Tuesday, April 16, 2024
HomeGagasanAnies Di Persimpangan Jalan Reklamasi

Anies Di Persimpangan Jalan Reklamasi

 

Kisah proyek reklamasi Teluk Utara Jakarta tak pernah berujung. Bagi warga Jakarta, reklamasi dan Anies Bawesdan kerapkali disebut dalam satu tarikan nafas. Seolah-olah keduanya bisa bertukar tempat tanpa penyelesaian akhir. Babak anyar kisah reklamasi baru saja kembali dimulai. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang memutus perkara No. 24/G/2019/PTUN.Jkt tanggal 9 Juni 2019 telah membatalkan Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan nomor 1409 Tahun 2018 tentang pencabutan izin reklamasi. Majelis Hakim PTUN beralasan karena SK tersebut diterbitkan sebelum izin PT Taman Harapan Indah berakhir.

Dalam petikan amar putusan Majelis disebutkan bahwa:

“Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya. Menyatakan batal keputusan tergugat berupa Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1409 Tahun 2018 tanggal 6 September 2018 khusus sepanjang menyangkut Pencabutan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus lbukota Jakarta No 2637 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau H kepada PT Taman Harapan Indah,”

“Mewajibkan tergugat untuk memproses izin perpanjangan Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 2637 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau H Kepada PT Taman Harapan Indah sesuai peraturan yang berlaku.”

Bagi Anies, putusan PTUN itu bukanlah lonceng kematian. Dia pun melakukan perlawanan mengajukan upaya hukum banding. Tekadnya, perlawanan akan terus dilakukan hingga upaya hukum paling anyar lantaran selain alasan bertentangan dengan sejumlah peraturan, reklamasi adalah taruhan bagi dirinya selaku Gubernur DKI Jakarta. Dia terlanjur menorehkan janji kepada warga Jakarta dalam visi misi yang disampaikan saat kampanye pilkada Gubernur DKI Jakarta, November 2016 silam. Dia berjanji akan menghentikan proyek reklamasi. Dalam janjinya tempo hari itu, reklamasi teluk Jakarta harus dihentikan karena 2 sebab. Pertama, akan mengurangi wilayah kelola nelayan tradisional dan memperparah pencemaran. Kedua, banjir Jakarta akan kian parah karena reklamasi akan menghilangkan fungsi daerah tampungan sehingga memperbesar aliran permukaan.

Maka tak ayal, selepas dilantik sebagai Gubernur, dia segera merealisasikan komitmen janjinya itu. Juni tahun lalu, Anies mencabut izin prinsip dan pelaksanaan proyek pembangunan 13 pulau buatan yang dikembangkan swasta termasuk rencana reklamasi pulau H milik PT. Taman Harapan Indah. Sedangkan 4 pulau lainnya akan dimanfaatkan untuk kepentingan publik. Sebagai payung hukumnya Pemprov DKI telah menerbitkan Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Perda ini mengatur pemulihan wilayah teluk Jakarta, terutama pada aspek perbaikan kualitas air sungai, pelayanan air bersih, pengelolaan limbah dan antisipasi penurunan air tanah. Lewat Perda itu takkan ada lagi kawasan ekslusif. Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil tidak akan lagi bisa dijadikan ruang privat. Akses bagi masyarakat terhadap pemanfaatan pulau-pulau tersebut akan lebih terbuka.

Ternyata Perda itu belum dijalankan dan berdampak optimal dalam menuntaskan masalah reklamasi. Perda itu pula belum berdampak bagi nelayan dan masyarakat pesisir teluk Jakarta. Kesannya, Anies abai melibatkan civil society terutama nelayan pesisir selaku stakeholder yang mesti diberi peran lebih besar. Tampaknya dia terlena hanya fokus pada bagaimana memenuhi hak publik agar bisa menikmati infrastruktur yang sudah terlanjur ada dari pembangunan reklamasi. Dalam benaknya, bagaimana pun caranya warga mesti bebas punya akses langsung menikmati sarana-sarana yang sudah terlanjur terbangun.

Apakah Anies salah? Tentu tidak. Tapi manfaat reklamasi bukan cuma sebatas itu. Fungsi utama reklamasi adalah mengembalikan fungsi Teluk Jakarta sebagai kawasan produktif perikanan. Kawasan di mana ribuan nelayan bisa meningkatan produktivitas tangkapan ikan sehingga mampu memberikan suplus perikanan bagi kebutuhan masyarakat di DKI Jakarta dan sekitarnya. Terutama dalam hal peningkatan ketahanan pangan non daging. Menurut data Suku Dinas Ketahanan Pangan Kelautan dan Pertanian (KPKP) DKI Jakarta konsumsi ikan di DKI Jakarta masih terlalu rendah di bawah indeks nasional. Pada tahun 2017, indeks nasional konsumsi ikan sudah 45 kilogram per kapita. Konsumsi warga Jakarta hanya 38 kilogram per kapita. Tentu kampanye pola konsumsi ikan sebagai pengganti daging yang digalakan Pemprov DKI Jakarta takkan kena sasaran apabila tak dibarengi dengan stok yang cukup.

Dalam bacaan saya, Anies luput memenuhi hal itu. Padahal sektor itu bisa digarap simultan. Pengarapan zona khusus nelayan ini mesti dimulai secara berkesinambungan ketika moratorium reklamasi dieksekusi. Targetnya, sebagai upaya mengembalikan Teluk Jakarta menjadi kawasan penting perikanan di Indonesia. Anies bisa menggunakan payung hukum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2010. Putusan itu menegaskan hak nelayan dan seluruh masyarakat pesisir dalam memiliki, memanfaatkan dan mengelola sumberdaya perikanan. Dengan payung hukum itu, segala rencana dan implementasi reklamasi utara Jakarta mesti menempatkan nelayan sebagai pemain utama dan bukan sebaliknya. Nelayan Teluk Jakarta bisa mengawal dan terlibat langsung dalam prosesnya.

Kenapa nelayan mesti dilibatkan sebagai garda terdepan? Ternyata, mayoritas nelayan yang menjadi korban reklamasi tetap saja termarjinalkan kehidupannya. Moratorium reklamasi yang tengah dijalankan Anies ternyata tetap saja tak membuahkan produktivitas nelayan meningkat. Dalam studi Antik Bintari, dan Talolo Muara, yang dipublikasikan Universitas Padjajaran, April 2018, terdapat beberapa temuan terkait sebab adanya potensi konflik bawaan akibat reklamasi utara Jakarta. Pertama, masyarakat Muara Angke pada umumnya tidak mengetahui apakah maksud, tujuan, dan dampak reklamasi bagi masyarakat terutama masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan yang mencari ikan di Pantai Utara Jakarta. Kedua, masyarakat terdampak tampaknya juga tidak dilibatkan dalam pembahasan tentang reklamasi, tetapi yang diikutkan hanya  kapal dan segelintir tokoh masyarakat yang tak bermukim di sana.. Nelayan kebanyakan hanya merasakan dampak reklamasi terhadap hasil tangkapan mereka tetapi yang turun drastis tapi tidak mengetahui apa yang hendak dilakukan.

Bercermin pada kedua realitas yang belum optimal tergarap itu, seyogianya dalam memori upaya hukumnya, Anies juga memasukan pertimbangan di luar aspek juridis formal. Terutama lebih mengedepankan porsi keterpihakan pada pemenuhan hak-hak masyarakat pesisir ketimbang mengotak-atik hal ihwal juridis formal semata. Mengaitkan dalil juridis formal dengan pemenuhan hak-hak masyarakat adalah pekerjaan jamak dilakukan oleh kalangan penegak hukum. Kombinasi keduanya justru akan memperkaya khasanah memori upaya hukum sebagai bahan memenangkan sengketa. Sebab, belajar dari putusan banding PTUN sebelumnya yang membatalkan pencabutan izin reklamasi Pulau F, G, I dan K dalil Pemprov DKI Jakarta seolah tak berubah. Terpaku pada bahasan aspek juridis formal semata.

Hal penting lainnya, semestinya Anies tegas sedari awal. Bahwa pencabutan izin reklamasi berlaku untuk selurunya dan bukan hanya 13 pulau saja karena alasan seluruh pulau reklamasiitu dari awal memang sudah bermasalah dan cacat hukum serta mematikan sendi-sendi kehidupan warga pesisir. Penegasan ini berlaku untuk semua pulau reklamasi dimaksudkan agar menutup celah (hole) kelak tak ada lagi pengembang yang melakukan gugatan serupa. Adanya putusan pengadilan yang membatalkan pencabutan izin reklamasi dapat dijadikan jurisprudensi dalam memutus perkara sengketa yang diajukan pengembang. Pengembang yang terkena moratorium pasti akan memanfaatkan celah adanya jurisprudensi itu dan berpotensi memenangkan gugatan.

Kembali pada putusan pengadilan PTUN yang sudah diketok hakim. Pertanyaan selanjutnya, apakah Anies mesti menaati putusan tersebut? Penerapan hukum berlaku asas legalitas. Kendati, putusan PTUN membatalkan SK Gubernur yang diterbitkan sebelumnya tetap dinyatakan SK dimaksud tetap berlaku. Sesuai pasal 116 ayat (2) UU 51/2009 tentang Perubahan Keduatan Atas UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, disebutkan adanya upaya hukium banding maka putusan Majelis Hakim PTUN dianggap belum berkekuatan hukum tetap dan belum dapat dieksekusi. Tenggat waktu berlaku eksekusi bila sudah berkekuatan hukum tetap dan mengikat. SK Pencabutan izin yang sudah diterbitkan bagi pengembang masih tetap berlaku. selama masih ada upaya hukum lain. Putusan perkara No. 24/G/2019/PTUN.Jkt tersebut belum berkekuatan hukum tetap dan mengikat. Rupanya, jalan terjal berliku masih mewarnai babak akhir reklamasi .Anies masih mesti bersabar untuk dapat mewujudkan janjinya dan tidur nyenyak.

JAKARTA, 31 Juli 2019

 

ANDI W. SYAHPUTRA

Direktur Eksekutif Government Watch (GOWA)

RELATED ARTICLES

Most Popular