Kasus dugaan pencemaran radioaktif Cesium-137 (Cs-137) di kawasan industri Cikande tidak boleh dianggap enteng. Temuan isotop ini pada produk udang bukan sekadar kabar mengejutkan, melainkan peringatan serius bahwa ada sumber radiasi yang lepas dari pengawasan negara. Cs-137 bukan bahan biasa. Ia memancarkan radiasi gamma yang dapat menembus tubuh manusia, mudah larut di air, memiliki paruh waktu hingga tiga dekade, dan mampu masuk ke rantai makanan. Sekali mencemari lingkungan, dampaknya bisa bertahan lintas generasi.
Ada banyak kemungkinan bagaimana isotop ini berakhir di wilayah industri. Skenario yang paling sering terjadi adalah apa yang disebut orphan source: material radioaktif yang hilang kendali, biasanya dari industri atau fasilitas medis, kemudian bercampur ke skrap logam atau baja daur ulang. Dari sana, pencemaran bisa menjalar ke lingkungan, terbawa aliran air, menempel di sedimen, lalu masuk ke organisme air seperti ikan dan udang. “Saya lihat itu memang radiasinya cukup tinggi, tapi sudah mulai dimasukkan ke dalam tong. Namun situ agak terlambat, tapi daripada tidak. Itu sudah dilakukan dan berjalan baik,” ujar Yudi Utomo Imardjoko, ahli nuklir dari Universitas Gadjah Mada, menegaskan bahwa penanganan kasus ini tidak bisa berhenti pada sekadar karantina awal.
Risiko utama dari Cs-137 datang lewat dua jalur: paparan eksternal dari radiasi gamma yang dipancarkan di sekitar sumber, dan paparan internal ketika zat itu masuk ke tubuh lewat makanan, minuman, atau udara. Besarnya risiko kesehatan tidak bisa dijawab dengan klaim “aman” atau “berbahaya” secara umum, melainkan harus diukur lewat data laboratorium: berapa konsentrasi Bq/kg dalam udang atau ikan, dan berapa dosis radiasi yang diserap tubuh (Sievert). Untuk gambaran, standar internasional yang ditetapkan Codex Alimentarius (FAO/WHO) dan IAEA menetapkan batas kontaminasi Cs-137 dalam pangan sebesar 1000 Bq/kg untuk makanan umum, sementara dosis radiasi tahunan yang dianggap aman untuk publik adalah maksimal 1 mSv per tahun. Jika angka ini terlampaui, maka risiko kanker dan penyakit terkait radiasi meningkat signifikan.
Kejadian di Cikande ini tidak boleh dipandang sebagai insiden kecil. Dunia pernah mencatat tragedi radioaktif yang berawal dari kelalaian serupa. Pada 1987 di Goiânia, Brazil, sebuah kapsul Cs-137 dari mesin radioterapi yang ditinggalkan di rumah sakit terbengkalai dibongkar oleh pemulung. Serbuk bercahaya biru itu dianggap menarik, dibagikan kepada tetangga, bahkan dioleskan di kulit. Akibatnya, lebih dari seratus ribu orang harus diperiksa, puluhan mengalami keracunan radiasi akut, dan beberapa meninggal. Lingkungan kota pun tercemar hingga bertahun-tahun. Lebih baru lagi, tragedi Fukushima tahun 2011 menunjukkan bagaimana Cs-137 yang dilepaskan ke laut dapat terakumulasi pada ikan, menimbulkan kepanikan global soal keamanan pangan.
Pernyataan pejabat juga memperlihatkan bahwa pemerintah sadar akan kompleksitas persoalan ini. Deputi Perizinan dan Inspeksi BAPETEN, Zainal Arifin, menegaskan bahwa timnya telah menemukan material logam mengandung Cs-137 di tempat pengumpulan besi bekas di sekitar Cikande, selain melakukan monitoring hingga radius dua kilometer. Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, bahkan menyebut ada dugaan cemaran Cs-137 berasal dari luar negeri, sebuah indikasi bahwa pengawasan rantai logam bekas internasional pun perlu diperketat. Sementara itu, Guru Besar Nuklir ITB, Zaki Suud, mengingatkan: “Pemerintah mestinya menginvestigasi pabriknya secara menyeluruh prosesnya seperti apa, mengambil udangnya dari mana, proses pengolahan, packing, itu diperiksa semua.”
Kedua peristiwa besar di luar negeri tadi, ditambah peringatan dari para ahli di dalam negeri, membuktikan satu hal: sekali radioaktif terlepas ke lingkungan, dampaknya tidak pernah bisa ditutup-tutupi. Ia akan terus muncul, terukur dalam sampel tanah, air, atau makanan, dan masyarakat akan mengetahuinya cepat atau lambat. Karena itu, langkah darurat di Cikande harus segera dilakukan. Melacak dan mengamankan sumber pencemaran, melakukan dekontaminasi total, menarik produk pangan dari pasar, hingga menyajikan data transparan kepada publik adalah rangkaian tindakan yang tidak bisa ditunda.
Menganggap enteng persoalan radioaktif sama saja dengan bermain-main dengan masa depan. Radiasi tidak bisa dilihat, tidak bisa dirasakan, dan tidak bisa dicium. Justru karena sifatnya yang kasat mata, ia menuntut keseriusan ekstra dari pemerintah. Pencemaran di Cikande harus menjadi alarm keras untuk memperketat pengawasan bahan radioaktif di industri baja, fasilitas medis, maupun transportasi logam bekas. Jika tidak ada langkah nyata, kasus ini hanya akan menjadi awal dari persoalan yang lebih besar, entah kapan dan di mana.
Negara tidak boleh menunggu sampai masyarakat menjadi korban. Pencemaran radioaktif bukan bahan candaan, dan bukan pula isu yang bisa dikaburkan dengan retorika. Ini adalah ancaman nyata yang menuntut jawaban ilmiah, tindakan tegas, dan komitmen jangka panjang. Karena pada akhirnya, keselamatan rakyat jauh lebih berharga daripada sekadar menjaga citra atau menenangkan pasar.
AGUNG NUGROHO
Ketua Umum Relawan Kesehatan (REKAN) Indonesia