Monday, December 22, 2025
spot_img
HomeInternasionalDiplomasi Urban dan Peran Menlu RI

Diplomasi Urban dan Peran Menlu RI

“Para pemimpin Tiongkok telah memanfaatkan kekuatan diplomatik, militer, dan ekonomi untuk menjaga keamanan negara yang rapuh ini di dunia yang penuh permusuhan.” -Sulmaan Wasif Khan (45) dalam Haunted by Chaos (2023)-

Diplomasi urban adalah konsep mutakhir yang menekankan peran kota sebagai aktor penting dalam hubungan internasional.

Antonios M. Karvounis dalam City Diplomacy: An Introduction (2024) menegaskan bahwa kota-kota kini memiliki perangkat diplomasi sendiri dan memainkan peran vital dalam menjawab isu global, mulai dari migrasi, kerjasama ekonomi, hingga mitigasi bencana.

Ia mengatakan bahwa. “Kota-kota telah menjadi aktor penting di panggung dunia, mereka telah mengembangkan aparatus diplomatik dan memainkan peran penting dalam mengamankan masa depan yang berkelanjutan di berbagai isu global utama.”

Refleksi ini menjadi relevan ketika menilai kinerja Menteri Luar Negeri Sugiono, anak angkat Presiden Prabowo, yang dalam hampir lebih dari setahun menjabat tidak pernah tampil dengan pidato publik mengenai perkembangan mutakhir politik luar negeri.

Sebaliknya, ia lebih banyak menggunakan media sosial Instagram untuk memamerkan foto tanpa suara, tanpa narasi kebijakan, sehingga publik dan komunitas diplomatik internasional kehilangan arah komunikasi resmi dari kementerian luar negeri.

Dino Patti Djalal (62), PhD, London School of Economics and Political Science (LSE), Master dari Simon Fraser University (Kanada) dan menjabat sebagai Ketua Organisasi Diplomat Internasional, melalui laman X (Twitter) menyoroti empat kritik utama terhadap Menlu Sugiono.

Pertama, absennya komunikasi publik yang konsisten. Kedua, lemahnya inisiatif diplomasi dalam menjawab isu regional. Ketiga, gaya kepemimpinan yang lebih berorientasi pada citra personal ketimbang substansi kebijakan. Keempat, penggunaan fasilitas mewah seperti mobil dinas Ferrari yang menimbulkan kesan tidak profesional dan jauh dari etos pelayanan publik.

Kritik ini memperlihatkan jurang antara ekspektasi masyarakat terhadap seorang Menlu dengan kenyataan kinerja yang melempem.

Jika ditilik dalam kerangka literatur mutakhir, kelemahan ini semakin jelas dengan merujuk antara lain: Sulmaan Wasif Khan (45), profesor sejarah internasional di Tufts University, Massachusetts, Amerika Serikat, dalam Haunted by Chaos (2023) menunjukkan bagaimana kebijakan luar negeri Tiongkok dibentuk oleh ketidakpastian dan ancaman regional, yang menuntut respons diplomasi yang tangkas dan visioner.

Chris Miller (41), dalam Chip War: The Fight for the World’s Most Critical Technology (2022), menegaskan bahwa perebutan teknologi semikonduktor adalah arena baru geopolitik yang menuntut keterlibatan aktif para Menlu dalam membangun strategi nasional.

Kini, menurut profesor di Tufts University dan nonresident senior fellow di American Enterprise Institute, computingpower (chip) menjadi faktor penentu dalam rivalitas global.

Diplomasi internasional berkualitas harus mampu mengelola perebutan kekuasaan digital ini, bukan sekadar hubungan tradisional antarnegara

Namun, dalam konteks Indonesia, Menlu Sugiono justru gagal menampilkan kepemimpinan yang mampu mengantisipasi isu-isu strategis seperti migrasi tenaga kerja ke Cina, kerjasama ekonomi lintas kota, maupun penanggulangan bencana banjir besar yang membutuhkan diplomasi urban sebagai pendekatan baru.

Diplomasi urban menuntut seorang Menlu untuk tidak hanya berfokus pada hubungan antarnegara, tetapi juga membangun jejaring antar kota, pusat industri, dan komunitas transnasional.

Ketika Menlu absen dari panggung publik dan lebih sibuk dengan citra personal, maka diplomasi Indonesia kehilangan momentum untuk beradaptasi dengan tren global.

Kritik Dino Patti Djalal bukan sekadar serangan personal, melainkan refleksi atas kebutuhan mendesak untuk mengembalikan profesionalisme diplomasi Indonesia.

Dalam era di mana kota-kota menjadi aktor global, teknologi menjadi arena perebutan kekuasaan, dan ketidakpastian regional menuntut respons cepat, kinerja Menlu yang melempem adalah kemunduran yang nyata.

Apabila diplomasi urban dijadikan kerangka kerja, maka peran Menlu seharusnya menjadi penghubung antara birokrasi pemerintahan internal dengan jejaring kota dan negara sahabat.

Tanpa itu, Indonesia akan tertinggal dalam percaturan global.

Kritik yang muncul dari Dino dan literatur mutakhir menunjukkan bahwa diplomasi Indonesia membutuhkan revitalisasi, bukan sekadar pameran foto tanpa suara di IG Menlu, melainkan kepemimpinan yang berani, komunikatif, dan visioner.

#coversongs: Hymns of Diplomacy adalah sebuah track karya Jon of the Shred alias Jonathan Reilly (40), musisi multi-instrumentalis asal Worcester, Massachusetts, Amerika Serikat.

Makna karya ini berhubungan dengan atmosfer musik eksperimental yang menyoroti ketegangan, negosiasi, dan nuansa “ritual” dalam diplomasi, seolah diplomasi itu sendiri adalah sebuah himne atau liturgi yang penuh simbol dan kekuatan tersembunyi.(*)

REINER EMYOT OINTOE

Fiksiwan

RELATED ARTICLES

Sanad ‘Tarekat’ PUI

Wasiat Terlalu Sinematik

Pil Hasrat

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular