
Pernahkah Anda menyusuri jalan Kayutangan di Kota Malang pada malam hari? Lampu-lampu temaram menggantung di atas bangku dan meja yang berjajar rapi di tepi jalan. Musik lembut dari kafe berbaur dengan tawa pengunjung. Nuansanya eksotis seolah kita tengah berjalan di boulevard Eropa, bukan di jantung Kota Malang.
Fenomena semacam ini kini menjamur di banyak kota. Dari Malioboro di Yogyakarta, Jalan Tunjungan di Surabaya, Braga di Bandung, hingga sudut-sudut kota lain yang tengah berbenah diri menjadi “kota wisata”. Bangku, meja, dan lampu hias seolah menjadi simbol peradaban kota modern yang ingin tampak hidup dan artistik.
Namun di balik gemerlap lampu dan arus wisatawan, ada pertanyaan sederhana yang patut kita renungkan yakni benarkah mempercantik jalan dengan lampu dan meja lebih berguna daripada menanaminya dengan pepohonan?
Secara kasat mata, menambah elemen dekoratif memang menghadirkan suasana baru. Jalan yang semula biasa saja berubah menjadi destinasi swafoto dan tongkrongan. Tapi, di sisi lain, industri wisata kota sejatinya sangat bergantung pada daya beli masyarakat.
Ketika ekonomi tumbuh, kafe dan kedai di tepi jalan ramai pengunjung. Tapi begitu daya beli menurun, meja-meja kosong, toko-toko dijual, dan lampu-lampu itu hanya menjadi ornamen bisu yang tak lagi menarik. Artinya, keindahan artifisial tidak memiliki daya tahan sosial maupun ekonomi.
Lebih jauh, pola ini seringkali hanya menguntungkan kelompok pemilik modal besar. Di banyak kawasan wisata kota, usaha kuliner yang bertahan biasanya dimiliki oleh investor besar, bukan pelaku UMKM lokal. Kayutangan pun bisa menjadi cermin kecil dari ketimpangan itu, ketika yang semestinya menjadi ruang ekonomi rakyat berubah menjadi panggung eksklusif kapital.
Pohon sebagai Payung Ekologis dan Ekonomi
Sekarang bayangkan jika di sepanjang tepian jalan itu ditanami pohon-pohon rindang seperti trembesi, flamboyan, atau tabebuya. Bayangkan pula pejalan kaki yang bisa berteduh dari panas siang hari tanpa harus bersembunyi di bawah atap toko.
Pohon adalah “infrastruktur alami” yang memberi manfaat jauh melampaui fungsi estetik. Ia meneduhkan, menyerap karbon, menahan limpasan air hujan, dan menjadi rumah bagi berbagai makhluk hidup. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, pepohonan justru menghadirkan keadilan ekologis, sesuatu yang tidak bisa ditawarkan oleh tiang lampu hias mana pun.
Lebih dari itu, pepohonan juga dapat menjadi katalisator keramaian yang lebih inklusif. Di bawah naungan pohon, sering muncul pedagang kaki lima, musisi jalanan, hingga komunitas kecil yang hidup dari interaksi sosial. Ekonomi tumbuh, tapi tidak menyingkirkan siapa pun.
Bandingkan dengan model “lampu dan bangku” yang kerap melahirkan ruang eksklusif, tempat orang datang bukan untuk berinteraksi, tapi untuk berpose dan pergi.
Kita tahu, menanam pohon di tengah kota tidak sepopuler memasang lampu-lampu hias. Kota identik dengan beton, baja, dan keindahan buatan. Sedangkan pohon, dengan segala ketidakteraturannya, dianggap mengganggu citra modernitas. Padahal, di tengah krisis iklim dan bencana ekologis yang semakin nyata, justru pepohonanlah yang menjadi “peradaban yang menyejukkan”.
Bukankah lebih masuk akal jika kota-kota kita menjadi “hutan yang berperadaban”, bukan beton yang kehilangan napas? Bukankah lebih bijak membangun ruang hidup yang ramah bagi manusia dan alam sekaligus, ketimbang terus memuja estetika artifisial yang fana?
Indonesia, dengan matahari yang terik dan curah hujan tinggi, sejatinya ditakdirkan menjadi negeri hijau. Pohon adalah bagian dari identitas ekologis kita. Maka, ketika kota-kota kita semakin panas dan banjir datang silih berganti, barangkali sudah saatnya kita kembali pada kearifan tropis yakni menanam pohon sebagai bagian dari pembangunan, bukan sekadar pelengkap.
Menambah lampu memang mempercantik malam. Tapi menanam pohon akan memperpanjang kehidupan baik bagi manusia, bagi bumi, bagi masa depan.
Mari kita renungkan.
PRAJA FIRDAUS NURYANANDA
Akademisi dan Ketua Pembina Yayasan Abyakta Acitya Bhumi



