Sunday, December 14, 2025
spot_img
HomePendidikanDunia KampusDi Tengah Tekanan, Pers Mahasiswa Tetap Menyala: AJI, UNESCO, dan PPMI Perkuat...

Di Tengah Tekanan, Pers Mahasiswa Tetap Menyala: AJI, UNESCO, dan PPMI Perkuat Perlindungan di Era Digital

Suasana “Seminar Nasional dan Peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia 2025” di Auditorium IAIN Kediri, Minggu (4/5/2025). (foto: AJI for Cakrawarta)

KEDIRI, CAKRAWARTA.com – Di sebuah ruang sederhana di Auditorium IAIN Kediri, Minggu (4/5/2025), berkumpul wajah-wajah muda dengan semangat yang tak mudah padam. Mereka adalah para jurnalis kampus—pejuang literasi di garis terdepan dunia digital—yang hari itu mendapat ruang untuk bersuara, belajar, dan saling menguatkan dalam acara “Seminar Nasional dan Peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia 2025.”

Mengusung tema Memperkuat Perlindungan terhadap Pers Mahasiswa di Era Digital, kegiatan ini digelar oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) dan Forum Alumni Aktivis Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI), serta mendapat dukungan penuh dari UNESCO. Di balik tema besar itu, terselip keprihatinan, perjuangan, dan harapan.

Pers mahasiswa, yang kerap dipandang sebelah mata, sejatinya adalah pilar kritis yang menyuarakan kebenaran dari balik tembok kampus. Mereka menulis, bukan semata untuk tugas, tapi demi tanggung jawab moral—pada keadilan, pada nurani, dan pada bangsa. Namun jalan yang mereka tempuh jauh dari mudah.

“Kita sering lupa bahwa pers mahasiswa juga bagian dari jurnalisme. Mereka juga mengalami tekanan, kekerasan, bahkan sensor. Tapi suara mereka penting. Sangat penting,” kata Ketua Umum AJI Indonesia, Nany Afrida. Ia menyampaikan bahwa indeks kebebasan pers Indonesia kini merosot tajam, dan tak sedikit jurnalis muda turut menjadi korban dalam diam.

“Kebebasan pers hari ini bukan hanya soal angka. Tapi soal rasa aman. Soal keberanian untuk tetap menulis ketika dunia mencoba membungkam,” tegasnya.

Pernyataan tegas Nany menjadi pengingat bahwa demokrasi tidak tumbuh dalam ruang yang senyap. Ia membutuhkan suara—termasuk dari mahasiswa yang menulis dengan idealisme, sering kali tanpa perlindungan memadai.

Semangat serupa juga datang dari UNESCO yang diwakili Ana Lomtadze secara daring. Dalam pesannya, Ana menekankan pentingnya membekali pers mahasiswa dengan literasi digital dan keberanian moral di tengah arus deras kecerdasan buatan, disinformasi, serta pengawasan digital yang kian mengancam ruang sipil.

“Mereka bukan hanya mahasiswa. Mereka adalah penjaga etika, pelawan hoaks, dan penyampai kebenaran di tengah ketidakpastian informasi. Dunia membutuhkan suara mereka,” tutur Ana.

Ana juga menegaskan bahwa keberpihakan pada pers mahasiswa adalah bagian dari keberpihakan pada masa depan jurnalisme yang bebas dan bermartabat.

Seminar hari itu terasa hangat dan penuh makna. Diisi oleh Wahyu Gilang (Sekjen PPMI) yang membeberkan data pilu: 331 kasus represi terhadap pers mahasiswa terjadi antara 2013 hingga 2021—angka yang bukan sekadar statistik, tapi kisah-kisah luka yang pernah dicoba dibungkam. Hadir pula Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu, Direktur Eksekutif LBH Pers Mustafa Layong, dan Ketua Umum AJI Nany Afrida, yang berbagi pengalaman dan wawasan tentang tantangan serta relevansi pers mahasiswa di era digital.

Dipandu oleh Evy Rachmawati, Kepala Desk Humaniora Harian Kompas, diskusi berlangsung cair, mendalam, dan menyentuh sisi-sisi yang sering tak terlihat dari perjuangan para jurnalis muda ini.

Hari itu, bukan sekadar seminar. Ia adalah ruang penyembuhan, ruang perlawanan, dan ruang solidaritas. Di tengah derasnya tantangan digital dan tekanan institusional, satu hal menjadi jelas: suara pers mahasiswa tak boleh padam. Ia harus terus menyala—karena di sanalah harapan atas masa depan kebebasan pers kita disemai. (***)

Editor: Abdel Rafi

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular