
SIDOARJO, CAKRAWARTA.com – Di tengah cepatnya laju zaman dan derasnya arus teknologi yang kian tak terbendung, Nahdlatul Ulama (NU) mengambil satu langkah strategis yakni berhenti sejenak, berkumpul, dan menyamakan langkah. Di Pondok Pesantren Bumi Sholawat, Kabupaten Sidoarjo, selama lima hari penuh, ratusan kader NU dari seluruh penjuru Jawa Timur mengikuti Pelatihan Menengah Kader Nahdlatul Ulama (PMKNU).
Acara ini bukan sekadar pelatihan. Ia adalah suluk. Jalan sunyi dalam kebersamaan. Suluk Jam’iyah, begitu istilah yang dipilih Ketua PBNU Bidang Kaderisasi, Dr. KH Miftah Faqih, untuk menggambarkan proses ini, sebuah jalan spiritual organisasi menuju konsolidasi lahir dan batin.
Lebih dari Sekadar Pelatihan
“Ini bukan tren. Ini amanah Qanun Asasi NU. Bukan sekadar ide pengurus hari ini, tapi garis besar yang sudah dirumuskan dalam Muktamar,” tegas KH Miftah Faqih di hadapan para peserta, Selasa (29/7/2025).
PMKNU menjadi bagian dari tangga kaderisasi berjenjang NU, setelah PD-PKPNU selama tiga hari, kini PMKNU lima hari, sebelum nantinya diikuti jenjang tertinggi AKNNU selama enam bulan. Bukan hanya urusan modul, tapi juga spiritualitas. Bukan hanya pembelajaran, tapi juga penempaan diri.
KH Miftah menyebutkan, dalam setiap jenjang kaderisasi, harus ada tiga unsur yaitu mursyid (instruktur/pembimbing), murid (peserta yang serius mencari hikmah), dan wirid (amalan/modul yang membentuk karakter dan keilmuan).

“Tanpa satu saja dari tiga unsur ini, maka pengkaderan hanyalah rutinitas. Bukan suluk,” ujar KH Miftah.
Ia bahkan menyitir nasihat Syekh Abdul Qadir al-Jailani tentang pentingnya hati-hati pada ilusi kesucian yang justru menyesatkan. “Kalau ada suara yang bilang semua jadi halal, hati-hati. Itu bukan suara malaikat, itu iblis,” ucapnya disambut gumam kagum para peserta.
Menjawab Tantangan Zaman
KH Abdul Hakim Mahfudz, Ketua PWNU Jatim yang akrab disapa Gus Kikin, membuka kegiatan ini dengan nada kontemplatif sekaligus tajam. Menurutnya, NU harus hadir sebagai solusi di tengah zaman yang kian paradoks.
“Kita ini kaya layangan putus kalau lepas dari NU. Terbang tinggi tapi tak terkendali,” ujar Gus Kikin. “PMKNU ini seperti benang itu, mengikat, mengarahkan, agar kita tidak tercerai dan kehilangan pijakan.”
Ia menyoroti betapa lemahnya birokrasi dalam menghadapi problem sederhana, seperti keabsahan ijazah palsu hingga fenomena “sound horeg” yang memecah umat. “Padahal kita punya banyak ahli. Tapi ketika menghadapi situasi riil, kita gamang,” keluhnya.
Dalam konteks inilah, Gus Kikin menyebut NU harus menjadi problem solver berbasis hikmah, bukan hanya logika. Seperti kisah Nabi Musa yang gagal memahami tindakan Nabi Khidir dalam Al-Qur’an, manusia modern pun bisa terjebak dalam logika linier yang tak selalu cocok untuk menjawab realitas.
Antara Ulama dan Umara
Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Dardak, hadir mewakili Gubernur Khofifah Indar Parawansa yang sedang menghadiri Hari Anak Nasional di Purwodadi. Dalam sambutannya, Emil menyampaikan apresiasi mendalam terhadap peran ulama dalam mengarahkan kebijakan publik.
“Tidak semua keputusan bisa dijawab dengan hukum hitam putih. Kami butuh bimbingan kiai terkait mana yang baik, mana yang memberi barokah,” katanya.

Ia menyoroti sejumlah persoalan krusial di Jawa Timur, mulai dari longsor di Malang-Lumajang, jembatan rusak di Bondowoso, hingga masalah transportasi di Banyuwangi. Semua itu, menurut Emil, tak bisa diselesaikan hanya dengan kebijakan teknis. Perlu nilai. Perlu kebijaksanaan.
Menata Ulang Barisan Jam’iyah
Kegiatan PMKNU di Ponpes Bumi Sholawat ini bukan hanya ajang pengkaderan, tapi juga perenungan arah NU ke depan. Dalam suasana hangat tapi serius, para peserta diajak meresapi hakikat kebersamaan dan pentingnya kembali ke ruh organisasi.
KH Miftah kembali mengingatkan bahwa NU adalah jam’iyah diniyah Islamiyah sekaligus ijtima’iyah, organisasi keagamaan yang juga sosial. Karena itu, ia menyitir Ali bin Abi Thalib, “Allah tidak akan memberikan kemenangan kepada kelompok yang terpecah belah.”
“Kalau kita gagal bersatu, NU hanya akan jadi sejarah. Padahal kita harus jadi pencipta sejarah,” serunya dengan nada menggugah.
Merajut Masa Depan Bersama
Dengan 20 sesi materi intensif selama lima hari, PMKNU bukan sekadar forum transfer ilmu. Ia adalah ruang transformatif yang dirancang untuk membentuk karakter, kesadaran, dan kepemimpinan kolektif. Semangatnya bukan untuk elitisme kader, tapi demi kemaslahatan umat.
“Kita ini generasi penerus, bukan perintis. Maka harus tetap rendah hati, tetap jer,” tutur KH Miftah.
NU, lanjutnya, bukan hanya hadir untuk masa lalu atau masa kini, tapi juga untuk masa depan. Dan masa depan hanya bisa diraih bila organisasi ini mampu beradaptasi, punya proyeksi, dan menjalin kolaborasi dengan siapa pun.
PMKNU Angkatan V dan VI yang diselenggarakan PWNU Jatim kali ini adalah benih dari perubahan itu. (*)
Editor: Tommy dan Abdel Rafi



