
JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Capaian kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang hampir menyeluruh belum sepenuhnya berbanding lurus dengan mutu dan rasa aman pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Hingga Juli 2025, kepesertaan JKN tercatat mencapai 280,7 juta jiwa atau sekitar 98,7% penduduk Indonesia. Namun, angka tersebut dinilai masih lebih mencerminkan keberhasilan administratif ketimbang jaminan layanan kesehatan yang benar-benar dirasakan warga.
Ketua Umum REKAN Indonesia Agung Nugroho menyatakan, refleksi akhir tahun menunjukkan bahwa Universal Health Coverage (UHC) di Indonesia belum sepenuhnya bertransformasi menjadi universal care atau layanan kesehatan yang merata, cepat, dan manusiawi.
“Negara memang berhasil mencatat hampir seluruh penduduk sebagai peserta JKN. Tetapi di lapangan, kartu kepesertaan belum selalu berarti pertolongan yang nyata,” kata Agung dalam keterangannya, Jumat (26/12/2025).
Dari total peserta JKN tersebut, sekitar 225,3 juta jiwa berstatus aktif. Artinya, hampir seperlima penduduk Indonesia berada dalam kondisi terdaftar tetapi tidak terlindungi secara efektif. Banyak warga baru mengetahui status kepesertaan tidak aktif ketika sudah membutuhkan pelayanan medis.
Kondisi itu diperparah oleh keterbatasan dan ketimpangan tenaga kesehatan. Indonesia saat ini memiliki sekitar 216.132 dokter dengan rasio 0,76 dokter per 1.000 penduduk, masih di bawah target nasional 0,8. Distribusinya pun tidak merata. DKI Jakarta mencatat rasio 2,53 dokter per 1.000 penduduk, sementara Papua Barat hanya sekitar 0,02.
“Peluang untuk hidup sehat masih sangat ditentukan oleh lokasi geografis. Ketimpangan ini membuat akses layanan kesehatan belum setara bagi seluruh warga negara,” ujar Agung.
Di tingkat fasilitas pelayanan, persoalan klasik masih terus berulang. Antrean panjang di poliklinik, keterbatasan layanan penunjang seperti radiologi, hingga kekosongan obat esensial di puskesmas masih banyak ditemui. Padahal, beban layanan JKN sangat besar, dengan total kunjungan mencapai sekitar 673,9 juta pada 2024.
Menurut Agung, kondisi tersebut menunjukkan bahwa sistem pelayanan kesehatan primer belum sepenuhnya siap berfungsi sebagai pintu depan layanan kesehatan yang efektif, sehingga rujukan berlapis ke rumah sakit sulit dihindari.
Masalah pembiayaan juga menjadi sumber kegelisahan. BPJS Kesehatan masih menghadapi tekanan finansial akibat beban klaim yang melebihi iuran. Di sisi lain, masyarakat terutama kelompok miskin, masih harus menanggung berbagai biaya non-medis, seperti transportasi, akomodasi, dan obat yang tidak dijamin.
“Bagi banyak keluarga, sakit bukan hanya persoalan medis, tetapi juga ancaman kehilangan penghasilan,” kata Agung.
Sepanjang 2025, sejumlah kasus pelayanan kesehatan kembali menjadi sorotan publik. Di Batam, seorang anak peserta BPJS Kesehatan dilaporkan meninggal dunia setelah dipulangkan karena keluarga tidak mampu menanggung biaya tambahan. Di Jayapura, pasien gawat darurat diduga ditolak oleh beberapa rumah sakit sebelum akhirnya meninggal dunia. Ombudsman RI menilai penolakan pasien sebagai bentuk maladministrasi.
Namun, menurut Agung, istilah administratif tersebut tidak cukup menggambarkan dampak kemanusiaan yang ditimbulkan. “Bagi keluarga korban, yang hilang bukan sekadar hak pelayanan, melainkan nyawa,” ujarnya.
Dari sisi hasil kesehatan, tantangan juga masih besar. Angka stunting memang menunjukkan penurunan, tetapi jutaan balita masih tumbuh dalam kondisi kekurangan gizi. Angka kematian ibu belum sepenuhnya mencerminkan rasa aman perempuan saat melahirkan. Kepesertaan JKN, kata Agung, belum otomatis menjamin keselamatan di ruang bersalin.
REKAN Indonesia menilai, refleksi akhir tahun seharusnya menjadi momentum untuk menggeser orientasi kebijakan kesehatan. Universal Health Coverage tidak boleh berhenti sebagai capaian statistik, melainkan harus diwujudkan sebagai pengalaman layanan yang adil dan manusiawi.
“Memasuki 2026, pertanyaan negara seharusnya bukan lagi berapa banyak peserta JKN, tetapi berapa banyak nyawa yang berhasil diselamatkan,” kata Agung.
Selama masyarakat masih merasa cemas ditolak rumah sakit atau takut tidak mampu menanggung biaya ketika sakit, ia menilai kehadiran negara di sektor kesehatan belum sepenuhnya dirasakan.
“Bangsa ini belum benar-benar sehat selama rakyatnya masih takut untuk sakit,” ujarnya.(*)
Editor: Abdel Rafi



