Monday, November 17, 2025
spot_img
HomeGagasanKota Kreatif dan Masa Depan Seni Pertunjukan Tradisional di Era Digital

Kota Kreatif dan Masa Depan Seni Pertunjukan Tradisional di Era Digital

Di tengah derasnya arus digitalisasi dan ekspansi kota-kota besar, seni pertunjukan tradisional di Indonesia menghadapi tantangan eksistensial. Seiring pertumbuhan infrastruktur fisik dan ekonomi, perhatian terhadap warisan budaya non benda justru kian menipis. Panggung-panggung ludruk, ketoprak, atau wayang mulai kehilangan penonton, terutama dari kalangan muda. Dalam situasi demikian, pendekatan kota kreatif hadir sebagai strategi untuk memastikan seni tradisi tidak sekadar bertahan, tetapi juga mampu berkembang di tengah perubahan zaman.

Kota kreatif bukan sekadar label branding, melainkan sebuah ekosistem multidisipliner yang mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis budaya, kreativitas, dan inovasi. Konsep ini dikembangkan UNESCO melalui jejaring Creative Cities Network dengan tujuan memperkuat kerja sama internasional antar kota yang menempatkan kreativitas dan industri budaya sebagai pilar pembangunan berkelanjutan. Di Indonesia, Pekalongan dan Bandung telah tergabung dalam jejaring tersebut. Namun, implementasi kota kreatif harus melampaui simbolisme belaka, menuju ekosistem nyata yang menopang pelaku budaya lokal, termasuk seniman seni pertunjukan tradisional. Dalam konteks ini, kota kreatif berpotensi menjadi ruang hidup seni tradisi dan bukan hanya panggung pertunjukan, tetapi juga ruang edukasi, kolaborasi, dan inovasi.

Meski demikian, tantangan di lapangan tidak sederhana. Banyak seniman tradisi belum terhubung secara optimal dengan teknologi digital, baik dari sisi akses maupun literasi. Sebagian besar pelaku seni masih bertumpu pada pola pertunjukan konvensional, sementara penonton kini lebih banyak hadir secara daring. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu cepat hampir pasti menekan eksistensi seni pertunjukan rakyat jika tidak segera dijembatani (Waluyo & Rosmawati, 2021). Seni tradisi yang masih mengandalkan komunikasi tatap muka dengan jangkauan penonton terbatas rentan mengalami kesenjangan generasi yang mempercepat kepunahannya.

Teknologi digital, bila dikelola dengan bijak, dapat menjadi jembatan tersebut. Penerapan teknologi virtual membuka peluang distribusi pertunjukan yang lebih luas. Dokumentasi digital, pementasan virtual, hingga kolaborasi lintas disiplin melalui media sosial memberi kemungkinan baru untuk menjangkau audiens tanpa mengorbankan nilai tradisi (Wasista & Adipurwa, 2021). Teknologi virtual juga dapat mempertemukan generasi muda dengan seni pertunjukan tradisional secara interaktif melalui perangkat digital yang akrab dengan keseharian mereka. Dengan demikian, teknologi menjadi sarana efektif pelestarian nilai-nilai seni tradisi.

Contoh konkret tampak dari fenomena TikTok. Tari Saman asal Aceh menjadi viral dengan ribuan pengguna menirukan gerakannya (Devi et al., 2025). Format video pendek yang menarik membuka peluang bagi seniman memperluas audiens sekaligus melestarikan tradisi. Fitur tagar, kolaborasi, dan interaksi langsung memungkinkan seni tradisional dikemas lebih kreatif tanpa kehilangan esensinya. Hal ini menunjukkan bahwa seni tradisi tidak harus tertinggal, melainkan bisa beradaptasi dan tumbuh di tengah perkembangan teknologi.

Kota kreatif juga tidak dapat dipisahkan dari perencanaan tata ruang yang berpihak pada budaya. Banyak ruang budaya tergeser oleh fungsi komersial di kota-kota besar, membuat seni tradisi kehilangan panggungnya, baik secara fisik maupun simbolik. Karena itu, dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, kota kreatif harus menjamin keberadaan ruang-ruang ekspresi budaya, seperti taman budaya, teater komunitas, dan panggung terbuka, agar tetap bertahan dan bisa diakses publik. Seni pertunjukan seharusnya masuk dalam kebijakan tata ruang, bukan sekadar pelengkap acara seremonial.

Namun, transformasi digital tentu bukan tanpa risiko. Kekhawatiran muncul bahwa esensi seni pertunjukan dapat terkikis ketika dikemas demi viralitas. Risiko ini dapat diminimalisasi melalui pendampingan yang tepat, pelatihan literasi digital, serta kemitraan antara pelaku seni, pemerintah daerah, institusi pendidikan, dan industri kreatif. Dengan dukungan pelatihan dan akses teknologi, seniman bisa berinovasi tanpa kehilangan jati diri budaya (Dwihantoro et al., 2023). Pengalaman beberapa daerah menunjukkan hasil positif ketika pemerintah daerah berkomitmen membangun ekosistem kota kreatif yang inklusif. Di Solo, misalnya, pertunjukan wayang orang Sriwedari kini rutin didokumentasikan dan dipublikasikan secara daring.

Kota kreatif ideal bukan hanya mengakomodasi kegiatan budaya, melainkan juga mengintegrasikan kebudayaan ke dalam tata ruang, regulasi, dan kebijakan pembangunan. Seni pertunjukan tradisional harus masuk dalam rencana besar pembangunan kota, bukan sekadar pengisi festival tahunan. Jika kota kreatif adalah wajah masa depan, maka seni tradisi adalah akar masa lalu yang mesti dirawat agar tidak terputus dari identitas bangsa. Membangun kota kreatif yang berdaya saing global tanpa meninggalkan seni tradisional bukan sekadar tantangan, tetapi juga peluang emas untuk menunjukkan kepada dunia bahwa kemajuan dapat berjalan seiring dengan pelestarian budaya.

Di tengah upaya Indonesia memperkuat ekosistem industri kreatif, seni pertunjukan tradisional tidak boleh tertinggal. Karena itu, kota kreatif perlu dibayangkan bukan hanya sebagai ruang produksi ekonomi, melainkan juga ruang pertemuan lintas generasi, lintas disiplin, dan lintas nilai. Tugas bersama kita adalah memastikan seni-seni lama menemukan bentuk barunya dan tetap hidup dalam ruang-ruang kota masa depan. Semoga.

LOLITA PARAMESTI NARISWARI

Mahasiswa Program Magister PSDM Peminatan Industri Kreatif, Sekolah Pascasarjana Unair

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular