REMBANG, JAWA TENGAH – Sutiyoso, mantan Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) tanpa diduga-duga mendatangi rumah salah seorang warga penolak pabrik semen di Desa Tegaldowo, Rembang pada 6 April 2017. Kunjungan ini bukan kebetulan, apalagi sejak 31 Maret 2017, mantan Gubenur DKI Jakarta ini telah diangkat menjadi komisaris utama PT Semen Indonesia (SI) Rembang. Kedatangan Sutiyoso ini menurut pengacara warga Rembang yang menolak semen, patut dicermati mengingat PT SI sedang bersengketa hukum dengan warga Rembang. Sebelumnya pada Kamis (30/3/2017) pekan lalu, tercatat Dewan Ketahanan Nasional melakukan kunjungan ke Pati.
“Kedatangan komisaris baru PT Semen Indonesia ini tentu saja mengundang pertanyaan warga. Apalagi di hadapan warga dia masih mengaku sebagai orang Pemerintah, meminta warga menghentikan perlawanan dan berhenti mempermasalahkan PT Semen Indonesia,” ujar Muhamad Isnur, Ketua Advokasi YLBHI yang mendampingi warga Rembang.
Kunjungan Sutiyoso juga mengundang tanggapan dari beberapa tokoh terkemuka di Indonesia. Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas misalnya mengatakan bahwa kasus ini sudah ada putusan Mahkamah Agung (MA).
“Putusan MA harus ditegakkan sebagai wujud menghormati prinsip negara hukum. Izin yang diberikan oleh Gubernur Jawa Tengah bertentangan dengan putusan MA. Perkara ini harusnya dihormati semua pihak termasuk komisaris PT Semen tersebut,” ujar Busyro Muqoddas.
Bahkan Busyro mempertanyakan apakah tugas komisaris utama BUMN juga menemui di lapangan.
Sementara itu, Haris Azhar seorang pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) dan mantan Koordinator Kontras mengatakan bahwa Sutiyoso lebih dikenal sebagai tentara yang berlumur kekuasaan dan dibungkus catatan pelanggaran HAM. Bahkan menurutnya karya Sutiyoso selama berads di BIN juga tidak jelas.
“Lalu sekarang diangkat sebagai Komisaris Utama PT. Semen Indonesia. Ini sungguh tidak masuk akal. Kita patut mempertanyakan kedatangannya ke Rembang pada Kamis pagi untuk apa? Untuk menekan masyarakat? Saya yakin masyarakat sudah tidak takut dengan gaya-gaya tekanan atau persuasi lewat jenderal tua seperti Sutiyoso,” papar Haris Azhar.
Sedangkan menurut mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto yang mesti dipersoalkan ada di tiga level yakni pertama, Kementerian atau Pemerintah secara sadar menempatkan Komisaris Utama PT SI adalah orang yang mempunyai pengalaman dalam mengelola dan menggunakan kekuatan koersif; kedua SI seolah-olah menganggap no point to return sehingga akan bertemulah kepentingan corporate driven dan instrumentasi penegakan hukum yang berwatak kekerasan dan terakhir, Pemda menjadi alat pemerintahan dan korporasi yang sekaligus mencari keuntungan untuk kepentingan dirinya sendiri.
“Oleh karena itu, keberadaan SI harus ditujukan untuk kepentingan daulat rakyat bukan mendurhakai rakyat,” tegas Bambang Wijoyanto.
Kembali pada M. Isnur, dirinya menegaskan bahwa merujuk pada peraturan yang berkaitan dengan bisnis yakni Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pasal 1 angka 6 dan 108 menyatakan bahwa Komisaris bertugas melakukan pengawasan serta memberi nasihat kepada Direksi.
“Harusnya kedatangan itu berkaitan dengan kepatuhan kepada hukum dan kepentingan lingkungan,” pungkas M. Isnur.
(bti)