Saturday, June 14, 2025
spot_img
HomeHiburan"Spinning Ground" di Busan MoCA: Ketika Batu, Bunyi, dan Masa Depan Bersatu...

“Spinning Ground” di Busan MoCA: Ketika Batu, Bunyi, dan Masa Depan Bersatu dalam Pertunjukan Musik Lintas Zaman

Salah satu momen performance Spinning Ground di Galeri 5 Museum of Contemporary Art (MoCA) Busan, 30-31 Mei 2025. (foto: Bachtiar dj)

Dari lubang tambang Sukabumi hingga Pulau Eulsukdo, pertunjukan Rani Jambak dan Sojin Kwak menjahit kembali relasi kita dengan bumi, melalui suara batu, air, dan nyanyian robot masa depan.

BUSAN, CAKRAWARTA.com – Sore itu, Galeri 5 Museum of Contemporary Art (MoCA) Busan tak lagi sunyi. Suara gemeretak batu, desah air, denting instrumen elektroakustik, dan vokal emosional perempuan menggema memenuhi ruang. Bukan sekadar pertunjukan, “Spinning Ground” adalah pengalaman multisensorial yang mengguncang batas antara bunyi dan tubuh, masa lalu dan masa depan.

Dipentaskan pada 30–31 Mei 2025 sebagai bagian dari pameran Green Shivering, proyek ini merupakan kolaborasi lintas negara antara Rani Jambak, komposer dan performer dari Indonesia, dan Sojin Kwak, seniman intermedia asal Korea Selatan. Disutradarai secara artistik oleh kurator Dasol Lee, pameran ini menjadi salah satu program performatif paling mencolok di Busan MoCA tahun ini, dengan fokus pada ekologi, performans, dan lanskap pascaindustri.

Tak seperti konser biasa, Spinning Ground adalah teater bunyi dan tubuh. Rani Jambak, tampil solo sebagai performer sekaligus komposer, membagi karya ini ke dalam dua bagian: “Loss” dan “Recovery”.

Di bagian “Loss”, bunyi batu yang dibenturkan dan digesekkan, dikumpulkan langsung dari sekitar museum, menjadi suara utama. Ledakan sonik ini menciptakan atmosfer ketegangan: seolah-olah tanah sedang menjerit, tubuh bumi digali, dan kenangan ditinggalkan.

“Komposisi ini tentang kehilangan, tentang ketakutan ketika tanah diambil dan tidak dikembalikan,” ujar Rani, yang membangun seluruh struktur musikal dari rekaman lapangan, suara alam, dan aktivitas manusia.

Lalu datang “Recovery”. Ritme melambat, tekstur suara melunak. Sebuah lempeng batu besar disambungkan ke sistem elektronik yang peka terhadap sentuhan. Setiap gerakan Rani di atas batu memunculkan bunyi ambient yang lembut, menenangkan, seperti doa atau upacara pemulihan.

“Di sini saya tidak memainkan alat musik,” tutur Rani. “Saya merawat luka.”

Panggung Spinning Ground tak lengkap tanpa Kincia Aia, alat musik ciptaan Rani berbasis teknologi kincir air tradisional Minangkabau. Kincia ini bukan hanya instrumen, melainkan lambang gerak ekologis yang menghubungkan manusia dengan alam, putaran air, kerja mekanik, dan siklus kehidupan.

Dalam komposisi ini, Kincia Aia berperan sebagai sumbu musikal: ia berputar, berderak, menyatu dengan tubuh performer, menjelma menjadi jembatan antara suara lokal dan eksperimentasi global.

Proyek ini bukan sekadar musikal; ia juga bersifat naratif dan filosofis. Sojin Kwak memulainya dari sebuah teks fiksi ilmiah: Deklarasi Sonmi-451, manifesto robot dari novel Cloud Atlas karya David Mitchell.

“Siapa yang akan mewariskan nilai-nilai hidup: manusia atau mesin?” tanya Sojin. Lewat perspektif masa depan itu, Spinning Ground memantik refleksi tentang keberlanjutan, spiritualitas, dan peran teknologi dalam membentuk kemanusiaan.

Sementara itu, dari sisi lain dunia, Rani justru menggali masa lalu. Ia membawa suara tambang Sukabumi yang ditinggalkan, bebatuan yang dikeruk dari gunung, dan suara-suara alam yang terpinggirkan. Dari dua kutub ini, fiksi robot masa depan dan ingatan nenek moyang, Spinning Ground membentuk dialektika musikal yang menggetarkan.

Pertunjukan ini tidak lahir di ruang hampa. Pulau Eulsukdo, lokasi MoCA berdiri, dulunya adalah tempat pembuangan limbah industri. Kini, ia menjadi taman ekologi dan habitat burung migran, simbol pemulihan ekologis yang nyata.

Dengan latar ini, suara dalam Spinning Ground menjadi lebih dari sekadar estetika: ia menjadi saksi sejarah. Suara burung, ombak, pelabuhan, hingga rekaman suara dari hutan-hutan Indonesia diolah menjadi lapisan sonik yang padat oleh Morgan Jeong (desainer suara), sementara gestur performatif Rani diperkuat oleh tata rias dari seniman Indonesia Erly Noviana.

“Bunyi dalam pertunjukan ini bukan pelengkap. Mereka adalah tokoh utama,” kata Rani Jambak. “Mereka yang bicara. Mereka yang menyampaikan pesan bahwa bumi punya suara, dan kita perlu mendengarnya kembali.”

Melalui suara batu dan air, melalui tubuh dan mesin, Spinning Ground menghidupkan kembali relasi manusia dengan tanah, suara, dan sejarah. Pertunjukan ini bukan hanya musik, ia adalah manifestasi artistik tentang ekologi, spiritualitas, dan harapan akan masa depan yang tidak melupakan masa lalu.(*)

Kontributor: Bachtiar

Editor: Rafel

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular