Thursday, May 9, 2024
HomeGagasanSEJARAH TAI

SEJARAH TAI

“Tai adalah masalah teologis yang lebih berat dibandingkan kejahatan. Karena Tuhan memberikan kebebasan kepada manusia — kita bisa, jika perlu — menerima gagasan bahwa Dia tidak bertanggung jawab atas kejahatan manusia. Namun, tanggung jawab atas tai sepenuhnya berada di tanganNya, pencipta manusia.” — Milan Kundera(1929-2023), Ringannya Makhluk yang Tak Tertahankan (The Unbearable Lightness of Being,1984).

Untuk (par)tai, filsuf Slavoj Źiżek(74) asal Slovenia menulis sebuah buku “On Belief” (2001). Di satu babnya, sebagai filsuf yang dipengaruhi psikoanalisis Freud, ia menulis “Anda Semestinya Memberi Seonggok Tai.” Tai, bagi Zizek seperti juga Kundera, terkait erat dengan sejarah personal (subyektivitas) secara kejiwaan dan teologis.

Dengan mengutip Hegel, Laporte dan tentu Freud, Zizek berpendapat bahwa tai adalah pangkal dari sebuah “agama alami” (natural belief) dan mencerminkan sebuah fase awal bagi pertumbuhan manusia. Sebagaimana Freud menyebutnya sebagai fase pertumbuhan jiwa manusia dari oral (mulut) hingga anal (dubur). Bukankah dari kedua fase ini — mulut (oral) untuk menyusui kelak makan dan seks serta dubur (anal) untuk membuang ampas bahkan saluran seks deviatif.

Gerri Lim asal Singapur mengisahkan rahasia seks anal (dubur) sangat populer di kotanya, terutama di kalangan para pelanggan lansia dari berbagai kota di Asia, termasuk Indonesia. Alkisah, seorang lansia asal Cina rela mengeluarkan jutaan cuan hanya untuk menikmati hasrat seksualnya pada seorang “escort” (baca: pelacur) muda, yang tai dari analnya harus dibuang ke kloset (mulut) si lansia. Tapi, sebelum adegan dan atraksi seks “jijay” itu berlangsung si “escort” harus melakoni peran sebagai pacar atau istri si lansia untuk jangka waktu yang disepakati. Sepenggal kisah “seonggok tai” di mulut si lansia dirujuk dari buku Lim: Invisible Trade: High-class Sex for Sale in Singapore (2004).

Demikian juga kisah seorang lansia di kota Manado pada tahun 2003 silam. Menurut kesaksian si escort pada saya ketika masih seorang jurnalis untuk suatu tugas investigasi atau /reportase tabir traficking dan perdagangan seks di Sulawesi Utara (Sulut).

Alhikayat, ketika si lansia memasuki sebuah kamar hotel, didapati si escort sudah bugil. Tanpa berlama-lama si lansia dengan nafas terengah-engah (hosa) berbaring terlentang. Si escort dengan sigap mendekatkan “anu(s)-nya” mendekat ke mulut si lansia. Dengan nafas “hosa” dan mungkin agak bergurau si lansia berseloroh: “Ngana kira ta pe mulu kloset” (Anda anggap mulut saya ini kakus).

Walhasil, sejarah tai mengekspresi keliyanan individual dalam mereproduksi apa dikutip Zizek dari Otto Weininger dalam “Tentang Ampas Terakhir” (Über die Lezten Dinge,1997) bahwa „Tai keluar dari ‚perut‘ tubuh, dan pedalaman tubuh itu buruk, jahat“(Die Laya ist der Dreck der Erde. Das Innere des Körpers ist sehr verbrecherisch).

Namun, di luar penjelasan filsafat, “seonggok tai“, Dominique Laporte (1949-1984) asal Prancis, pun sedikit dikutip Zizek, menulis secara khusus “The History of Shit“ (2000) sebagai sejarah peradaban “ampas“ yang tak hanya menyoal bau (amoratum), kejahatan dan kekejian yang meliputi sejarah diri dan subyektivitas individual. Tapi juga, soal eskatologis dan aib-aib (infamacy) teologis yang lahir dari mulut dan dubur umat manusia.

Bagaimana pun, sejarah “seonggok tai“ akan mewariskan jejak keliyanan deviatif manusia dan di ‘pedalaman‘ tubuh“(das Innere des Körpers) itu tersimpan aib teologis. Hal itu, akhirnya, bisa dirujuk dari frase agak panjang novel Milan Kundera:

Secara spontan, tanpa pelatihan teologis apa pun, saya, sebagai seorang anak, memahami ketidaksesuaian antara Tuhan dan tai sehingga mempertanyakan tesis dasar antropologi Kristen, yaitu bahwa manusia diciptakan menurut gambar Tuhan. Salah satu/atau: manusia diciptakan menurut gambar Allah – dan mempunyai usus! – atau Tuhan tidak memiliki usus dan manusia tidak seperti dia.

Penganut Gnostik kuno merasakan hal yang sama seperti yang saya alami saat berusia lima tahun. Pada abad kedua, guru besar Gnostik, Valentinus, menyelesaikan dilema yang sangat buruk ini dengan menyatakan bahwa Yesus “makan dan minum, tetapi tidak buang air besar”.

 

REINER OINTOE FILSAWAN

Penulis dan Pemerhati Budaya

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular