Friday, December 19, 2025
spot_img
HomePendidikanPsikologiMemulihkan Luka Anak Penyintas Galodo Agam Lewat Pendampingan Psikososial

Memulihkan Luka Anak Penyintas Galodo Agam Lewat Pendampingan Psikososial

Tim Tim Tanggap Darurat Bencana Universitas Airlangga saat melakukan pendampingan psikososial pada anak-anak korban bencana Sumatera di Jorong Limo Badak, Kecamatan Malalak, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Selasa (16/12/2025). (foto: Unair for Cakrawarta)

SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Bagi anak-anak, bencana bukan sekadar peristiwa alam, melainkan pengalaman yang dapat meninggalkan luka psikologis berkepanjangan. Ketergantungan pada orang dewasa serta keterbatasan mereka dalam memahami dan mengendalikan situasi membuat anak menjadi kelompok paling rentan ketika bencana terjadi.

Kondisi tersebut tampak pasca bencana galodo, istilah Minangkabau untuk banjir bandang, dan tanah longsor yang melanda sejumlah wilayah di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Di Jorong Limo Badak, Kecamatan Malalak, sejumlah anak harus menghadapi pengalaman traumatis, bahkan sebagian di antaranya menyaksikan langsung derasnya banjir bandang dan runtuhan tanah.

Situasi itu mendorong Tim Tanggap Darurat Bencana Universitas Airlangga (UNAIR) memberikan pendampingan psikososial kepada anak-anak penyintas. Pendampingan dilakukan secara bertahap dan berhati-hati, menyesuaikan kondisi emosional anak-anak yang sebagian besar masih berusia taman kanak-kanak hingga sekolah dasar.

Pada Selasa (16/12/2025), salah satu anggota tim, Rizqy Tasnima Fadhilah, memberikan pendampingan melalui pendekatan edukasi interaktif. Menurut Dhila -sapaan akrabnya- banyak anak masih menyimpan ingatan kuat tentang peristiwa bencana yang mereka alami.

“Ketika kami datang, adik-adik ini banyak bercerita tentang kejadian yang mereka lalui. Bahkan ada yang menyaksikan langsung banjir bandang dan tanah longsor itu,” ujarnya, Kamis (18/12/2025).

Untuk mencegah munculnya pemicu trauma, pendampingan dilakukan tanpa menyinggung langsung peristiwa bencana. Anak-anak diajak bermain dan mengikuti aktivitas menyenangkan agar mereka merasa aman dan nyaman di tengah situasi yang masih rawan bencana susulan.

“Karena masih ada potensi banjir dan longsor susulan, kami menghindari pembahasan langsung tentang bencana. Pendekatannya lewat permainan yang bersifat fun,” kata Dhila.

Alumni Magister Manajemen Bencana UNAIR yang juga fasilitator Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) itu menegaskan bahwa edukasi kebencanaan yang bersifat teknis sebaiknya diberikan setelah kondisi psikologis anak benar-benar pulih.

“Kalau masih terlalu dini dan langsung bicara soal banjir dan longsor, justru bisa memicu trauma. Edukasi itu lebih tepat dilakukan ketika anak-anak sudah lebih siap secara mental,” ujarnya.

Berkaca dari kondisi anak-anak di Limo Badak, Dhila menilai edukasi mitigasi bencana perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah dan pemangku kebijakan, khususnya di sektor pendidikan. Ia mendorong agar pendidikan kebencanaan menjadi bagian dari kurikulum sekolah.

“Masih banyak sekolah yang belum menganggap pendidikan kebencanaan sebagai kebutuhan. Padahal melalui program Satuan Pendidikan Aman Bencana, edukasi mitigasi bisa diperkuat sejak dini,” katanya.

Menurut Dhila, pemahaman dasar mitigasi bencana penting agar anak-anak memiliki pengetahuan awal tentang langkah yang harus dilakukan ketika bencana terjadi.

Pendampingan psikososial bagi anak penyintas galodo ini juga sejalan dengan SustainableDevelopmentGoals (SDG), khususnya tentang Pendidikan Berkualitas. Edukasi interaktif yang menyenangkan tetap membuka ruang belajar yang inklusif meski anak-anak berada dalam situasi pasca bencana.

Selain itu, kegiatan tersebut turut mendukung SDG tentang Kota dan Komunitas Berkelanjutan, dengan memperkuat ketahanan psikologis anak sebagai bagian dari upaya membangun komunitas yang lebih tangguh di wilayah rawan bencana.(*)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular