Saturday, April 20, 2024
HomeGagasanMetamorfosis Praktek "Mindring" di Indonesia

Metamorfosis Praktek "Mindring" di Indonesia

1618606_456824951111172_1220579122_n

Profesi “mindring” di beberapa daerah di Indonesia terasa asing, tapi sebenarnya jenis profesi ini ada dimana mana, baik lembaga atau perorangan. Profesi ini dibenci tapi ada yang mencari. Sebutan profesi ini umum di Jogjakarta dan Solo, untuk menyebut orang yang bekerja pada lintah darat. Acapkali disebut juga Bank Titil, artinya hutangnys sedikit dicicil tidak lunas-lunas. Kadang disebut juga Bank Plecit, didatangi nasabah lari kocar-kacir. Ada juga julukan Bank Ucek-ucek, hari ini diberi hutangan, besok pagi harus sudah bayar angsuran.

Sebutan paling halus adalah Mantri Bank, ini khusus untuk bank BRI unit, tugas pak mantri ini melakukan survei, membuat usulan pencairan dan menagih. Bila kredit sudah dicairkan, nasabah akan memberi uang rokok pada pak mantri, sehari setelah kredit dicairkan, Pak Mantri akan berkunjung ke rumah nasabah dan menceritakan perjuangan dia meyakinkan kepala unit agar menyetujui permohonan kreditnya. Nasabah akan ndomblong mengagumi kehebatan Pak Mantri. Saat pulang, nasabah akan memberi oleh-oleh hasil pertanian yang ada amplopnya. Jawaban normatifnya akan pura-pura menolak, tapi tetap diterima juga.

Kalau terjadi tunggakan atau macet, bunga akan ditambahkan menjadi pokok, begitu seterusnya, bunga berbunga atau plafondering. Pekerjaan “mindring” dalam budaya Jawa, dianggap pekerjaan yang hina, karena memeras habis-habisan nasabahnya, “Mindring” tidak pernah melepas korbannya begitu saja, begitu akan lunas nasabah ditawari pinjaman yang lebih besar, begitu seterusnya, sehingga kerja keras nasabah habis untuk menyetor “mindring”.

Dalam era sekarang, “mindring” adalah noda hitam kearifan lokal, yang memanfaatkan budaya ewuh-pakewuh. Orang Jawa akan ewuh kalau pada saat dia butuh, ada orang yang memberi pinjaman, untuk menghentikan pinjaman pada saat dia sebenarnya tidak butuh, karena merasa ketumpangan atau hutang budi.

Sejak Oktober 1988, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi yang dikenal dengan Pakto 88. Poin paling menonjol dari kebijakan tersebut adalah kemudahan mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dimana hanya dengan modal Rp 50 juta dan Bank Umum hanya dengan modal Rp 10 M. Inilah awal kebangkitan “mindring” legal. Pada tahun 1992 diundangkan dengan keluarnya Undang-Undang Perbankan nomor 10, dengan salah satu ayat dibolehkannya mendirikan Bank Umum dan BPR dengan prinsip bagi hasil. Pada tahun tahun tersebut Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui pinbuk, gencar mensponsori pendirian Baitul Maal wat Tamwil (BMT) hanya dengan modal Rp 5-10 juta. Inilah awal ramainya dunia per-“mindring”-an di tanah air, ada yang terang terangan dengan praktek riba, ada juga yang dibungkus dengan label syariah.

Dunia per-“mindring”-an dengan berbagai bungkusnya, menjadi ladang bisnis yang menggiurkan. Sejak era Marah Rusli dengan tokoh imajiner Datuk Maringgih, bisnis per-“mindring”-an atau lintah darat sudah marak. Belum ada ceritanya bisnis jualan uang lintah darat mengalami kolap dan menjadi pasien Debt Free Center (DFC). Yang ada sebaliknya, banyak orang ramai-ramai masuk ke bisnis per-“mindring”-an dengan berbagai bungkusnya. Kalau jualan baju anak misalnya, cukup pusing untuk bisa survive, perlu memelototi model yang akan ngetren, perlu cari kain yang bagus dan murah, bahkan perlu “mencuri” model dari pesaing, menyambangi penjahit pesaing, mengopi gambar atau modelnya pesaing. Tapi kalau bisnis “mindring”, cukup modal sekali sekitar Rp 500 juta-an, dibungkus syariah, teriak-teriak syariah, membayar orang untuk teriak-teriak syariah, kalau likuiditas kurang, datang ke Bank Syariah, ajukan pembiayaan model stand by loan, jaminan portofolio pembiayaan, dapat cost of fund 15% lalu dijual 30% , beres. Soal syar’i atau tidak nomor 42, soal nasabah untung apa tidak nomor 56.

“Mindring”, lintah darat, rentenir adalah model kapitalisme asli Nusantara, mungkin lahirnya sejaman dengan Adam Smith dan revolusi Industri di Inggris pada abad pertengahan. Hanya saja soal per-“mindring”-an tidak pernah ditulis oleh para empu dan kalah tenar dengan Kitab Betal Jemur karya Kyai Saleh Darat dari Semarang.

Empuknya dunia per-“mindring”-an menggoda pemerintah masuk bisnis ini pasca krisis moneter pada tahun 1998, dengan mendirikan perusahaan mindring PT. PNM (Persero). Pada awalnya menurut penjelasan bosnya di tahun 2000-an, PNM akan masuk ke perusahaan atau koperasi melalui penyertaan modal, dengan pendampingan manajemen. PNM akan memperoleh pendapatan berupa management fee dan bagian keuntungan berdasar komposisi modal disetor. Modal PNM akan ditarik dari perusahaan tersebut, apabila perusahaan secara finansial sudah sehat dan akan dialihkan pada perusahaan/koperasi lain. Katanya, ini didasari kondisi tahun 1998 dimana banyak perusahaan kecil yang ikut-ikutan kolap, gara-gara suku bunga saat itu bisa mencapai 40% untuk deposito 3 bulan. Khitah-nya dulu PNM tidak membiayai nasabah perorangan, tetapi khususon lembaga.

Kalau “mak bedunduk” ada nasabah perorangan tanahnya akan dilelang karena kredit macet di PNM, sungguh saya kaget. Ternyata PNM telah bermetamorfosis menjadi “mindring” atau lintah darat. Mungkin dipandang belum cukup lembaga-lembaga keuangan yang ada mem-plokoto para pengusaha kecil yang terlalu kuat, sehingga badan usaha milik negara ikut nyengkuyung dalam mem-plokoto pengusaha kecil.

Sampai saat ini kelihatannya belum banyak lembaga yang intens mendampingi usaha mikro dan kecil, terutama dari jeratan rentenir. Semua lembaga keuangan dari bank umum sampai rentenir perorangan menjadikan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai target market. Mereka secara jor-joran memberikan pinjaman/easy money, secara langsung maupun dengan memberikan fasilitas kartu kredit. Ini tidak mendidik, karena tidak semua permasalahan UMKM adalah masalah keuangan. Boleh jadi masalahnya adalah pasar, manajemen, kualitas produk atau efisiensi, yang tidak semuanya bisa diselesaikan dengan uang. Pinjaman yang diterima sebenarnya tidak diperlukan, akan membebani sirkulasi keuangan dan berpotensi menjadi racun yang mematikan karena macetnya angsuran. Apalagi bila kemacetan itu dibebankan secara plafondering, akan sangat memberatkan.

Perlu ada langkah nyata mem-free debt atau men-debt free-kan pengusaha UMKM dari jeratan “mindring”. Bagi yang sudah debt free, didampingi agar konsisten debt free-nya. Bagi yang nggreges atau mriyang, perlu diberi decolgen dan bagi yang parah, bisa di suntik bius atau diamputasi, biar anggota tubuh yang lain selamat.

M. NAJIB

Tim Debt Free Center (DFC) Jawa Timur

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular