
Surabaya, – “Salah satu masalah dan tantangan yang dihadapi oleh keluarga di Indonesia di tengah modernitas saat ini adalah tingginya angka perceraian khususnya pada pasangan muda,” ujar Ketua Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKK) PWNU Jawa Timur, Isa Anshori dalam webinar bertajuk “Refleksi Gerakan Keluarga Maslahah: Antara Tradisi dan Modernitas” yang dibuka secara daring oleh Wakil Ketua PWNU Jatim KH Abdul Hamid Wahid dari Tanah Suci, pada Senin (30/12/2024) malam.
Isa Anshori menyebutkan bahwa pada tahun 2023 saja, kasus perceraian di Indonesia telah mencapai 463.654 kasus, dengan mayoritas perceraian merupakan cerai gugat yang diajukan oleh pihak istri.
“Ini tentu memprihatinkan. Padahal sebagian besar pasangan muda yang sudah berkeluarga ini belum memiliki kesiapan membangun rumah tangga yang matang. Pemahaman tentang hakikat pernikahan yang minim ini kerapkali menjadi sumber permasalahan,” kata Isa Anshori saat memaparkan data BPS dalam webinar yang mengundang ahli fiqih, ahli uroginekologi, dan ahli komunikasi, serta dihadiri aktivis LKKNU se-Jatim itu.
Karena itulah, Koordinator Bidang Moderat PW LKKNU Jatim, Nyai Nurun Sariyah mengatakan bahwa penting sekali memberikan edukasi pada generasi milineal atau Gen-Z khususnya mengenai cara mengatasi konflik keluarga dari sisi fiqih atau hukum dan itu menjadi tugas LKKNU.
“Caranya bisa disesuaikan sehingga generasi milineal atau Gen-Z lebih mudah menerima dan tidak terasa berat, seperti melalui grafis atau video. Kontennya ya mengenai pentingnya nilai-nilai Islam Aswaja An-Nahdliyah dalam rumah tangga. Ini penting karena NU juga sangat mementingkan nilai-nilai toleran, ukhuwah, dan kemaslahatan bersama,” kata wanita dari Pesantren Syafi’iyah Banyuwangi itu.
Nyai Nurun Sariyah memaparkan bahwa dalam pendekatan Fikih setidaknya ada 5 prioritas dalam membina suatu rumah tangga. Kelima hal tersebut adalah:
- Rahmah (kasih sayang),
- Akhlak (hubungan baik antar-anggota keluarga),
- Tauhid (kehambaan utama pada Allah tanpa ada dominasi anggota keluarga tertentu),
- Khalifah fil ardli (tanggung jawab kemanusiaan, seperti lingkungan), dan
- Maqashid syari’ah (menjaga jiwa/ilmu dan raga/harta untuk bekal kehidupan)
Terkait pentingnya edukasi bagi generasi muda dalam rangka membangun keluarga maslahah terutama mengenai Kesehatan Reproduksi Perempuan, juga dipaparkan oleh pembicara berikutnya yakni Prof. Dr. Eighty Mardiyan K., dr., Sp.OG.SubSp.Urogin-RE (K). Hal tersebut menjadi penting, lanjutnya, mengingat, terdapat data misalnya pada tahun 2015 ada 305 ibu meninggal dunia dari setiap 100.000 kelahiran.
“Dalam upaya mewujudkan Keluarga Maslahah, peran seorang ibu itu penting. Hal ini mengingat kebersamaan seorang ibu dengan anak-anak itu penting. Jika ibu tidak sehat, maka mustahil hal itu terjaga. Karenanya, edukasi tentang kesehatan reproduksi perempuan jadi penting. Organ reproduksi perempuan itu rentan, karena itu harus sehat, yakni vagina, rahim, saluran telur, payudara,” paparnya.
Sementara, mengenai fenomena turunnya pernikahan di kalangan milineal dan Gen-Z, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga itu mengatakan bahwa hal itu lebih dikarenakan faktor menunda.”Saya kira karena penundaan, misalnya nunggu beli rumah,” tandasnya.
Sementara itu, pembicara lainnya yaitu Dewi Quraisyin dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM) menyoroti pentingnya aspek komunikasi dalam upaya untuk menumbuhkan adanya kasih dalam suatu biduk rumah tangga. “Karena tujuan pernikahan itu bukan sebatas tujuan agama, bahkan Islam menyebut tiga tujuan yakni sakinah atau ketenangan jiwa, mawaddah atau saling cinta/memberi, dan rahmah atau kasih sayang,” papar perempuan pakar komunikasi itu.
Karena itu, lanjut doktor komunikasi itu, untuk mendapatkan ketenangan jiwa, rasa saling cinta atau memberi, dan kasih sayang dalam suatu rumah tangga kuncinya adalah komunikasi. Dimana, lanjutnya, komunikasi yang solutif adalah yang mampu memahami orang lain dan memiliki ketrampilan untuk mendengarkan.
“Laki-laki itu butuh dihormati, dihargai, dan ditaati, sedangkan perempuan itu butuh dicintai, disayangi, dan dilindungi. Itu fitrah yang harus dipahami. Ketrampilan mendengarkan juga solusi penting, bahkan 70 persen komunikasi itu mendengarkan, bukan bicara. Nah, digital itu masalah besar yang perlu pembatasan untuk jalannya komunikasi,” paparnya.
Mengenai pentingnya komunikasi yang dialogis dan berkeadilan itu ditekankan pula oleh aktivis Fatayat NU Jatim dan Penasehat Fatayat NU Bondowoso Nur Diana Khalidah. Karena menurutnya, adanya regulasi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan itu bukanlah perbedaan. “Bukan perbedaan saya kira melainkan keadilan hakiki yang bersumber dari perbedaan biologis dari Sang Pencipta,” kata perempuan yang juga anggota PUG dan tim KLA Bondowoso itu.
Ia menambahkan bahwa Nabi Muhammad SAW juga berjuang selama kurang lebih 23 tahun untuk membebaskan perempuan dari ketidakadilan dan itu menjadi perbedaan yang hakiki dan karenanya LKKNU, lanjutnya perlu untuk tidak hanya melalui webinar tapi diperluas melalui pemanfaatan saluran digital lainnya sehingga edukasinya lebih meluas diterima oleh khalayak atau publik.
“Soal seperti ini penting diberikan edukasi dan tidak bisa hanya melalui webinar saja. Saya kira LKKNU juga perlu memberikan edukasi yang khas generasi milineal atau Gen-Z. Yah misalnya lewat podcast atau platform lain,” tandas perempuan lulusan Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta dan Pasca Sarjana UNUJA Paiton Probolinggo itu.
(rils/rafel)