
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Menjadi ibu dari anak dengan spektrum autisme bukanlah peran yang ringan. Di balik tawa yang jarang terdengar dan pelukan yang terasa kaku, ada luka yang sunyi: kelelahan fisik, tekanan psikologis, keterasingan sosial, hingga stigma dari lingkungan. Di tengah kondisi itu, tak sedikit ibu merasa sendirian menghadapi dunia.
Namun di ruang promosi doktoral Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (FKM Unair) hari ini, Kamis (19/6/2025), harapan baru itu hadir. Dr. Eka Falentina Tarigan, SST., M.Keb., dosen dari STIKes Mitra Husada Medan, memaparkan buah penelitiannya yakni model pemberdayaan berbasis Integrated Behavior Model (IBM) yang dirancang untuk meningkatkan kualitas hidup ibu dengan anak autisme.
“Model ini bukan hanya pendekatan ilmiah, tapi juga refleksi dari empati mendalam terhadap perjuangan para ibu yang kadang bahkan tak sempat menangis,” ujar Eka dalam paparannya, yang berhasil mengantarkannya meraih gelar doktor dengan IPK sempurna 4,0.
Ketika Data Bertemu Realita
Penelitian Eka dimulai dari survei terhadap 107 ibu yang memiliki anak autisme di Pematangsiantar. Hasilnya mengungkapkan realitas yang menyedihkan:
- 55,8% mengalami gangguan kesehatan fisik,
- 59,7% mengalami tekanan psikologis,
- 55,8% menghadapi masalah dalam hubungan sosial, dan
- 63,6% merasa tertekan oleh lingkungan sekitarnya.
Namun Eka tidak berhenti pada angka. Ia menyelenggarakan focus group discussion atau diskusi kelompok terarah (FGD) dengan para ibu, guru, dan terapis anak autisme. Ia juga melakukan wawancara mendalam dengan para ahli, lalu menyusun modul pemberdayaan berbasis IBM, dan mendampingi 30 ibu responden selama dua bulan.
Hasilnya menggembirakan. Model ini terbukti mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, niat, kebiasaan positif, serta kekuatan spiritual ibu dalam menghadapi tantangan sebagai orang tua dari anak dengan kebutuhan khusus.

“Ibu-ibu merasa lebih tenang, lebih yakin, dan yang paling penting mereka tidak merasa sendiri lagi,” ucap Eka dengan suara lirih.
Menembus Sekat Disiplin Ilmu
Penelitian Eka juga membuktikan bahwa isu kesehatan masyarakat tidak bisa dipisahkan dari pendekatan multidisiplin. Seperti dijelaskan Prof. Trias Mahmudiono, S.KM., M.PH (Nutr.), GCAS.PhD, promotor disertasi Eka, pendekatan ini harus mencakup aspek psikologi dan pengasuhan.
“Kesehatan itu menyeluruh. Tidak bisa kita bicara anak autis tanpa bicara ibunya. Dan tidak bisa bicara ibu tanpa memahami kondisi psikis, sosial, bahkan spiritualnya,” tutur Prof. Trias.
Sementara itu, Dr. Nunik Puspitasari, S.KM., M.Kes., selaku co-promotor menegaskan bahwa meski penelitian dilakukan di Pematangsiantar, hasilnya memiliki cakupan yang luas.
“Variabel dalam penelitian ini bersifat umum, sehingga bisa diterapkan di berbagai daerah, bahkan tidak hanya untuk ibu dengan anak autisme, tapi juga ibu dari anak-anak lainnya yang menghadapi tekanan pengasuhan,” tegasnya.
Ilmu yang Turun ke Hati
Sidang promosi itu bukan sekadar penanda keberhasilan akademik. Di balik gelar doktor dan IPK 4,0, Eka menyelipkan pesan mendalam: bahwa setiap ibu, terutama yang memiliki anak berkebutuhan khusus, layak mendapat dukungan dan ruang untuk tumbuh kuat.
“Model IBM ini adalah awal. Tapi keberlanjutan keberhasilannya hanya bisa dicapai melalui kolaborasi, antara tenaga kesehatan, keluarga, dan komunitas. Kita perlu membangun lingkungan yang benar-benar peduli terhadap kualitas hidup ibu,” ucap Eka dalam penutupan sidangnya.
Dalam dunia yang masih kerap abai terhadap suara-suara sunyi para ibu, Eka Tarigan membuktikan bahwa ilmu bukan hanya untuk dipublikasikan, tapi untuk menyembuhkan. Dan di saat banyak ibu harus menjadi kuat demi anak autis mereka, Eka datang membawa jalan yang penuh cinta, sekaligus penuh makna.(*)
Kontributor: Abdel Rafi
Editor: Tommy



