Thursday, October 10, 2024
spot_img
HomeGagasanBandit-Bandit Politik Perusak Tatanan Sistem Kenegaraan

Bandit-Bandit Politik Perusak Tatanan Sistem Kenegaraan

 

pilar_1004

Terungkapnya percakapan konspiratif di ruang sempit terkait Freeport antara Ma’roef Sjamsoeddin dari pihak Freeport dengan Ketua DPR RI Setya Novanto dan M. Reza Chalid adalah gambaran faktual tentang leluasanya para bandit politik merampok kekayaan negara dengan memanfaatkan rusaknya tatanan politik dan lemahnya kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Istilah ‘bandit’ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah ‘penjahat’ atau ‘pencuri’. Sedangkan istilah ‘bandit politik’ yang digunakan dalam tulisan ini mengacu pada Mancur Olson yang menulis buku berjudul Power and Prosperity (2000).

Olson berpandangan bahwa ‘bandit politik’ di bawah pemerintahan yang anarki atau yang diistilahkan dengan ‘roving bandit’ adalah para politisi yang bekerja secara intensif untuk mencuri kekayaan negara dan merusak tatanan sosial politik kenegaraan. Sedangkan ‘bandit politik’ di bawah pemerintahan tirani atau diistilahkan dengan ‘stationary bandit’ adalah para politisi yang bekerja memanfaatkan stabilitas sistem tanpa oposisi untuk menguasai kesuksesan perekonomian dengan sambil terus berupaya mempertahankan kekuasaan agar mereka secara efektif bisa mengakumulasi keuntungan secara ekonomi.

Era reformasi, khususnya di era Presiden Joko Widodo, adalah era berkuasanya ‘roving bandit’, yang sangat leluasa beroperasi merampok kekayaan dalam sebuah negara tanpa sistem, tanpa tegaknya nilai-nilai dan moral, tanpa tegaknya aturan. Di era reformasi, Presiden dan DPR adalah adalah pihak pembuat aturan, namun mereka adalah pihak pertama yang melanggar aturan yang mereka buat sendiri. Penegak hukum (Polri, Kejaksaan, MA) adalah pihak yang mengawal tegaknya aturan yang telah dibuat eksekutif dan legislatif, namun mereka adalah pihak pertama yang melumpuhkan aturan yang seharusnya ditegakkan.

Untuk memudahkan para bandit politik atau ‘roving bandit’ tersebut merampok kekayaan negara, maka mereka juga beroperasi merusak tatanan sosial, politik dan hukum. Sebagai contoh, dikabulkannya gugatan praperadilan Komisaris Jenderal Budi Gunawan, yang kini telah menjadi bola liar melumpuhkan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.

Tak cukup semata merusak tatanan sosial, politik dan hukum, untuk tujuan mempertahankan kelanjutan kekuasaannya, para bandit politik tersebut juga bekerja efektif untuk menularkan epidemi kerusakan moral dan kemunafikan yang menjangkit mayoritas politisi muda di Senayan hingga di daerah, juga para pemuda dan mahasiswa yang merupakan generasi penerus bangsa.

Melalui Pilkada Serentak yang akan digelar 9 Desember 2015 nanti, epidemi kerusakan moral yang ditularkan para bandit politik tersebut bahkan masuk menjangkit mereka yang ada di dalam kampus dan masjid, gereja dan berbagai tempat ibadah lainnya yang seharusnya steril dari politik uang.

Epidemi kemunafikan dan kerusakan moral juga ditularkan oleh para bandit politik yang tidak teguh dalam memegang janji politik. Sebagai contoh adalah ketika Presiden Joko Widodo mengatakan tidak akan mengimpor beras, namun di saat yang sama kapal yang mengangkut beras impor dari Vietnam dan Thailand bersandar di Pelabuhan Tanjung Priok. Demikian juga ketika Presiden Joko Widodo menyerukan revolusi mental, namun di saat yang sama merusak mental masyarakat melalui memberi teladan sebagai pemimpin yang ingkar janji dan bergantung pada modal dan industri asing.

Demikian juga ketika di saat kampanye, ketika itu Partai Nasdem melalui Ketua Umumnya, Surya Paloh mengatakan mendukung Resolusi Jihad NU yang menyerukan mengoreksi sistem Pilkada langsung yang telah merusak tatanan moral, sosial dan politik, yaitu dengan mengembalikan Pilkada melalui DPRD. Namun ketika sidang paripurna DPR RI yang mengesahkan Undang-Undang (UU) Pilkada melalui DPRD, justru Partai Nasdem lah yang pertama kali mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan UU yang sesuai program Partai Nasdem tersebut.

Dalam kasus yang lainnya, ketika di saat kampanye, Prabowo Subianto sebagai Capres pidato berapi-api tentang bocornya kekayaan negara karena dirampok oleh para bandit politik yang bersekutu dengan kekuatan asing, namun saat ini Prabowo juga tidak bersikap tegas ketika berhadapan dengan terungkapnya konspirasi melalui percakapan antara Ketua DPR Setya Novanto dan Riza Chalid dengan Ma’roef Sjamsoeddin dari pihak Freeport.

Meluasnya epidemi kerusakan moral, kerakusan dan kemunafikan tersebut membawa kita pada kesimpulan tentang keadaan bangsa Indonesia saat ini yang nyaris mendekati keadaan di era Nabi Luth atau Nabi Nuh tentang sebuah bangsa yang dimusnahkan oleh Tuhan karena mayoritas masyarakatnya terjangkit epidemi yang merusak dan tidak terselamatkan lagi dengan cara-cara politik.

Agar bangsa Indonesia selamat dari hukuman Tuhan yang Maha Kuasa, maka kita membutuhkan bangkitnya generasi baru dan lahirnya kekuatan baru yang berpegang teguh pada Pancasila sebagai nilai-nilai (nilai Ketuhanan, Kemanusian, nilai-nilai Persatuan dan Kebersamaan, nilai-nilai Musyawarah-Mufakat dan Keadilan Sosial), bukan Pancasila sebagai ‘kepentingan’ dan ‘tameng’ yang digunakan oleh sekelompok orang untuk merampok dan menjual negara sebagaimana yang dicontohkan oleh sejuamlah elite politik tua juga politisi muda partai politik yang telah membusuk secara moral. (bersambung)

HARIS RUSLY

Aktivis Petisi 28

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Berita Terbaru

Most Popular