Saturday, April 27, 2024
HomeGagasanBM Diah dan Tugas Jurnalistik ke Rusia dan Irak (12)

BM Diah dan Tugas Jurnalistik ke Rusia dan Irak (12)

BM Diah Cakrawarta

Situasi dan kondisi di Irak, khususnya di ibukota Irak, Baghdad pada tanggal 17, 18 dan 19 Januari 1991 itu, benar-benar menggambarkan suasana menyedihkan buat warga Irak.

Pada tanggal 27 Februari 1991, Perang Teluk antara Irak dan Amerika Serikat (AS) beserta sekutunya, selama enam pekan itu berakhir juga. Presiden AS George Herbert Walker Bush pada waktu itu, mengumumkan bahwa pada malam sebelumnya, seluruh pasukan AS dan sekutunya akan menghentikan operasi-operasi militer dan di pihak lain, Presiden Irak Saddam Hussein memerintahkan juga pasukannya untuk mematuhi gencatan senjata.

Gencatan senjata di Teluk sudah berlaku dan seperti yang sudah dapat diduga semula, kekuatan militer AS yang jauh lebih tinggi kualitas dan kuantitasnya, dapat memaksa tentara Irak keluar dari Kuwait dan waktu itu telah menduduki bagian selatan Irak, sekalipun Irak sebelumnya sudah mulai menarik mundur tentaranya.

Tetapi bagaimana pun, dunia tidak dapat mengatakan, Presiden Irak Saddam Hussein dan tentaranya adalah pengecut. Sebab lebih dari enam minggu lamanya, Irak berani menghadapi serangan-serangan AS, baik dari udara, laut dan darat.

Jika dibandingkan dengan Perang Mesir-Israel pada tahun 1967 dan 1973, sudah tentu berbeda. Lama pertempuran hanya enam hari. Pada hal yang dihadapi oleh Mesir hanya tentara Israel. Yang dihadapi Irak adalah “biang” Israel yakni AS, ditambah kekuatan militer Inggris dan Prancis, masih ditambah 25 negara lainnya.

Korban perang di Irak sangat besar. Tidak hanya korban jiwa, tentara, maupun sipil, tetapi juga korban materi, berupa instalasi-instalasi militer, infrastruktur, ekonomi dan perhubungan serta rumah-rumah permukiman rakyat. Meski begitu akuratnya persenjataan modern dapat membidik ke arah sasarannya, namun ternyata masih banyak ketidak-akuratannya. Bahkan menurut pimpinan militer AS sendiri, 70% jumlah peluru kendali tidak mengenai sasaran militer. Ini berarti banyak rumah-rumah rakyat terkena sasaran.

Serangan itu merupakan pengalaman tak terlupakan buat Irak. Korban yang berjatuhan di pihak Irak, tak terhitung. Menurut informasi dari mantan Penuntut Umum AS, Ramsey Clark, yang melakukan kunjungan selama pemboman berlangsung, sekitar 125.000 hingga 300.000 penduduk Irak tewas. Bahkan menurut harian The Manhattan edisi 12 September 1991, dalam sebuah artikel yang ditulis koresponden “Washington” Patrick J. Sloyan, padukan multinasional tidak hanya menghantam pasukan-pasukan yang berada di pusat perlindungan, tetapi pasukan Irak yang sudah menyerah pun (sekitar 2000 orang) ada yang ditembak dan dicederai. Malah ada ribuan tentara Irak yang dikubur hidup-hidup di dalam tempat persembunyiannya, ketika terjadi perang.

Disebutkan di dalam beberapa surat kabar di AS, yang mengutip beberapa perwira Angkatan Darat AS, menyebutkan sejumlah tank M1-A1 dari Divisi Infantri Pertama Angkatan Darat menutup lobang-lobang pertahanan dan bunker Irak, menimbunnya bersama tentara Irak yang masih hidup.

Serangan itu terjadi pada 24 Februari 1991, di sepanjang front di utara sejauh 10 mil di perbatasan Irak-Arab Saudi. Daerah itu sebelumnya telah diberi ranjau, kawat berduri, bunker dan lobang oleh pasukan Irak.

Dapatlah dibayangkan, dalam serangan tersebut, pasukan AS dan sekutunya telah menjatuhkan sekitar 114 ribu ton bom, sama dengan enam buah bom sejenis yang pernah dijatuhkan di atas kota Hiroshima, Jepang dalam Perang Dunia II. Hampir 90% bangunan prasarana Irak, hancur. Tetapi ketika saya ke Irak tahun 1992, situasi dan kondisi Irak, biasa-biasa saja. Tidak terlihat, jalan-jalan yang rusak. Semuanya cepat dibenahi.

Saya sudah harus kembali ke Jordania, Uni Soviet (Rusia), terus ke Jakarta melalui jalur ketika berangkat. Ketika saya tiba di perbatasan antara Irak dan Jordania, hari Minggu, 27 Desember 1992, terjadi insiden tertembaknya pesawat MIG-25 Irak oleh pesawat tempur F-16 AS. Tetapi insiden ini tidak menggoyahkan posisi Saddam Hussein sebagai Presiden Irak. Bahkan posisi Saddam di dalam negeri semakin kuat. Buktinya, pada 18 Oktober 1995, Saddam memperkokoh posisinya sebagai Presiden Irak dengan memenangkan referendum di Irak.

Di Jordania, saya menginap semalam di perumahan dinas staf KBRI Jordania. Selanjutnya kembali lagi melalui rute perjalanan ke Moskow, sebelum tiba di Jakarta.

Di ibu kota Rusia, Moskow ini, saya memiliki cerita tersendiri bersama Svet Zakharov, koresponden harian “Merdeka,” di Rusia.(bersambung)

DASMAN DJAMALUDDIN

Jurnalis, sejarawan dan penulis senior

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular