaga memastikan akar tetap kuat; penutur memastikan cabang terus tumbuh,” ujarnya.
Bagi Magister Media dan Komunikasi FISIP Unair, kolaborasi dengan UNESCO adalah upaya menjembatani keduanya, memanfaatkan teknologi untuk membawa kisah budaya Indonesia melintasi batas geografis hingga ruang virtual tempat generasi muda dunia berkumpul. (*)
Editor: Abdel Rafi



