Surabaya, – Pada hari Selasa (18/3/2025) Bursa Efek Indonesia sempat menghentikan perdagangan saham sementara (trading halt) akibat penurunan luar biasa saham-saham terutama yang masuk kategori big cap. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok lebih dari 5%. Publik pasar pun dibuat panik, dan situasi ini tak pelak menjadi isu publik yang diperbincangkan masyarakat luas. Hingga Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco melakukan kunjungan ke Bursa Efek Indonesia di Jakarta untuk mengetahui situasinya.
Apa kira-kira yang terjadi dan apakah benar bahwa anjloknya IHSG akan menimbulkan problem serius di bidang ekonomi Dan akhirnya berdampak pada Pemerintahan Prabowo Subianto.
Untuk menjawabnya, Tim Cakrawarta.com mewawancara Pakar Ekonomi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Tofan Tri Nugroho, Sabtu (22/3/2025) melalui sambungan telepon.
Bagaimana komentar anda tentang kondisi IHSG saat ini?
Saya rasa normal saja. Adapun penurunan IHSG sekaranf sebagai bentuk aksi atas sentimen yang ada terutama terkait dengan Danantara.
Kenapa? Seperti kita tahu bahwa Danantara ini akan mengelola BUMN di Indonesia dan sebagian besar BUMN tersebut melantai di Bursa efek Indonesia (BEI) dimana sebagian besar perusahaan tersebut memiliki kapitalisasi market yang besar yang berpengaruh signifikan terhadap pergerakan IHSG. Sehingga, karena adanya kebijakan inilah, kemudian menimbulkan kekhawatiran para pemegang saham terutama pemilik saham BUMN yang ada di BEI tersebut akan kelangsungan kebijakan tersebut. Terlebih apakah dalam pelaksanaannya telah melaksanakan Prinsip Santiago terkait tata kelola, investasi, dan manajemen risiko untuk dana kekayaan negara (SWF).
Apakah ini juga menunjukkan kondisi perekonomian Indonesia saat ini dan ke depan?
Untuk hal tersebut memang biasanya IHSG kerap kali dijadikan leading indicator terhadap perekonomian ke depan, namun hal tersebut tidak selalu benar, adakalanya IHSG itu misleading dengan perekonomian.
Kenapa begitu? Pertama, IHSG didominasi oleh sektor tertentu seperti keuangan, konsumsi dan komoditas. Kedua, IHSG sangat dipengaruhi oleh aliran modal asing. Seperti yang terjadi sekarang, salah satunya karena ketidakpercayaan asing yang kemudian membuat mereka menarik dana mereka dari BEI. Ketiga, spekulasi dan sentimen pasar. Pergerakan IHSG sering kali dipengaruhi oleh sentimen pasar dan perilaku spekulatif para pemegang saham tidak selalu dikarenakan oleh kondisi fundamental baik perusahaan maupun perekonomian. Contoh IHSG sempat turun pada tahun 2020 dikarenakan kepanikan global akan Covid-19 kemudian rebound dengan cepat karena stimulus moneter dan fiskal pemerintah padahal di sisi riil, perekonomian sedang kontraksi. Sebaliknya, Tahun 2008 pada waktu krisis keuangan global pun IHSG pernah mengalami kontraksi (resesi) meskipun perekonomian Indonesia relatif lebih tahan dikarenakan faktor UMKM di Indonesia. Terakhir, keterbatasan cakupan. IHSG hanya mencakup perusahaan besar yang tercatat di BEI, sedangkan sebagian besar perekonomian Indonesia didorong oleh UMKM yang bahkan bisa menahan ketika terjadi resesi global.
Karena itu, dari penjelasan saya tadi bisa disimpulkan bahwa pergerakan IHSG bisa terjadi anomali dimana pergerakan tersebut tidak mencerminkan kondisi sebenarnya. Bagi para investor fundamentalis justru biasanya melihat penurunan harga saham yg tidak mencerminkan kondisi riil ini sebagai suatu peluang untuk mendapatkan “cuan” yang lebih banyak karena seperti mendapatkan diskon harga.

Apakah komentar Presiden Prabowo Subianto menjadi trigger akan penurunan tersebut?
Saya rasa sih tidak ya. Karena pelaku keuangan yang berkecimpung di dunia saham ini kebanyakan orang yang sangat terdidik. Jadi itu saya rasa bukan sentimen yang menjadikan IHSG turun, justru kembali kepada pembentukan Danantara yang masih dianggap baru itulah yang menjadi penyebab berupa ketidakpercayaan atau bisa dibilang aksi wait and see yang dilakukan oleh investor.
Karena seperti yang kami jelaskan juga bahwa memang benar IHSG bisa menjadi misleading dan terbukti dengan ketahanan UMKM lah yang menyokong perekonomian Indonesia. Sehingga komentar Presiden Prabowo terutama terkait fokusnya ke bidang pangan sangatlah bagus, mengingat kekuatan negara kita justru di bidang agraris. Kalau dalam manajemen perubahan ini sebenarnya tahapan lanjutan dari shock yaitu denial atas perubahan yang diupayakan oleh pemerintahan saat ini.
Jadi bagaimana simpulan akhir anda?
Segala bentuk perubahan biasanya ditandai dengan kebingungan dan kemarahan dalam bentuk penolakan oleh orang-orang yang berada dalam tahap zona nyaman atau comfort zone. Karena perubahan tersebut mengusik tata cara bermain mereka yang lama, tetapi seiring berjalannya waktu pasti mereka akan bisa menyesuaikan dengab irama yang baru. Terlebih kalau perubahan tersebut benar-benar untuk perbaikan negara kita ke depan. Semoga. (***)
Kontributor: Bustomi
Editor: Abdel Rafi
Foto: Cakrawarta