
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Perkembangan teknologi reproduksi modern kembali memunculkan perdebatan di kalangan ulama. Salah satu isu yang mengemuka adalah hukum pengambilan dan penyimpanan sel telur perempuan sebelum pernikahan untuk kemudian dibuahi setelah menikah. Polemik tersebut mengemuka dalam diskusi ilmiah bersama ulama Al-Azhar Mesir, Syekh Dr. Ahmad Mamduh, di Kampus KH Abdul Chalim, Pacet, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Minggu (28/12/2025).
Mantan Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, KH Ma’ruf Khozin, menyampaikan bahwa praktik yang dalam dunia medis dikenal sebagai ovum pick-up itu dipandang tidak dibenarkan menurut fatwa MUI Jawa Timur. Larangan tersebut didasarkan pada ketentuan fikih yang mensyaratkan bahwa pengambilan sel reproduksi, baik sperma maupun ovum, harus dilakukan dalam ikatan pernikahan yang sah.
“Dalam pandangan fikih mazhab Syafi’i, kehormatan sperma dan sel telur terkait langsung dengan status pernikahan pada saat pengambilannya,” ujar KH Ma’ruf, Senin (29/12/2025) di laman media sosial miliknya, saat menyampaikan hasil diskusi tersebut.
Ia menjelaskan bahwa pendapat itu merujuk pada pandangan ulama Syafi’iyah yang menegaskan bahwa status kehalalan sperma ditentukan pada saat dikeluarkan. Jika pengambilan dilakukan di luar ikatan pernikahan, maka proses pembuahan selanjutnya dinilai tidak memenuhi syarat syar’i, meskipun dilakukan setelah menikah.
Pandangan tersebut diperkuat dengan kaidah fikih yang menempatkan urusan nasab dan kehormatan sebagai aspek yang harus dijaga secara ketat. Sejumlah literatur klasik juga menekankan kehati-hatian dalam praktik yang berpotensi menimbulkan kerancuan status hukum reproduksi.
Dalam forum yang sama, Syekh Dr. Ahmad Mamduh, salah satu pimpinan fatwa Darul Ifta’ Al-Mishriyyah, menyatakan kecenderungannya pada prinsip dasar fikih bahwa hukum asal urusan kemaluan adalah terlarang, kecuali terdapat akad pernikahan yang sah. Prinsip tersebut selama ini menjadi pijakan utama dalam fatwa-fatwa terkait pernikahan dan keturunan.
Namun, Syekh Mamduh juga mengungkapkan bahwa sebagian ulama di Mesir mengambil pendekatan berbeda. Melalui metode istislahi atau pertimbangan kemaslahatan, mereka membolehkan pengambilan sel telur sebelum menikah dengan alasan menjaga peluang perempuan untuk memiliki keturunan, terutama dalam konteks perempuan yang menunda pernikahan karena pendidikan atau karier.
Perbedaan pandangan ini, menurut KH Ma’ruf, menunjukkan adanya tantangan baru dalam penetapan fatwa di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan sosial. “Di sinilah diperlukan kehati-hatian agar fatwa tetap berpegang pada prinsip syariat sekaligus memahami realitas yang dihadapi umat,” katanya.
Diskusi tersebut berlangsung dinamis dengan melibatkan para ulama dan aktivis Lajnah Bahtsul Masail dari berbagai daerah. Selain isu sel telur, sejumlah peserta juga memanfaatkan forum tersebut untuk mengonfirmasi fatwa lain kepada Darul Ifta’ Mesir, termasuk persoalan bunga bank.
Forum ilmiah itu menjadi bagian dari pelatihan fatwa yang digelar di Kampus KH Abdul Chalim, sekaligus menegaskan pentingnya dialog lintas otoritas keilmuan dalam merespons persoalan-persoalan keagamaan kontemporer yang semakin kompleks.
Pertemuan ilmiah itu ditutup dengan apresiasi kepada pimpinan Kampus KH Abdul Chalim Pacet, termasuk Dekan Dr. Farida Ulvi N. dan Gus Fathul Qodier, mantan anggota Darul Ifta’, yang memfasilitasi forum diskusi lintas otoritas keilmuan tersebut. (*)
Kontributor: Tommy
Editor: Abdel Rafi



