
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Mereka wajib menegakkan keadilan dan mencegah kezaliman, serta menjadi penengah antara penguasa dan rakyat.”
(Ibnu Taimiyah (1263-1328), Siyasah Syari’ah: Prinsip dan Dasar Pemerintahan Islam (2000)).
Memilih ulama bukan sekadar memilih sosok yang fasih dalam retorika agama, melainkan memilih penjaga akal dan nurani umat di tengah derasnya arus peradaban yang kian materialistik.
Dalam konteks Musyawarah Pemilihan Majelis Ulama Indonesia(MUI) Sulawesi Utara, dan terpilihnya Prof. Dr. H. Nazaruddin Yusuf, M.Ag(56), alumnus Pondok Modern Darussalam Gontor, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sulawesi Utara(2020-2024) serta kini guru besar dosen IAIN Manado -selain menandai peran dan fungsi ulama lokal- masih menyisakan pertanyaan mendasar bukan hanya siapa yang akan duduk di kursi kepemimpinan ulama?
Akan tetapi, bagaimana memastikan bahwa yang terpilih -ulama untuk umat- adalah mereka yang mampu menuntun umat melewati zaman yang penuh turbulensi epistemik dan moral seturut debut zaman yang deras dengan tantangan glorifikasi dari era glokalisasi digital.
Era glokalisasi digital telah ikut mengubah secara pesat wajah peradaban Islam. Informasi berseliweran tanpa kendali, otoritas keilmuan tergerus oleh popularitas, dan kebenaran sering kali dikalahkan oleh viralitas.
Dalam situasi seperti ini, ulama dituntut bukan hanya sebagai pewaris ilmu Nabi, tetapi juga sebagai penjaga integritas ruang publik Islam global yang nyaris kehilangan sekat-sekat akidah dan syariat penuntun.
Mereka harus mampu menjadi jembatan antara teks dan konteks, antara wahyu dan realitas, antara tradisi dan transformasi akbar seperti apa yang diutarakan Carl W. Ernst (75), Profesor Emeritus Studi Islam di University of North Carolina at Chapel Hill, dalam seperti Following Muhammad: Rethinking Islam in the Contemporary World (2003; Mizan 2016).
Namun, krisis keteladanan ulama dalam pergulatan dunia kontemporer hari ini tak bisa disangkal. Banyak dari para ulama yang terjebak dalam pusaran politik praktis, menjadi alat kekuasaan atau justru terperangkap dalam euforia dukungan umat yang membutakan.
Godaan duniawi, baik berupa kekuasaan, popularitas, maupun materi, telah menggerus marwah keulamaan ke dalam labirin kuasa duniawi.
Dalam situasi seperti ini, umat Islam harus kembali kepada prinsip-prinsip dasar dalam memilih ulama, sebagaimana digariskan, antara lain dalam khazanah fiqih Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Merujuk Ibnu Taimiyah, misalnya dalam As-Siyasah Asy-Syar’iyyah fi Islah ar-Ra’i wa ar-Ra’iyyah, menegaskan bahwa pemimpin umat, termasuk ulama, harus memiliki dua syarat utama yaitu kekuatan (al-quwwah) dan amanah (al-amānah).
Kekuatan mencakup kapasitas intelektual, keberanian moral, dan kemampuan manajerial, sementara amanah mencakup integritas, kejujuran, dan ketulusan dalam mengabdi kepada Allah dan umat.
Ibnu Taimiyah menekankan bahwa tujuan utama kekuasaan dalam Islam adalah menegakkan keadilan dan kemaslahatan umat, bukan sekadar mempertahankan kekuasaan. Ulama, menurutnya, memiliki peran sentral sebagai penjaga moral dan pengarah penguasa agar tetap berada dalam koridor syariat.
Dalam perspektif hukum Islam klasik sebagaimana dijelaskan oleh Noel J. Coulson (1928-1986) dalam Islamic Jurisprudence (1964; Pustaka Firdaus 1990), ulama adalah aktor utama dalam menjaga kesinambungan hukum Islam melalui ijtihad dan fatwa. Namun, ijtihad bukan sekadar kemampuan teknis memahami teks, melainkan juga keberanian untuk menafsirkan realitas dengan nurani yang jernih.
Di lain hal, Ignaz Goldziher (1850-1921) dalam Pengantar Teologi dan Hukum Islam (INIS 1990) dan Josef Schacht (1902-1969) dalam An Introduction to Islamic Law (1964; BI 1986), telah jauh menyoroti bagaimana ulama pada masa klasik memainkan peran sebagai oposisi moral terhadap kekuasaan, bukan sebagai pelengkapnya.
Selain itu, salah satu kutipan penting tentang hakikat dan fungsi ulama dalam Fihi Ma Fihi (2020) dari Jalaluddin Rumi adalah “Ilmu bukanlah apa yang tertulis di lembaran, tetapi cahaya yang menerangi hati.” Kutipan ringkas ini hendak menegaskan bahwa bagi Rumi, ulama sejati bukan hanya mereka yang menguasai teks, tetapi mereka yang mampu menghidupkan ilmu dalam jiwa dan amal.
Fungsi ulama adalah sebagai penerang batin umat, bukan sekadar penghafal hukum atau penjaga tradisi. Mereka harus menjadi jembatan antara pengetahuan dan kebijaksanaan, antara syariat dan hakikat.
Dalam konteks sufisme yang diusung Rumi, ulama ideal adalah mereka yang telah menempuh jalan spiritual, menyucikan hati, dan mampu membimbing umat dengan kelembutan dan kedalaman makna.
Ia mengkritik ulama yang hanya sibuk dengan formalitas ilmu, tetapi kehilangan ruh kasih dan cinta dalam menyampaikan kebenaran. Rumi menyebut mereka sebagai ulama su‘i.
Dengan demikian, ketika ulama hari ini justru berlomba-lomba mendekat ke pusat kekuasaan, kita patut bertanya, apakah mereka masih menjadi suara langit atau hanya gema dari istana?
Krisis ini pun diperparah oleh dominasi peradaban materialistik-kapitalistik yang menjadikan sains dan teknologi sebagai dewa baru dalam menggerus seluruh peradaban Islam kontemporer.
Di sisi ini, kemajuan sains mutakhir dan teknologi informasi telah menciptakan peradaban yang cepat, instan, dan dangkal. Namun, lesat dan pesat meneroka hampir seluruh tabir dan tubuh rohani umat manusia.
Dalam dunia seperti ini, ulama dituntut untuk tidak hanya menguasai kitab kuning, tetapi juga memahami algoritma media sosial, dinamika globalisasi, dan tantangan lintas agama.
Mereka harus mampu berdialog dengan sains tanpa kehilangan ruh wahyu, serta menavigasi umat dalam dunia yang semakin kompleks dan cair.
Solusi dari krisis ini bukan sekadar regenerasi struktural, tetapi juga revolusi epistemologis. Umat Islam harus kembali menempatkan ilmu sebagai fondasi utama dalam memilih ulama. Bukan sekadar melihat gelar atau popularitas, tetapi menilai kedalaman ilmu, keluasan wawasan, dan keteguhan moral.
Ulama harus menjadi teladan dalam kesederhanaan, keberanian dalam menyuarakan kebenaran, dan keteguhan dalam menjaga independensi dari godaan politik dan kapital. Mereka harus menjadi mercusuar di tengah badai zaman, bukan sekadar pelita yang redup di bawah bayang-bayang kekuasaan gemerlap. Dengan kata lain, musyawarah memilih ulama bukanlah seremoni administratif, melainkan momen sakral untuk menentukan arah peradaban umat.
Jika yang terpilih adalah mereka yang hanya pandai berfatwa tetapi tak mampu menjadi teladan, maka yang terjadi bukanlah kebangkitan, melainkan kemunduran dan kemerosotan peradaban. Namun jika yang terpilih adalah mereka yang mampu menjembatani wahyu dan realitas, maka ulama akan kembali menjadi ruh peradaban, bukan sekadar simbol sakralitas keagamaan.
Dalam dunia yang dikuasai oleh kapitalisme yang tak berkeadilan, ulama harus menjadi suara bagi yang tertindas, bukan pelindung bagi yang menindas. Mereka harus menjadi penyeimbang antara kekuasaan dan kebenaran, antara kepentingan dunia dan amanah akhirat.
Memilih ulama berarti memilih masa depan umat. Maka jangan salah pilih. Sebab jika ulama yang dipilih adalah mereka yang kehilangan arah, maka umat pun akan kehilangan kompasnya. Dan dalam dunia yang penuh kabut seperti hari ini, kehilangan kompas adalah awal dari tenggelamnya peradaban.
#coverlagu: Lagu “Ya Nabi Salam Alayka” oleh Maher Zain(44) dirilis pada 30 Oktober 2009 sebagai bagian dari album debutnya Thank You Allah.
Lagu ini menjadi salah satu karya paling ikonik Maher Zain, penyanyi berdarah Lebanon yang menetap di Swedia, menggabungkan nuansa spiritual Islam dengan aransemen musik modern.
Liriknya merupakan bentuk penghormatan dan cinta kepada Nabi Muhammad ﷺ, dan telah dirilis dalam beberapa versi bahasa, termasuk Arab, Inggris, dan Turki.
“Ya Nabi Salam Alayka” sering diputar dalam acara keagamaan, peringatan Maulid Nabi, dan menjadi lagu pembuka dalam banyak konser Maher Zain di berbagai negara. Lagu ini juga berperan besar dalam memperkenalkan genre Islamic pop ke audiens global.(*)
REINER EMYOT OINTOE (ReO)
Fiksiwan



